20 Tahun Damai, Eks Kombatan GAM Ingatkan Komitmen Penuntasan MoU Helsinki

Adi Laweung, foto: naszadayuna/analisaaceh.com

Analisaaceh.com, Banda Aceh | Dua puluh tahun setelah perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia ditandatangani pada 15 Agustus 2005, mantan kombatan kembali menyoroti masih banyaknya butir kesepakatan yang belum sepenuhnya dijalankan.

Salah satunya adalah Suadi Sulaiman atau Adi Laweung, yang menilai pentingnya menghidupkan kembali semangat awal perjanjian MoU Helsinki agar tidak sekadar menjadi simbol, melainkan benar-benar menghadirkan keadilan bagi masyarakat Aceh.

“Ini adalah persoalan yang tidak bisa terus diabaikan. Kita ingin perdamaian ini benar-benar bermakna, bukan hanya seremoni setiap tahun,” ujar Adi, Rabu (6/8/2025).

Adi menilai, masih terdapat sejumlah poin penting dalam MoU maupun Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang implementasinya belum tuntas.

Ia mendorong pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, untuk menyusun daftar inventarisasi atas butir-butir yang belum dijalankan secara optimal.

Ia juga menaruh harapan pada proses revisi UUPA yang sedang berlangsung, agar tidak berhenti pada proses formalitas, tetapi mampu mengakomodasi substansi dari semangat perdamaian.

Menurutnya, kepemimpinan baru di bawah Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhullah bisa menjadi titik tolak untuk menghidupkan kembali komitmen bersama.

Salah satu isu krusial yang ia soroti adalah soal lahan bagi mantan kombatan dan korban konflik. Menurut Adi, sejumlah wilayah sebenarnya sudah tersedia, namun belum seluruhnya dialokasikan secara tuntas.

“Di beberapa daerah, ada lahan yang sudah disiapkan tapi statusnya belum jelas. Bahkan ada HGU yang tidak dimanfaatkan namun masih diklaim, padahal izinnya sudah tidak berlaku,” ungkapnya.

Adi menilai perlunya keterlibatan aktif Kementerian ATR/BPN dalam menata ulang distribusi lahan, termasuk menindak lanjuti aset-aset HGU yang tidak produktif. Ia juga menyarankan agar posisi Kepala Kantor Wilayah BPN Aceh ke depan diisi oleh putra daerah yang telah lolos asesmen nasional.

“Putra Aceh biasanya lebih memahami karakter dan kompleksitas daerahnya. Mereka juga punya jalur komunikasi yang lebih terbuka dengan tokoh-tokoh lokal dan KPA, yang sangat penting untuk percepatan penyelesaian persoalan agraria ini,” ujarnya.

Lebih jauh, Adi menekankan bahwa makna dari perdamaian bukan hanya berhentinya konflik bersenjata, tetapi juga hadirnya keadilan, pemulihan hak, dan penghormatan atas kontribusi Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Kalau keadilan terus tertunda, maka esensi dari perdamaian itu sendiri ikut melemah. Kita ingin damai yang utuh, yang mengakar dalam kehidupan masyarakat,” katanya.

Ia pun berharap, momentum dua dekade damai ini bisa menjadi pengingat bersama bahwa masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai, dan janji-janji yang perlu diwujudkan.

“Apalagi dalam kampanye kemarin, isu lahan menjadi salah satu yang paling sering disampaikan. Sekarang waktunya untuk membuktikan bahwa komitmen itu nyata,” tutupnya.

Komentar
Artikulli paraprakTagana Abdya Diduga Pakai Dana Desa Rp116 Juta untuk Kegiatan Tak Berguna