Tim Patroli Hutan Adat Diadang, Diduga Ada Provokasi Mafia Kayu di Bireuen

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Afifuddin Acal. Foto: Ist

Analisaaceh.com, Bireuen | Tim gabungan dari TNI, Polri, masyarakat adat, dan tiga imuem mukim pemegang izin hutan adat di Kabupaten Bireuen diadang sekelompok orang saat melakukan patroli penertiban di kawasan hutan lindung, Minggu (29/6/2025).

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Afifuddin Acal, Selasa (1/7/2025) melalui siaran pers mengatakan bahwa insiden terjadi di wilayah Desa Jaba, Kecamatan Peudada, saat tim menuju lokasi hutan adat Lebok Panah.

Kelompok pengadang mengatasnamakan diri sebagai perwakilan seuneubok (masyarakat adat setempat) di Mukim Pinto Batee dan petani Desa Jaba—wilayah yang belum memiliki izin pengelolaan hutan adat.

Namun menurut warga yang ikut dalam patroli, mereka bukan bagian dari seuneubok, melainkan diduga digunakan sebagai tameng oleh cukong kayu dan mafia tanah yang selama ini merusak kawasan hutan Bireuen.

Patroli digelar untuk menertibkan dugaan aktivitas perambahan hutan menggunakan alat berat yang melanggar hukum dan merusak ekosistem. Hutan lindung ini merupakan sumber mata air vital bagi masyarakat Peudada.

Pengadangan dinilai sebagai bentuk sabotase terhadap penegakan hukum. Tindakan ini juga dianggap mencederai putusan negara, mengingat kawasan tersebut telah sah ditetapkan sebagai hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Tiga mukim yang telah mengantongi Surat Keputusan Menteri adalah Mukim Kuta Jeumpa (SK No. 9529/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2023), Mukim Blang Birah (SK No. 9591), dan Mukim Krueng (SK No. 9530).

“Berdasarkan keterangan dari warga setempat, mereka bukan perwakilan seuneubok. Warga mengaku para pengadang itu telah mencoreng nama baik masyarakat Gampong Jaba,” ujarnya.

Warga Gampong Jaba juga menyebut mereka diprovokasi dengan informasi palsu bahwa kebun mereka akan dirampas. Dalam perjalanan, warga menyadari telah dimanfaatkan untuk melindungi pelaku perambah hutan.

Afifuddin menegaskan, peristiwa ini tak boleh dibiarkan terulang, terlebih lokasi perambahan berada dalam kawasan hutan adat yang telah mendapat pengakuan resmi dari negara sebagai milik masyarakat hukum adat mukim.

Ia mendesak agar aparat penegak hukum tidak ragu menindak pelaku utama demi menimbulkan efek jera dan memberikan perlindungan nyata terhadap wilayah adat. Aparat harus segera bertindak dan mengusut tuntas hingga menemukan aktor utamanya.

“Ada upaya sistematis dan terorganisir untuk menghalangi perlindungan hutan adat. Ini bukan spontanitas warga, tapi bentuk premanisme terstruktur. Aparat harus bertindak tegas dan mengungkap siapa aktor intelektual di baliknya,” ujar Afifuddin.

Tiga imuem mukim turut hadir dalam patroli sebagai bentuk komitmen terhadap perlindungan hutan adat bersama TNI dan Polri. Saat kejadian, aparat memilih tidak melakukan tindakan represif guna menghindari bentrokan fisik. Upaya mediasi yang dilakukan di lokasi tidak membuahkan hasil.

Komentar
Artikulli paraprak138 Koperasi Merah Putih di Abdya Sudah Legal
Artikulli tjetërWarga Sumut Terseret Ombak dan Hilang di Pantai Lhoknga