Analisaaceh.com, Banda Aceh | Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Salihin meminta pemerintah memproteksi kerusakan hutan di Aceh Tenggara yang terus terjadi setiap tahunnya.
Menurut Ahmad Shalihin mengatakan banjir yang melanda Kabupaten Aceh Tenggara dalam sepekan terakhir ini membuktikan bahwa kerusakan tutupan hutan semakin masif terjadi, baik itu akibat penebangan liar, perkebunan sawit hingga pembukaan jalan baru, seperti pembangunan jalan tembus dari Jambur Latong, Kutacane sampai perbatasan Sumatera Utara.
“Pembukaan jalan baru tersebut dapat memicu illegal logging maupun konflik satwa dan kejahatan lingkungan lainnya. Dengan adanya jalan tersebut para perambah hutan semakin mudah untuk mengakses kawasan hutan untuk menebang kayu,” ujarnya Kamis (24/8/2023).
Intensitas banjir yang terjadi di Aceh Tenggara sepakan ini, katanya membuktikan bahwa kerusakan hutan semakin masif terjadi di Aceh Tenggara.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), banjir yang melanda Aceh Tenggara sepekan terakhir ini telah berdampak terhadap 8.101 jiwa dan 2.230 kepala keluarga. Sebanyak 326 jiwa terpaksa harus diungsikan, meskipun hingga sekarang belum ada laporan korban jiwa data per 22 Agustus 2023..
Ada 10 kecamatan dikepung banjir setelah intensitas hujan lebat melanda Aceh Tenggara. Akibatnya merusak lahan padi dan lahan jagung, Bahkan dilaporkan jembatan Lawe Hijo Ampera putus.
Dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tenggara 92 persen masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Berdasarkan SK 580 total luasnya 414.664 hektar, jadi 380.457 hektar adalah KEL.
Padahal KEL merupakan salah satu hamparan hutan hujan tropika terkaya di Asia Tenggara, serta lokasi terakhir di dunia yang ditempati gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orang utan sumatra dalam satu area.
Parahnya kerusakan tutupan hutan di Aceh Tenggara mayoritas terjadi dalam Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional (TN) yang seharusnya dijaga dan dilindungi. Dampaknya saat musim hujan dengan intensitas tinggi, banjir dengan mudah terjadi, karena daya tampung semakin berkurang karena hutan sudah gundul.
Hutan Lindung di Aceh Tenggara berdasarkan SK 580 seluas 79.267 hektar, sekarang tersisa hanya 68.218 hektar. Artinya pada 2022 terjadi kehilangan tutupan hutan di kawasan ini seluas 11.049 hektar, hampir dua kali lipat luasan kota Banda Aceh.
Kemudian Taman Nasional (TN) di Aceh Tenggara awalnya luasan 278.205 hektar, sekarang tersisa 257.610 hektar, artinya telah terjadi kehilangan 20.595 hektar pada 2022 atau hampir setara 4 kali luasan kota Banda Aceh.
“Kondisi hutan di Aceh Tenggara terus menyusut setiap tahunnya sejak 2014 lalu, ini yang kemudian menjadi pemicu mudah terjadi banjir bila hujan lebat melanda,” paparnya.
Kemudian, sambungnya, bila hutan terus ditebang dan suatu wilayah dilanda curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan luapan air yang berlebih. Padahal pohon memiliki fungsi menyerap air untuk mencegah banjir.
“Pohon itu memiliki peran penting untuk mencegah banjir, terutama banjir bandang, karena pohon sebagai penghalang air banjir, sehingga air meresap dan banjir dapat teratasi. Jadi kalau hutan sudah gundul, tidak ada lagi yang menahan air,” jelasnya.
Oleh sebab itu, WALHI Aceh mendesak pemerintah Aceh memproteksi kerusakan hutan di Aceh Tenggara yang terus terjadi setiap tahunnya. Begitu juga tidak membuka jalan baru, cukup memaksimalkan jalan yang sudah ada dengan memperbaiki agar mudah dilalui.
“Sudah saatnya Aceh Tenggara memasukkan mitigasi bencana banjir dalam merevisi qanun tata ruang kabupaten sebagai salah satu solusi untuk menanggulangi bencana banjir dalam jangka panjang,” tuturnya
Menurutnya, Qanun Aceh No 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh tahun 2013 – 2033 sekarang sedang direvisi. Pemerintah Aceh Tenggara dapat mengambil peluang ini untuk menyinkronkan tata ruang kabupaten dengan provinsi terkait kepentingan penanggulangan bencana banjir.