Analisaaceh.com, Lhokseumawe | Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe menggelar Seminar Virtual Nasional dengan tema “Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan Masih Menghantui”, Rabu (11/8) sore.
Webinar tersebut menampilkan tiga pembicara, yakni Ketua Bidang Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Nani Afrrida, dan Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Indonesia, Andy Yentriani, yang memaparkan tentang “Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan”.
Sedangkan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Lhokseumawe, Tgk. M. Rizwan Haji Ali, menyampaikan tentang “Perlindungan Perempuan Menurut Islam dan Kearifan Lokal”. Acara dipandu Masriadi Sambo (Anggota Majelis Etik AJI Kota Lhokseumawe/jurnalis kompas.com).
Ketua panitia, M. Agam Khalilullah mengungkapkan hasil survei kekerasan seksual di kalangan Jurnalis yang dilakukan AJI Jakarta pada tahun 2020 lalu. Dalam survei tersebut, dari 34 jurnalis yang menjadi responden, 25 di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual.
“Maka berdasarkan hal tersebut, seminar virtual nasional ini diselenggarakan untuk mencari solusi bersama tentang konsep advokasi bersama tentang kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan,” ujar M. Agam Khalilullah.
Kegiatan ini diikuti peserta dari berbagai daerah hampir seluruh Indonesia. Sebagian peserta merupakan para jurnalis. Selain anggota AJI dari berbagai kota, termasuk dari AJI Indonesia, juga ada dari organisasi profesi kewartawanan lainnya. Sebagian lainnya adalah para akademisi dan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Aceh, aktivis perempuan di Indonesia, dan sejumlah partisipan dari banyak daerah.
Ketua Bidang Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Nani Afrrida, memaparkan AJI Indonesia melakukan pendampingan dan advokasi untuk jurnalis baik laki-laki maupun perempuan yang mengalami kekerasan saat melakukan peliputan, setelah peliputan, dan juga dalam hubungannya dengan perusahaan pers. Jurnalis menjadi lebih rentan terhadap kekerasan dengan adanya media sosial/KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online).
Menurut Nani, pandemi Covid-19 di Indonesia juga mempengaruhi jurnalis terutama dalam hubungannya dengan perusahaan yang berujung PHK.
Nani menyebut jenis kekerasan yang biasa dihadapi jurnalis perempuan adalah ancaman kekerasan/teror, kekerasan fisik, intimidasi lisan oleh pejabat publik, pengusiran/pelarangan liputan, pengrusakan alat/data saat peliputan, penglarangan pemberitaan, pelecehan seksual oleh narasumber/rekan/senior, upah lebih rendah, dan diskriminasi di newsroom.
Pelaku kekerasan yaitu pejabat pemerintah, polisi, ormas, TNI, politikus, rekan kerja/senior. “Kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi pada jurnalis perempuan umumnya tidak terdata secara detail,” ujar Nani.
AJI mencatat 25 dari 34 jurnalis perempuan pernah alami kekerasan seksual. Dampak kekerasan yakni trauma meliput, trauma bertemu narasumber, dan berhenti menjadi jurnalis.
“Kekerasan yang terjadi pada jurnalis perempuan yang berujung ke masalah legal bisa didampingi oleh organisasi jurnalis dan LBH Pers,” kata Nani.
AJI selalu berupaya untuk mencegah dan mengadvokasi kekerasan pada jurnalis perempuan. Beberapa upaya yang dilakukan AJI ialah pelatihan jurnalistik terkait advokasi kekerasan, termasuk untuk jurnalis perempuan; Membuat panduan meliput kekerasan seksual pada perempuan untuk jurnalis; Membuat SOP penanganan kekerasan seksual di organisasi AJI; Mengandeng Dewan Pers membuat aturan/panduan/imbauan untuk melindungi jurnalis perempuan di newsroom; Membuat kurikulum tentang gender dan kekerasan seksual untuk anggota baru AJI; Sosialisasi tentang kekerasan pada perempuan lewat media sosial dan jaringan jurnalis.
Ketua Komnas Perempuan Indonesia, Andy Yentriani, menyampaikan bahwa berdasarkan data dari The Chilling: Global Trends in Online Violence Against Women Journalist, UNESCO tahun 2021 terkait kekerasan online/daring, sebanyak 73 persen perempuan jurnalis pernah alami kekerasan online. 25 persen ancaman kekerasan fisik, 13 persen diarahkan kepada orang terdekat. 20 persen alami serangan fisik terkait dengan ancaman yang ia terima secara online. 18 persen kekerasan online yang dihadapi adalah kekerasan seksual dalam berbagai bentuk.
Berikutnya, 26 persen alami gangguan kesehatan jiwa; 11 persen alami gangguan bekerja; 4 persen mengundurkan diri. 49 persen kekerasan online dikaitkan dengan gender, 44 persen terkait pemilu, 31 persen terkait kebijakan HAM dan gender. Ras, agama dan orientasi seksual meningkatkan kerentanan. 25 persen melaporkan kasusnya ke atasan, 10 persen tidak mendapatkan respons, 9 persen diminta untuk lebih tegar, 2 persen dituduh memprovokasi kekerasan. 11 persen melaporkan kasusnya ke polisi, 8 persen yang ke proses hukum; 2 persen menuntut aktor negara secara hukum.
Andy Yentriani juga menyampaikan langkah ke depan menyikapi kerentanan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan jurnalis. Ruang juang dan agenda perubahan guna memberikan perlindungan dan dukungan untuk perempuan jurnalis dapat dilakukan melalui tempat kerja dengan mekanisme pencegahan dan penyikapan KBG, serta langkah afirmasi menghapus diskriminasi.
Selain itu, melalui organisasi yakni mekanisme pencegahan dan penyikapan KBG, pendidikan dan penguatan kapasitas, dukungan kesehatan mental, kajian tematik, dan advokasi kasus. Secara sistem hukum ialah penguatan melalui RUU, penghapusan kekerasan seksual, RUU KUHP, dan lainnya. Sedangkan lewat keluarga/relasi personal yaitu dialog dan perbaikan relasi timpang, berbagi beban kerja.
Sementara itu, PC NU Kota Lhokseumawe, Tgk. M. Rizwan Haji Ali, menjelaskan Islam sangat memuliakan perempuan. Salah satu hadis diriwayatkan Hakim dari Ibnu Abbas, kitab Al-Jami’us Shaghir, hadis nomor 4101 menyebutkan, “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada perempuan”.
Adapun perlindungan perempuan dalam masyarakat Aceh, di antaranya secara arsitektural rumah Aceh menyediakan ruang privasi perempuan. Pada bangunan rumoh Aceh ada beberapa bagian yang memiliki fungsi masing-masing. Ruangan depan disebut juga seramoe keu (serambi depan).
Ruangan tengah atau seuramoe teungoh merupakan bagian inti dari rumoh Aceh. Seuromoe teungoh sedikit lebih tinggi dari dari seuromoe keu. Seuromoe teungoh disebut juga rumoh inong (rumah induk) yang dianggap sebagai tempat suci karena bersifat pribadi.
Menurut Tgk. Rizwan, upaya melindungi jurnalis perempuan dapat dilakukan dengan memastikan perangkat hukum memberikan perlindungan kepada aktivitas jurnalis, karena setiap pembawa kabar memiliki risiko. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pelecehan. Meningkatkan profesionalitas jurnalis perempuan.
Menjaga kode etik jurnalistik secara konsisten. Menjaga perilaku sesuai tata pergaulan dalam Islam dan kebiasaan setempat. Menjaga cara penampilan yang sopan dan melindungi.(Ril)