Oleh: Nafrizal
Budaya merupakan sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya, yang di dalamnya sudah tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materil maupun yang psikologis dan spiritual.
Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Antropologi II (2005: 12) mengemukakan bahwa budaya merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan yang sudah melekat dalam masyarakat dan sudah turun temurun sejak dulu, akan semakin terkonsep dalam kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah kearifan lokal dan menjadikan kelebihan suatu masyarakat dengan daerah lainnya.
Nilai-nilai kearifan lokal ini dipertahankan oleh masyarakat yang masih memiliki tingkat kepercayaan yang kuat. Kepercayaan yang masih mentradisi dalam masyarakat juga disebabkan karena kebudayaan yang ada biasanya bersifat universal sehingga kebudayaan tersebut telah melekat pada masyarakat dan sudah mejadi hal yang pokok dalam kehidupannya.
Hal itu sebagaimana yang dikemukan oleh Soerjono soekamto (2006: 150) bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang bersifat superorganic, karena kebudayaan bersifat turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya, walaupun manusia yang ada di dalam masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran.
Budaya suatu masyarakat mestinya dapat dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat itu sendiri, karena hal itu merupakan identitas daerah yang membedakan serta menjadi kelebihan dari daerah lainnya.
Namun demikian, dalam perjalanannya budaya tersebut terkikis dengan perkembangan zaman, ditambah lagi perkembangan teknologi yang begitu pesat. Akibanya, pola masyarakat dalam kehidupannya mulai bergeser, baik dalam adat budaya maupun dalam kehidupan sosial. Masyarakat modern lebih meninginkan hal-hal yang instan dan express.
Oleh sebab itu tak heran melihat budaya dalam masyarakat mulai redup saat menghadapi gelombang zaman. Dan apabila terus dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan budaya yang menjadi identitas suatu masyarakat tertentu akan punah seiring waktu.
Kluet Raya merupakan daerah di Kabupaten Aceh Selatan yang didiami oleh lima Kecamatan, yakni Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, Kluet Timur dan Pasie Raja. Kelima Kecamatan tersebut juga terdapat tiga suku, yakni Aceh, Kluet dan Jamee. Begitu juga dengan bahasa, wilayah Kluet Raya memiliki tiga bahasa yaitu bahasa Aceh, bahasa Kluet dan bahasa Jamee.
Secara umum, budaya di Kluet Raya memiliki keterpaduan ketiga suku, meskipun terdapat perbedaan pada hal-hal tertentu. Namun dalam hal ini penulis lebih melihat kesamaannya.
Budaya dan adat di Kluet Raya memiliki ciri khasnya tersendiri yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Baik dalam kehidupan sosial masyarakat, budaya dalam penikahan, budaya pada sunat rasul, budaya hari-hari besar Islam, serta hukum adat atau reusam daerahnya, yang menjadi komponen serta jati diri budaya Kluet Raya.
Budaya di Kluet Raya secara mendasar memiliki keunikkannya tersendiri yang sudah ada sejak zaman daluhu. Dari sekian banyak budaya unik di daerah ini, dapat dilihat dari beberapa contoh kecil, seperti menggelar pesta pernikahan atau sunat rasul anak sampai 4-5 hari, prosesi pesta yang memiliki pertunjukkan budaya, mengundang dengan sekapur sirih yang mesti dimakan oleh penerima undangan, hari besar Islam yang khas, khanduri-khanduri tertentu seperi khanduri Blang, jirat, uteun, khanduri sawah dan sebagainya, bahkan pada kegiatan pesta pemuda memiliki peran yang sangat vital.
Budaya yang disebutkan di atas merupakan sebagian kecil dari sekian banyak budaya yang ada di Kluet Raya yang meliputi seluruh kehidupan sosial masyarakat, dan tentunya tidak dapat disebutkan satu per satu dalam tulisan singkat ini.
Namun dari sebagian kecil tersebut dapat dijadikan contoh bagaimana budaya di Kluet Raya yang menjadi ciri khas tanah Teuku Cut Ali dan Rajo Lelo itu.
Sebagian kecil budaya yang disebutkan di atas, dalam perjalanannya tak dapat dihelakkan dari perkembangan zaman, ditambah lagi perkembangan teknologi yang rasakan oleh seluruh masyarakat. Akibatnya budaya-budaya itu mulai terkikis seiring waktu dikarenakan masyarakatnya mengingingkan yang express dan instan dalam kehidupan.
Sebahagian contoh kecil budaya itu merupakan cerminan bagaimana ia menghadap zaman, dan tentunya apabila hal yang kecil itu dibiarkan, maka budaya-budaya yang lebih besar lainnya akan dihujam era globalisasi.
Itu dapat dilihat dari beberapa contoh kecil pada kegiatan-kegiatan pesta. Penulis mengambil contoh pada pesta, karena budaya Kluet Raya sangat kental tercermin sejak hari pertama pesta hingga selesai.
Saat ini, acara pesta masyarakat lebih menginginkan lebih cepat dan express yang memangkas waktu dari biasanya, akibatnya budaya-budaya juga ikut terpangkas. Dahulunya masyarakat mengundang pada acara tertentu harus menggunakan sekapur sirih, kini diganti dengan kertas kecil yang hanya ditulis jadwalnya yang konon juga disebut sekapur sirih. Budaya penyajian makanan di masyarakat Kluet Raya pada dasarnya dihidangkan dengan talam kepada setiap tamu, saat ini hal itu diganti dengan adat prancisnya. Dan bahkan tak menutup kemungkinan untuk hidangan minuman pun tak dihidangkan lagi, di mana tamu dipersilahkan ambil sendiri pada tempat yang disediakan.
