Analisaaceh.com, Banda Aceh — Anggota Komisi IV DPRA Armiyadi, SP mengkritik proses penganggaran proyek multi years oleh Pemerintah Aceh. Ia menyebut proyek multi years contract (MYC) atau proyek tahun jamak Pemerintah Aceh sebagai penumpang gelap.
“Prosedur penganggaran proyek multiyears yang menyerap anggaran besar harus legal. Ini yg dipermasalahkan oleh teman-teman di DPRA. Justru soal kemunculan proyek ini sebagai penumpang gelap dalam APBA tahun 2020” kata Armiyadi kepada media ini, Rabu (16/9/20).
Meskipun mendukung pembangunan Aceh secara umum, namun ia mengingatkan Pemerintah Aceh bahwa proses penganggaran proyek harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan.
Armiyadi membeberkan bahwa Proyek MYC yang belakangan menjadi polemik itu sebenarnya tidak pernah diajukan dan tidak pernah dibahas dengan pihak DPRA baik melalui KUA PPAS maupun pada RAPBA oleh DPRA periode sebelumnya.
Ia mensinyalir, usulan proyek yang menelan angka Rp2,7 triliun tersebut dimasukan oleh oknum tidak bertanggung jawab pada proses pengusulan ke pemerintah pusat.
Pihaknya menduga pada saat itulah Proyek MYC dimasukkan sebagai “penumpang gelap” pada dokumen RAPBA 2020. Praktek curang inilah, yang dipersoalkan oleh pihak legislatif.
“Mungkin dimasukkan secara sepihak setelah RAPBA disepakati dengan DPRA pada saat sebelum diantar ke Kemendagri untuk diverifikasi. Kami bukan menolak atau tidak setuju proyek MYC, tapi patuhi proses yang telah diatur” kata anggota Fraksi PKS ini.
Menangapi isu panas yang menggelinding di masyarakat, Armiyadi mengatakan justru pihaknya sangat mendukung pembangunan di Aceh apalagi masyarakat daerah sangat mengharapkan jalan tersebut.
Ia kembali menegaskan pemerintah Aceh harus mengikuti prosedur secara legal sesuai dengan peraturan yang berlaku jangan dipaksakan sehingga ujung-ujungnya bertabrakan dengan peraturan.
“Atau jangan-jangan ada hal-hal yang jadi tanda tanya besar bagi kami dan masyarakat untuk kegiatan proyek MYC ini” kata dia menduga-duga motif di balik penganggaran tersebut.
Selain proses penganggaran, Armiyadi juga melihat hal aneh pada proses eksekusi kegiatan proyek ini, baik pada proses tender hingga pelaksanaan mengingat waktu yang sudah memasuki akhir tahun. Ia memprediksi tidak cukup waktu bagi rekanan untuk melaksanakan proyek tersebut.
Armiyadi memberi contoh, misalnya kegiatan sudah mulai dilaksanakan (sudah tender), sementara ditahapannya pengumuman pemenang tertanggal 24 November 2020. “Artinya apa? disitu jelas bahwa untuk tahun 2020 saya yakin progres fisiknya tidak ada. Tidak cukup waktu buat rekanan untuk bekerja” sebutnya.
Maka dari itu, Armiyadi selaku anggota komisi membidangi infrastruktur mengusulkan untuk kegiatan proyek tersebut dikerjakan menggunakan sistem tahun tunggal atau dikerjakan dalam 1 tahun anggaran. Tidak perlu dipaksakan dengan sistem tahun jamak.
“Misalnya untuk ruas jalan A mampu dikelola atau dikerjakan 5 s/d 6 kilometer oleh instansi terkait maka anggarkan sebesar kebutuhan 5 s/d 6 km saja. Metode ini untuk menghindari kekeliruan yang bisa berakibat melanggar hukum dalam pelaksanaan proyek MYC. Semoga para pihak pejabat kabupaten jangan gagal paham dalam memahami masalah proyek tersebut” demikian Armiyadi, Anggota Komisi IV DPRA.