Analisaaceh.com, Langsa | Tumbuhan mangrove, yang tumbuh subur di kawasan pesisir, memiliki manfaat besar dalam menjaga ekosistem laut dan pantai. Mangrove dikenal mampu menahan abrasi pantai dan menjaga keseimbangan ekosistem pesisir.
Di Provinsi Aceh, terutama di wilayah pesisir timur seperti Kota Langsa, tanaman ini tumbuh di sekitar 8.000 hektar kawasan, menjadikannya salah satu pusat ekosistem mangrove terpenting di daerah tersebut.
Namun, siapa sangka bahwa selain manfaat ekologisnya, mangrove kini juga dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk menciptakan berbagai produk kuliner khas Kota Langsa? Olahan unik berbahan dasar mangrove, seperti sirup, dodol, keripik, dan selai, telah menjadi daya tarik baru bagi wisatawan yang berkunjung ke kota ini.
Untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang produk kuliner mangrove yang semakin populer, tim analisaaceh.com berkunjung ke Gampong Kuala Langsa, Kecamatan Langsa Barat. Di sana, kami bertemu dengan Halimah Azmi (43), seorang pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang telah mengembangkan berbagai produk berbahan dasar mangrove sejak tahun 2018.
Halimah menceritakan bagaimana dirinya pertama kali terinspirasi untuk membuat produk dari mangrove. Saat itu, dia mengikuti pelatihan yang diadakan oleh PKK di desanya. Dalam pelatihan tersebut, peserta diajarkan cara memanfaatkan bahan-bahan lokal yang melimpah di sekitar mereka, termasuk mangrove, yang biasanya hanya dikenal sebagai tanaman penahan abrasi.
“Saya mengikuti pelatihan PKK dan diajarkan cara memanfaatkan mangrove sebagai bahan kuliner. Dari sana, saya mencoba membuat produk pertama, yaitu Sirup Mangrove, dengan modal awal sebesar Rp1 juta,” jelasnya.
Dalam proses pembuatan kuliner mangrove, Halimah menjelaskan bahwa bahan-bahan yang digunakan cukup sederhana, seperti tepung terigu, tepung ketan, gula, santan, dan garam. Namun, ada bahan khusus yang membedakan kuliner mangrove dengan olahan lainnya, yaitu buah mangrove jenis Beureumbang.
Buah ini dikupas dan diblender untuk mendapatkan sari intinya, yang kemudian dicampur dengan bahan-bahan lain seperti gula dan tepung. Sirup, dodol, dan selai mangrove semuanya berbahan dasar buah Beureumbang.
Untuk varian lain, seperti keripik mangrove, Halimah menggunakan daun mangrove jenis Jeruju. Proses pembuatannya berbeda karena daun Jeruju memiliki tekstur berduri.
“Daunnya harus benar-benar dibersihkan dan dihaluskan sebelum digoreng dengan tepung,” tambah Halimah.
Saat kami mencicipi beberapa produk dari Halimah, sensasi rasa yang dihadirkan cukup mengejutkan. Produk sirup mangrove, dodol, dan selai memiliki cita rasa manis seperti kurma, namun dengan sedikit sentuhan asam yang menyegarkan di ujung lidah.
Rasa unik ini membuat produk-produk mangrove terasa berbeda dan menawarkan pengalaman kuliner yang menarik bagi siapa saja yang mencobanya.
Keunikan rasa tersebut, ditambah dengan bahan-bahan alami dari alam pesisir, menjadikan produk-produk Halimah semakin digemari. Selain kualitasnya, produk ini juga memberi dampak positif pada perekonomian lokal.
“Buah Beureumbang yang saya gunakan selalu saya beli dari masyarakat setempat dengan harga Rp5 ribu per kilogram. Ini juga membantu masyarakat lokal yang mau memetiknya,” ungkap Halimah.
Menurut Halimah, produk kuliner berbahan dasar mangrove ini memiliki potensi besar untuk menjadi oleh-oleh khas yang menarik dari Kota Langsa. Bukan hanya karena rasanya yang unik, tetapi juga karena produk ini mencerminkan kekayaan alam dan tradisi lokal yang tak banyak ditemukan di tempat lain.
“Jika wisatawan datang berkunjung, mereka bisa membawa pulang sirup atau dodol mangrove sebagai oleh-oleh khas yang mencerminkan identitas Kota Langsa, yang dikenal dengan kawasan hutan mangrovenya,” tambah Halimah.
Tidak hanya digemari oleh wisatawan, produk mangrove ini juga disukai oleh masyarakat setempat. Sukma (42), salah satu penikmat kuliner berbahan mangrove, mengaku keluarganya sangat menyukai produk-produk ini.
“Saya warga asli Kota Langsa, tetapi setiap kali saya mencicipi produk mangrove, rasanya selalu memikat. Bahkan, keluarga saya yang tinggal di luar daerah seperti Aceh Timur dan Sumatera Utara, sering meminta saya untuk mengirimkan oleh-oleh khas mangrove,” tutur Sukma.
Keberhasilan Halimah dalam mengembangkan produk kuliner mangrove ini menjadi contoh nyata bagaimana bahan-bahan lokal yang berasal dari alam dapat diolah menjadi produk bernilai tinggi. Tak hanya lezat, produk ini juga memiliki dampak positif pada ekonomi lokal dan berpotensi menjadi salah satu andalan produk khas Kota Langsa di masa depan.
Pemanfaatan mangrove untuk kuliner juga memiliki dampak yang lebih luas. Dengan meningkatnya permintaan produk berbahan dasar mangrove, semakin banyak masyarakat yang terdorong untuk menjaga kelestarian hutan mangrove di sekitar mereka. Sebagai sumber bahan baku, kelestarian mangrove menjadi penting agar produksi kuliner khas ini dapat terus berlanjut.
Bagi Halimah, keberhasilan bisnis kulinernya bukan hanya tentang keuntungan pribadi, tetapi juga tentang menjaga hubungan antara manusia dan alam. “Dengan memanfaatkan mangrove, kita tidak hanya melestarikan alam, tetapi juga mendukung perekonomian lokal. Semoga produk ini bisa terus berkembang dan dikenal lebih luas,” pungkasnya.
Kota Langsa kini tidak hanya dikenal dengan pesona alam pesisirnya, tetapi juga dengan produk kuliner khas berbahan mangrove yang unik dan lezat. Bagi siapa pun yang berkunjung, membawa pulang oleh-oleh dari mangrove bisa menjadi kenangan manis dari Kota Langsa, serta sebuah cara untuk mendukung kelestarian alam dan ekonomi lokal. (Adv) (Chairul)