Dalam proses pesta, biasanya juga digelar berbagai macam budaya, sehingga generasi pemuda mengetahui dan mengenal bagaimana budaya daerahnya sendiri. Namun pergelaran budaya itu saat ini mulai redup, dan bahkan hal-hal kecil seperti laga payung, berbalas pantun, silat serta budaya lainnya saat pesta pernikahan mulai dipandang sebelah mata, meskipun masih ada beberapa Gampong masih melestarikannya.
Tak hanya itu, peran pemuda dalam pesta juga mulai berkurang, dikarenakan prosesinya mengedepankan hal-hal yang express. Dan apabila budaya-budaya kecil ini tak dilestarikan, maka bisa dipastikan, orang rumah yang menggelar pesta harus membentuk panitia pesta ke depannya.
Begitu juga pengetahuan adat dan budaya bagi pemuda sebagai penerus generasi masa depan yang saat ini sebagian besarnya tak mengetahui.
Para pemuda-pemudi tidak memahami seutuhnya bagaimana budaya dan adat daerahnya sendiri yang seharusnya kewajiban mereka untuk menerusi itu.
Seharusnya budaya mesti dijaga kelestariannya, agar budaya yang merupakan jari diri masyarakat tetap kokoh mekipun dihantam arus perkembangan zaman.
Kalau pusako iyo salingka kaum, tapi nagari salingka adat (Kalau pusaka betul di dalam kaum, tapi negeri di dalam adat), maka dari itu sudah tugas semua kalangan menjaga adat budaya agar tetap hidup dan tidak punah.
Pelestarian terhadap suatu kebudayaan dapat berjalan lancar apabila mendapat dukungan dari dari semua pihak. Suatu kebudayaan juga dapat lestari apabila didukung oleh partisipasi dari masyarakatnya, tidak menutup kemungkinan apabila dalam perjalanannya terdapat hambatan-hambatan, karena setiap perubahan yang terjadi terhadap masyarakat akan berdampak buruk terhadap kebudayaannya.
Namun demikian, hal itu dapat diatasi dengan beberapa cara yang mesti didukung dengan semangat pelestarian. Karena apabila tanpa semangat dari setiap unsur masyarakat, maka hal ini juga tak dapat dilakukan.
Pertama, para tokoh masyarakat mesti dapat memberikan pendidikan adat dan budaya bagi penerus generasinya terutama pemuda, sehingga mereka mengetahui adat dan budaya serta maknanya dalam pelestarian. Dalam hal ini tokoh masyarakat mesti harus menggelar pendidikan adat atau pengajian adat yang berkelanjutan bagi daerahnya masing-masing.
Kedua, pemuda mesti memupuk semangat dalam pelestarian adat dan budaya melalui belajar dengan tokoh masyarakat. Sehingga sebagai penerus daerah dapat memahami adat dan budaya daerahnya.
Ketiga, pelestarian adat dan budaya tak dapat dijalankan oleh tokoh masyarakat dan pemuda saja tanpa dukungan masyarakat. Maka dalam hal ini masyarakat mesti mendukung aturan dan kegiatan adat budaya sehingga dapat lestari seumur masa.
Keempat, diharapkan tokoh masyarakat Kluet Raya dapat membuat wadah atau forum dewan adat dan budaya Kluet Raya sebagaimana daerah-daerah lainnya yang telah terlebih dahulu membentuknya. Sehingga forum ini dapat menjadi rujukan masyarakat dalam berbudaya dan beradat. Selain itu dengan forum ini juga dapat memperkaya literasi bacaan budaya Kluet Raya yang dapat diketahui dan dibaca semua masyarakat.
Ba bantuak tuangan loyang, baitu pulo bantuaknyo lilin, ba a ragam irama gandang baitu pulo lenggok tarinyo (seperti apa bentuknya acuan, seperti itu pula bentuknya lilin, seperti apa irama gendang, maka seperti itu pula tariannya).
Artinya, setiap orang memiliki tanah airnya masing-masing yang merupakan tempat ia besar dan mengenal masyarakat. Maka tugasnya pula sebagai generasi untuk melestarikan budaya tanah airnya, dan di mana pun ia berada, budayanya tak akan dilupakan.
Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita
Penulis merupakan masyarakat biasa di Kluet Raya, yang menginginkan adat dan budaya Kluet Raya tetap lestari.
Analisaaceh.com, Aceh Besar | Seorang wanita paruh baya bernama Yusra (40) di Montasik, Aceh Besar,…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) resmi membentuk susunan keanggotaan alat kelengkapan…
Analisaaceh.com, Meuredue | Penyidik Subdit Tipidter Ditreskrimsus Polda Aceh menyerahkan dua tersangka kasus illegal logging…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Tim Pemenangan Pasangan Calon (Paslon) Gubernur nomor urut 01, Bustami Hamzah…
Analisaaceh.com, Suka Makmue | Satreskrim Polres Nagan Raya menangkap MS (53), terduga pelaku penembakan warga…
Analisaaceh.com, Lhokseumawe | Atlit tunggal putri SMPN 1 Lhokseumawe akan menantang atlit SMPN 1 Arun…
Komentar