Analisaaceh.com | Para tersangka kasus pembunuhan Brigadir J satu persatu diperiksa uji kebohongan dengan menggunakan lie detector.
Penyidik Bareskrim Polri memperkuat hasil penyidikan terkait kasus pembunuhan berencana Brigadir J, dengan melakukan uji kebohongan (lie detector) terhadap para tersangka, Bharada E, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma’ruf, juga Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Lie detector yang dijalankan oleh penyidik Bareskrim Polri sejalan dengan instruksi Kapolri, Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si., agar menggunakan pendekatan scientific crime investigation dalam pengusutan kasus pembunuhan berencana di Duren Tiga. Pembuktian ilmiah ini sekaligus menguatkan hasil penyidikan yang sudah dijalankan oleh penyidik Bareskrim Polri.
“Satu demi satu lima tersangka menjalani uji kebohongan, Bharada E lebih dulu menjalani uji kebohongan, kemudiaan menyusul Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi tidak ketinggalan harus menjalani uji kebohongan tersebut,” kata Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen. Pol. Andi Rian Djajadi, Selasa (6/9).
Dikatakan Dirtipidum, alasan penggunaan uji kebohongan kepada para tersangka untuk mengetahui apakah keterangan yang disampaikan tersangka benar atau berbohong.
“Selain itu, upaya ini menjadi bukti petunjuk bagi penyidik dalam mengungkap peristiwa pembunuhan Brigadir J dan melengkapi berkas perkara agar segera dinyatakan lengkap dan bisa dibuktikan di persidangan,” sebutnya.
Sementara uji polygraph atau lie detector oleh Puslabfor Polri terhadap Richard Eliezer alias Bharada E, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf, hasilnya jujur atau No Deception Indicated.
Hasil itu diketahui setelah ketiga tersangka menjalani pemeriksaan lie detector di Puslabfor, Sentul, Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Ricky dan Kuat diperiksa pada 5 September, sementara Richard diperiksa sebelumnya.
Lie detector yang dipergunakan Bareskrim Polri adalah untuk uji kebohongan adalah sebuah mesin poligraf. Alat pendeteksi
kebohongan dibuat oleh seorang peneliti medis dan seorang polisi di Berkeley, California, AS. Kemudian disempurnakan oleh alumni Berkeley lainnya, Leonarde Keeler, yang pertama kali menerapkannya pada pemecahan kejahatan.
Pada tanggal 2 Februari 1935, hasil tes poligraf Keeler digunakan dalam persidangan pidana, menandai pertama kalinya penemuan itu digunakan sebagai bukti yang dapat diterima. Dua pria di Wisconsin gagal lulus poligraf, yang akhirnya membuat mereka dihukum.
Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) digunakan dalam membantu pihak penyidik dalam melakukan pemeriksaan tindak pidana perkosaan serta tindak pidana lain agar penyidikan dapat berjalan maksimal.
Cara kerja lie detector adalah dengan melihat detak jantung, denyut nadi, serta perubahan fisik. Apabila orang yang sedang diperiksa mengatakan sesuatu yang benar, detak jantung dan denyut nadi akan berjalan secara normal.
Namun, apabila yang bersangkutan berbohong, maka akan ada perubahan fisik dari detak jantung atau denyut nadi.
Poligraf, atau biasa dikenal sebagai pendeteksi kebohongan, bekerja dengan mengukur perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh, misalnya jumlah helaan napas, detak jantung, tekanan darah, dan reaksi mendadak pada kulit.
Metode lain ada yang melihat perubahan ukuran pupil dan aktivitas otak, menggunakan MRI.
Dengan poligraf, sangat cepat dan mudah bagi polisi untuk menentukan tersangka sebuah kejahatan dan memutuskan apakah perlu bagi polisi untuk menggali informasi lebih dalam tentang seseorang, atau mencari calon tersangka lain.
Dengan menggunakan lie detector tersebut, Polri membuktikan secara sungguh menggunakan pendekatan scientific investigation dalam menyidik dan melengkapi berkas perkara para tersangka kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Sehingga secara obyektif, ilmiah, dan transparan hasil penyidikan Polri terkait pembunuhan di Duren Tiga dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan kepada masyarakat.