Analisaaceh.com, Jakarta | Dewan Perwakilan Rakyat meminta Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menetapkan target waktu penyelesaian penataan dan penyehatan perusahaan milik negara.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rafli mengusulkan paling lambat satu tahun sejak dilantik proses pembenahan seluruh BUMN dan anak BUMN bisa tuntas. Anggota Fraksi PKS asal Aceh itu meminta Erick menjadikan BUMN yang kondisinya sakit parah sebagai prioritas utama penataan dan penyehatan.
Rafli menyontohkan BUMN Perkapalan. Penyehatan BUMN perkapalan penting sebagai penopang utama kebangkitan industri perkapalan nasional yang sangat penting dalam upaya mendongrak pertumbuhan ekonomi nasional.
“Sejumlah sektor yang menjadi sumber penting pendapatan negara seperti industri pariwisata bahari, perikanan, dan industri maritim lainnya sangat membutuhkan dukungan industri galangan kapal nasional. Tidak kalah pentingnya perdagangan antar pulau hanya mungkin berkembang dengan dukungan industri perkapalan nasional yang kuat. Sebagai negara kepulauan, Indonesia harus mempunyai BUMN yang kuat di bidang galangan kapal agar perekonomian dalam negeri bisa berlari,” tegas Rafli, Kamis (19/12/2019).
Terlebih Presiden Jokowi sendiri lanjutnya, telah mencanangkan Indonesia menjadi poros maritim dunia, antara lain dengan program tol laut. Program tersebut penting untuk menyambungkan antar kepulauan dengan memperbanyak lalu lintas kapal.
Konektivitas antar pulau berperaan dalam mengatasi ketimpangan harga bahan barang pokok maupun kebutuhan lainnya di pelbagai daerah.,” katanya.
Menurut Rafli, salah satu BUMN yang mendesak dibenahi adalah PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (PT DKB) yang kondisinya dalam beberapa tahun terakhir kian memprihatinkan.
Rafli pun mengaku sudah mengantongi laporan bahwa PT DKB tak menyelesaikan proyek kapal perintis untuk program tol laut yang dipesan oleh Kementerian Perhubungan pada 2015 lalu.
“Proyek itu berupa 4 unit, 2 unit kapal perintis 2.000 GRT dikerjakan langsung oleh PT. DKB; 1 unit kapal perintis 2.000 GRT yang dikerjasamakan dengan perusahaan swasta; PT. Karakatau Shipyard; dan 1 unit 750 GRT juga dikerjakan langsung oleh PT. DKB. Kalau selaras dengan pemerintah, kenapa BUMN ini malah memperlambat pengerjaannya,” tanya Rafli.
Lebih lanjut ia mengatakan, proyek lain yaang juga bermasalah adalah proyek nasional alutsista TNI milik Kemenhan, yaitu kapal angkut tank (AT-1) dengan nilai sebesar Rp 159,5 miliar dan pekerjaan kapal angkut tank (AT-2) senilai Rp 159,5 miliar.
“Padahal PT DKB sudah mendapat tambahan modal lewat Penyertaan Modal Negara (PMN) seperti pernah disinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu waktu lalu. Ketika itu, Sri Mulyani menyebut ada 7 BUMN yang kinerja keuangannya tetap merugi pada tahun 2018 meskipun pemerintah telah menyuntikkan PMN Rp 3,6 triliun,” katanya.
Ia juga menyebutkan, salah satu BUMN yang disebut oleh Sri Mulyani adalah PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari. Sementara itu, berdasarkan keterangan mantan Komisaris PT DKB, Desi Albert Mamahit, PMN itu dipakai tak sesuai peruntukan, karena digunakan untuk membayar operasional dan gaji karyawan.
Rafli pun menyoroti kinerja jajaran direksi PT DKB selama memimpin perusahaan. Sebab, menurut dia, perusahaan yang bisa mendapatkan rapor hijau harus dipimpin oleh pemimpin yang kompeten dan mengetahui seluk beluk usaha di bidang galangan kapal.
“Jika tidak punya kapabilitas, seharusnya mereka dicopot dan diganti oleh orang yang punya kapabilitas di bidang perkapalan,” tegasnya.
Rafli pun berencana menanyakan hal itu kepada Menteri BUMN Erick Thohir saat Rapat Kerja dengan Komisi VI pada Januari 2020 mendatang.
“Pergantian direksi yang tidak punya kapabilitas maupun integritas, merupakan langkah awal bebenah BUMN agar kinerja perseroan melesat dan tidak merugikan negara. Apalagi, tahun depan diprediksi akan memasuki masa resesi global. Saya mendukung langkah Pak Ercik untuk segera memulihkan kesehatan perusahaan,” pungkasnya.