Analisaaceh.com, Idi | 77 tahun sudah Indonesia merdeka, waktu yang cukup lama bagi sebuah bangsa berdiri tanpa penjajahan hingga maju di segala bidang. Mulai dari infrastruktur, sarana umum, pendidikan hingga teknologi yang modern.
Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah mulai Sabang hingga Meurauke, tidak ada alasan bagi bangsa ini untuk tidak berdiri dengan megah. Pun Aceh, bergelimang rupiah melalui otonomi khusus hingga SDA yang sangat menjanjikan, seyogyanya Tanah Rencong adalah daerah kaya.
Namun, sepertinya hal itu tidak dialami oleh masyarakat Gampong Buket Seulemak. Sebuah desa di Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh yang berada di kawasan terpencil dan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Telah 77 tahun masyarakat di sini menunggu kemajuan, setidaknya kata “layak”.
Sejak berdiri dari tahun 1935, Gampong Buket Seulemak belum tersentuh akan kemajuan hingga tahun 2022 yang sudah memasuki era 4.0. Sebut saja seperti infrastruktur jalan, jembatan, sarana pendidikan hingga jaringan komunikasi pun nihil daerah ini.
Sedikitnya 826 jiwa dari 220 Kepala Keluarga (KK) harus melalui kubang lumpur di musim penghujan dan kubang debu di musim kemarau dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Tak ada jalan yang layak, apalagi aspal hitam yang membentang di desa seluas 10.000 Kilometer persegi meliputi tiga dusun ini.
Ironisnya, jalan berlumpur dan berdebu tersebut mesti dilalui masyarakat bila berpergian antar dusun atau keluar ke kecamatan yang harus menempuh perjalanan 2 hingga 5 KM.
Pemandangan anak-anak berseragam sekolah menjinjing sepatu sudah lumrah bagi masyarakat di sini. Sebab lumpur sepergelangan kaki tersebut dapat membenamkan sepatu para penerus bangsa itu saat pergi menimba ilmu.
Perjalanan ke Buket Seulemak
Pewarta Analisaaceh.com mencoba mengunjungi Gampong Buket Seulemak pada Rabu (17/8/2022) dengan menempuh perjalanan lebih kurang 10 KM dari jalan lintas utama Medan-Banda Aceh. Kemudian melewati beberapa Desa seperti Gampong Alue Gandeng dan Gampong Wonosari yang juga dalam wilayah Kecamatan Birem Bayeun.
Seperti ulasan sebelumnya, debu dan jalanan tanah gunung dan bebatuan penuh lubang menjadi “makanan” di sepanjang jalan, begitu juga jembatan kayu seadanya sebagai akses ke daerah tersebut. Lebih kurang 2-3 jam perjalanan baru tiba di Gampong Buket Seulemak.
Tak ada pemandangan bangunan megah daerah ini, hanya perumahan warga rata-rata berkonstruksi kayu berdiri dengan masyarakat yang hidup damai dan tentram satu sama lain.
Terisolisirnya daerah ini semakin lengkap karena tidak adanya jaringan internet yang menjadi kebutuhan sebagian besar masyarakat untuk berkomunikasi. Bahkan untuk menelpon atau menerima panggilan pun tak dapat dilakukan sama sekali. Biasanya masyarakat harus menaiki perbukitan atau dataran tinggi untuk memperoleh sedikit sinyal.
Telihat masyarakat yang melintas dengan membawa hasil bumi yang ditanamnya sendiri, diringi para anak-anak yang memakai seragam sekolah yang setiap harinya mereka harus melewati medan jalanan yang begitu berat, dan bahkan menumpuh perjalanan hingga 5 KM untuk ke sekolah.
Semuanya tersenyum ramah dan terus bertahan tanpa tahu harus mengeluh kepada siapa. Mereka hanya bisa melewati semua keadaan sulit di Negeri yang sangat kaya ini meski sudah puluhan tahun.
Bramsyah (60), salah satu penduduk asli Buket Seulemak kepada Analisaaceh.com mengatakan, dahulu desa tersebut tidak memiliki jalan dan masyarakat menggunakan aliran sungai sebagai akses untuk untuk berpergian dengan menggunakan sampan atau rakit.
“Dahulu waktu saya kecil tidak ada jalan, kami kalau mau ke kota lewat sungai naik sampan atau rakit, namun begitu saya beranjak umur 11 tahun jalan di desa ini baru dibuka oleh orang Amerika,” kisahnya.
Namun sejak dibukanya jalan tersebut hingga kini belum pernah tersentuh oleh jalanan hitam beraspal. Pun pemerintah, kata Bramsyah, hanya menjanjikan pembangunan, tapi hingga tak ada bukti.
“Dari dulu hingga sekarang belum pernah di aspal, yang ada hanyalah kabar bahwa akan diaspal tapi kenyataannya kabar itu hanyalah janji dari para calon pemimpin waktu pemilu tiba,” ujarnya.
Kepala Desa (Keuchik) Buket Seulemak, Ramli (40) mengaku bahwa pihaknya sudah melakukan segala upaya agar desa tersebut diperhatikan oleh pemerintah. Tetapi upaya itu hingga kini belum membuahkan hasil.
“Kami sudah mencoba segala cara agar kami diperhatikan oleh orang-orang di atas (pemerintah). Kami tidak butuh banyak, saat ini yang sangat kami butuhkan hanyalah pengaspalan jalan yang kita tau sangat memprihatinkan. Sebab ini mempengaruhi kebutuhan masyarakat baik dari segi pendidikan, ekonomi, bahkan dari segi hal-hal darurat,” ungkapnya.
Ramli menjelaskan bahwa selama ini jika jalan sudah terlalu rusak, pemerintahan desa dan masyarakat setempat hanya bisa memperbaiki dengan anggaran dan alat yang seadanya melalui bergotong royong. Tentunya perbaikan itu tidak bertahan lama.
“Jika jalan sudah terlalu hancur akibat hujan, maka kami hanya bisa meratakannya dengan menggunakan anggaran dana desa yang tentu saja tidak akan cukup jika ingin diaspal, ditambah dengan bantuan tenaga dari masyarakat agar anak-anak di sini bisa melewatinya untuk bersekolah, tapi setelah diperbaiki akan hancur lagi ketika hujan turun,” sebutnya.
Dirinya berharap di umur Indonesia yang ke 77 tahun ini, agar pemerintah dapat memperhatikan kondisi Gampong Bukit Seulemak tersebut. Sebab kata Ramli, Bukit Seulemak juga bagian dari Indonesia yang punya hak untuk memperoleh keadilan seperti daerah-daerah lain.
“Harapannya di HUT Indonesia yang ke 77 adalah untuk para saudara sebangsa di luar sana baik itu dari kalangan pemimpin, wakil rakyat ataupun lembaga masyarakat agar memperhatikan kami di desa terpencil ini, karena kami juga berhak merasakan manisnya kemerdekaan di negara yang sangat kami cintai ini,” pungkasnya.