Forum Perempuan Paralegal Lingkungan Hidup Aceh (FPPA) menyatakan saat menyatakan sikap, foto: naszadayuna/analisaaceh.com
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Sejumlah perempuan paralegal dari berbagai wilayah di Aceh yang tergabung dalam Forum Perempuan Paralegal Lingkungan Hidup Aceh (FPPA) menyatakan sikap tegas terhadap kondisi lingkungan di Aceh yang dinilai semakin genting.
Pernyataan itu disampaikan dalam kegiatan Temu dan Konsolidasi Perempuan Paralegal Lingkungan Hidup Aceh Tahun 2025 yang berlangsung di Banda Aceh, Kamis (23/10/2025).
Dalam pernyataan resminya, FPPA menilai kerusakan alam Aceh telah mencapai tahap mengkhawatirkan.
“Hutan-hutan dibabat, sungai-sungai tercemar, rawa-rawa mengering, dan tambang-tambang dibiarkan merusak ruang hidup masyarakat. Yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan, karena ketika alam rusak, kehidupan mereka ikut terampas,” tulis FPPA dalam rilisnya.
Mereka menegaskan, FPPA tidak menolak pembangunan, namun menolak segala bentuk pembangunan yang mengabaikan keadilan dan merusak lingkungan. Forum tersebut juga mengecam kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan modal dibandingkan kesejahteraan masyarakat.
“Kami menolak Aceh dijadikan ladang eksploitasi atas nama kemajuan,” tegas pernyataan itu.
FPPA kemudian menyampaikan sembilan tuntutan utama kepada Pemerintah Aceh. Di antaranya, mendesak pemerintah untuk mere-definisi kebijakan tambang rakyat, agar tidak dijadikan dalih pembenaran eksploitasi tetapi benar-benar berpihak pada keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan.
Forum tersebut juga meminta agar pemerintah memastikan ruang dan wilayah kelola perempuan di sekitar kawasan hutan, bukan malah mengobral izin perusahaan dengan mengatasnamakan ekonomi rakyat.
Selain itu, FPPA menyerukan pentingnya keterbukaan informasi publik dan jaminan ruang kritis bagi perempuan Aceh, serta mengakomodir Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Aceh secara utuh dan mengikat.
Tuntutan lainnya meliputi percepatan pembentukan Peraturan Gubernur tentang Penetapan Konflik Satwa sebagai Kejadian Luar Biasa, pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal seperti ekowisata dan kerajinan gampong, serta penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan dan mafia tambang yang merusak lingkungan.
FPPA juga menekankan pentingnya pelibatan aktif perempuan dalam setiap proses pengawasan dan pengambilan keputusan terkait lingkungan, serta perlindungan penuh terhadap pembela lingkungan dari segala bentuk ancaman dan kriminalisasi.
Dalam penutup pernyataannya, FPPA menegaskan bahwa penyelamatan alam Aceh tidak bisa hanya menunggu inisiatif pemerintah.
“Masyarakat, terutama perempuan, telah lebih dulu bergerak di garis depan melindungi hutan, sungai, dan laut,” sebut mereka.
Forum tersebut menyampaikan bahwa pernyataan sikap ini bukan hanya bentuk protes, tetapi juga suara cinta dan peringatan bagi semua pihak untuk kembali menaruh kepedulian pada bumi Aceh.
“Kami tidak akan diam. Kami tidak akan berhenti bersuara. Karena bagi kami, menjaga alam berarti menjaga kehidupan,” tutup FPPA.
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Dalam prosesi penyerahan Keputusan Menteri Agama (KMA) bagi Guru Besar rumpun…
Analisaaceh.com, Blangpidie | Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Aceh Barat Daya (Abdya) menghentikan aktivitas galian…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Aceh memusnahkan berbagai barang hasil penindakan…
Analisaaceh.com, Blangpidie | Fraksi Abdya Mendaulat Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Barat Daya (Abdya)…
Analisaaceh.com, Tapaktuan | Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Selatan, Hadi Suhaima meminta PT…
Analisaaceh.com, Blangpidie | Fraksi Abdya Bermartabat di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Barat Daya…
Komentar