*(Oleh : Husnaina Noviana,ST
Pemerintah Aceh melaksanakan Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) Cruise Business Forum yang dibuka langsung oleh Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah di Sabang pada Rabu (16/10/2019).
Tak hanya sekedar membuka acara, Nova Iriansyah juga mengundang pengelola usaha wisata di kawasan ASEAN, khususnya yang memiliki jaringan dengan kapal-kapal pesiar untuk singgah di Sabang. Hal itu sebagai bentuk komitmen memperkuat kawasan wisata di wilayah IMT-GT.
Upaya Plt Gubernur Aceh tersebut telah menunjukkan peran nyata Pemerintah Aceh untuk membuka pintu masuk yang luas bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Aceh, sekaligus menggelar karpet merah bagi investor untuk berinvestasi di Aceh.
Tentu usaha dan ikhtiar Pemerintah Aceh ini harus disambut dengan mempersiapkan iklim yang sehat di Aceh itu sendiri, ibarat kuah sayur, meski sayuran yang dimasak dalam keadaan segar, tetapi jika garam dan penyedap rasanya tidak ada, maka akan tetap terasa hambar. Artinya, jika suasana investasi jauh dari harapan investor maka usulan – usulan Plt. Gubernur Aceh tersebut hanya tercatat di lembaran kertas semata, lalu berakahir dengan hiasan berita di media massa. Dan jika Sumber Daya Manusia (SDM) nya terutama di sektor tenaga kerja bukan berasal dari Aceh itu sendiri, maka yang dinikmati oleh rakyat Aceh adalah sekedar bau dari kuah sayur yang sedang dimasak tersebut.
Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman penulis dalam melakukan sertifikasi terhadap pekerja di Aceh, masih terdapat pekerja yang tidak mampu memahami gambar kerja, pemahaman terhadap risiko kecelakaan kerja yang kurang serta para pekerja yang bekerja tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Padahal beberapa hal tersebut merupakan hal penting yang seharusnya dipahami oleh pekerja di Aceh. Maka Pemerintah Aceh melalui dinas terkait perlu melakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan kompetensi para pekerja, seperti pelatihan dalam memahami gambar kerja, sosialisasi materi K3 dan sosialisasi tentang risiko mutu dan kualitas pekerjaan.
Selain itu, secara regulasi, upaya pengembangan dunia usaha di daerah (Aceh), sebenarnya telah diberikan keleluasaan oleh Pemerintah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 195, tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan; dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain, yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.
Artinya, pemerintah pusat membuka pintu selebar – lebarnya terhadap segala kegiatan usaha atau investasi yang ada di daerah, guna peningkatan kesejahteraan rakyat. Khusus bagi Aceh, peluang serupa juga tertuang dalam UU No: 11/2006, tentang Pemerintah Aceh. Hanya saja, ketentuan penanaman modal di Aceh berdasarkan Pasal 165 ayat (2), UU No. 11 Tahun 2006, dalam pelaksanaannya masih berbenturan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007, tentang modal asing.
Keistimewaan dan kekhususan Aceh ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh merupakan salah satu hal yang memberikan peluang bagi investor internasional untuk berkiprah di Aceh. Sebagaimana juga tertuang dalam pasal 1 butir ke 2 Perpres Nomor 11 tahun 2010 yang menyebutkan “Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.”
Begitupun, dalam pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UUD 1945, maka ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 dapat menyampingkan ketentuan UU No. 25 Tahun 2007. Hal ini menjelaskan kekhususan Aceh memudahkan dalam hubungan diplomasi bersama dunia internasional dengan ketentuan Aceh sebagai bagian dari Pemerintah Republik Indonesia (pasal 1 butir 7 perpres nomor 11 tahun 2010).
Terbukanya jalan yang lebar melalui regulasi sebagaimana disebutkan di atas, seharusnya tidak lagi menjadi batu hambatan bagi investor untuk berinvestasi di Aceh. Yang kemudian harus kita perhatikan adalah, sejauh mana kesiapan dan sumber daya mumpuni agar investasi tersebut memberikan manfaat yang menyentuh langsung kepada masyarakat Aceh. Berbagai skill seperti bahasa, hukum internasional dan pengetahuan memadai menyangkut objek kerjasama dengan lembaga atau badan luar negeri adalah beberapa contoh yang harus dipersiapkan sejak dini.
Ini merupakan tantangan yang harus kita carikan solusi bersama, bukan hanya semata-mata menjadi tugas Pemerintah Aceh, namun menjadi tugas seluruh komponen masyarakat. Jangan sampai ketidaksiapan ini akhirnya menjadikan kita hanya sebagai penonton atas semua aktivitas investasi di Aceh. Yang kita dapatkan hanya serpihan kecil dari sumber daya alam kita sementar bongkahan besarnya justru dinikmati oleh orang-orang luar.
Selain itu, setiap investasi dari asing yang masuk ke Aceh harus dijamin dari semua faktor penghambat, kemudahan berinvestasi dengan memberikan berbagai macam insentif adalah sebuah langkah positif. Tetapi penerimaan masyarakat juga satu hal yang harus kita perhatikan dengan seksama. Kita tentu tidak ingin investor mengeluh karena alasan keamanan yang tidak terjamin, banyaknya kutipan pajak nanggroe dan sikap anti asing yang berlebihan.
Sejarah mencatat bahwa, suatu negara menjadi besar karena mereka mau membuka diri pada hal-hal berbau asing yang semula mereka anggap tabu. Sebagai contoh jepang dengan restorasi Meijinya yang menerapkan pola kolaborasi harmonis kemajuan barat dan nilai-nilai tradisional timur menjadi tonggak sejarah kebebasan Jepang dari keterkungkungan primordial. Begitu pula dengan China yang melaksanakan reformasi dan keterbukaan yang dikenal dengan kebijakan Kaifang pada era Dong Xiaoping yang dimulai sejak tahun 1978. Tidak mengherankan pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut tumbuh begitu pesat.
Demikian juga halnya Indonesia, khususnya Aceh dapat meniru hal-hal yang positif untuk kemajuan bangsa dengan melakukan seleksi terhadap kultur yang dapat merusak peradaban kita. Suatu bangsa yang memiliki peradaban dan keyakinan agama yang kuat, memang tidak menutup keterbukaan, tetapi tentunya juga harus selektif. Hal terpenting lainnya adalah, investasi yang hadir harus memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar, tenaga kerja lokal harus menjadi prioritas bukan hanya pada tingkatan pekerja kasar tetapi juga pekerja professionalnya, dan mustahil kita bisa menjadikan tenaga kerja Aceh sebagai tenaga kerja prioritas jika kualitasnya belum teruji dan terjamin. Ini yang harus kita persiapkan sejak awal. Penguatan dalam segala bidang harus dilakukan, terutama pendidikan, teknologi, seni budaya, pertukaran informasi dan ekonomi.
Payung hukum sudah tersedia, tinggal bagaimana kita berjalan di bawah payung itu. Semoga kita dapat berjalan dengan sigap tanpa goyah sekalipun badai besar menerpa.
Husnaina Noviana, ST : Ketua Unit Sertifikasi Tenaga Kerja LPJK Provinsi Aceh)*