Mengenang Dua Dekade Tsunami Aceh, Masyarakat Tafakur dan Doa Bersama

Gubernur Aceh saat memberi sambutan, foto : naszadayuna/analisaaceh.com

Analisaaceh.com, Banda Aceh | Memperingati 20 Tahun Tsunami Aceh, masyarakat menggelar tafakur dan doa bersama di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Kamis (26/12/2024) pagi.

Tafakur dan doa ini dilakukan dengan suasana yang penuh makna untuk mengenang salah satu peristiwa terbesar dalam sejarah manusia, yaitu Bencana Gempa dan Tsunami yang melanda Aceh pada hari Minggu, 26 Desember 2004 pukul 07.58 WIB.

Kegiatan ini mengusung tema “Beranjak dari Masa Lalu, Menuju Masa Depan Aceh Bersyariat” dan diawali dengan pembunyian sirine Tsunami Early Warning System (EWS) selama tiga menit.

Penjabat Gubernur Aceh, Safrizal, menceritakan kilas balik terjadinya peristiwa dahsyat tersebut.

Gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter, yang kemudian disusul oleh gelombang tsunami, menghantam pesisir Aceh.

Dalam hitungan menit, gempa dan gelombang dahsyat itu telah merenggut lebih dari 170.000 nyawa masyarakat Aceh.

“Namun, di tengah kekalutan itu, Allah SWT memperlihatkan kepada kita akan kuasa-Nya melalui cahaya kemanusiaan yang begitu terang,” paparnya.

Ketika berita tentang tsunami Aceh menyebar ke seluruh dunia, komunitas internasional bergerak dengan kecepatan dan solidaritas yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kemanusiaan modern.

“Lebih dari 60 negara, ratusan organisasi internasional, dan ribuan relawan dari berbagai penjuru dunia datang ke Aceh, membawa bantuan, harapan, dan semangat untuk bangkit kembali. Kita menyaksikan bagaimana dunia bersatu untuk Aceh. Kita menyaksikan bagaimana ribuan relawan internasional bekerja tanpa kenal lelah,” paparnya.

Mereka tinggal di tenda-tenda sederhana, menghadapi berbagai kesulitan dan risiko, bahkan ada yang sampai mengorbankan nyawa mereka demi membantu Aceh.

Yang lebih menakjubkan lagi, tsunami telah membuka pintu perdamaian di Aceh. Konflik yang telah berlangsung selama 30 tahun, akhirnya menemui titik terang.

“Bencana ini telah membuka mata semua pihak bahwa perdamaian adalah jalan terbaik untuk membangun Aceh yang lebih baik,” katanya.

Pada 15 Agustus 2005, atau hanya delapan bulan setelah tsunami, Pemerintah RI dan GAM menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, mengakhiri konflik berkepanjangan dan membuka lembaran baru bagi Aceh.

“Dalam menghadapi bencana yang begitu dahsyat, kita belajar bahwa manusia tidak bisa berdiri sendiri. Kita membutuhkan uluran tangan sesama, doa yang tulus, dan semangat gotong-royong untuk mengatasi segala tantangan,” tutupnya.

Ket foto :

Komentar
Artikulli paraprakKejati Aceh Teliti Laporan Dugaan Lelang Gelap Leasing di Lhokseumawe
Artikulli tjetërDSI Kota Langsa Catat 149 Kasus Pelanggaran Syariat Islam 2024