CSO dan Demokrasi Indonesia

Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia, Misran Lubis (Foto/ist)

Oleh: Misran Lubis

Selama hampir 10 tahun berdirnya organisasi paying Konsil LSM, menjalankan mandat menguatkan akuntabilitas LSM di Indonesia. Konsil LSM Indonesia bersama 121 LSM yang tersebar di 19 Provinsi, dan juga kelompok-kelompok organisasi mayarakat sipil di tingkat nasional dan akar rumput, terus berdinamika dalam ruang demokrasi dan lingkungan hukum yang mengalami pasang surut. Bahkan dalam banyak study dan index statistik ada kecenderungan menurunnya iklim demokrasi dan meningkatnya kasus-kasus pelanggaran HAM.

Tidak hanya Konsil LSM Indonesia yang dalam kurun waktu 2017-2019 ini yang telah melakukan kajian terhadap posisioning organisasi masyarakat sipil di Indonesia, namun organisasi-organisasi nasional dan internasional lainnya juga melakukan hal yang hampir sama. Seperti, Oxfam Indonesia, USAID, INDIES, dan lain-lain.

Lalu bagaimana posisioning OMS ke depan, dan apa yang akan menjadi mandat pemerintahan baru pasca Pemilihan Presiden 2019 ?, mengingat potensi ancaman demokrasi dan HAM sangat besar, misalnya diakomodirnya 2 pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, ancaman UU ITE dan UU Tindak Pidana Terorisme.

Demokrasi dan kebebasan fundamental, terutama kebebasan untuk berserikat, berpendapat dan berkeyakinan mengalami fase penurunan dan intoleransi di Indonesia, setidaknya dalam lima tahun terakhir.

Berdasarkan Indeks Demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit, demokrasi di Indonesia menunjukkan tren penurunan sejak tahun 2015. Skor Indonesia pada indeks ini mengalami sedikit penurunan dari 7,03 pada tahun 2015 menjadi 6,97 pada tahun 2016, dan kemudian menurun secara signifikan menjadi 6,39 pada tahun 2017. Dengan demikian, posisi Indonesia merosot dari peringkat 48 menjadi 68 dalam Indeks Demokrasi, penurunan terbesar di seluruh dunia dalam hal kinerja demokrasi pada tahun 2017. Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2016, yang disusun Biro Pusat Statistik melalui kerjasama dengan Bappenas dan Bappeda, melaporkan adanya tren yang serupa.

Sementara itu, intoleransi beragama semakin marak terjadi pada tahun 2017 hingga menjelang pemilihan presiden 2019. Menurut Amnesty International, “politik yang penuh kebencian” menjadi lebih menonjol di Indonesia pada tahun 2017, di mana berbagai aktor negara dan non-negara menggunakan moralitas agama dan sentimen nasionalis yang sempit untuk menyerang mereka yang dianggap “berbeda”. Misalnya, calon gubernur DKI Jakarta petahana Basuki Tjahaja Purnama (lebih dikenal sebagai “Ahok”), seorang Kristen Protestan keturunan Tionghoa, kalah dalam Pilgub Jakarta pada awal tahun lalu. Ahok kemudian dijatuhi hukuman dua tahun penjara atas dugaan penodaan agama. Pemidanaan dan hukuman yang dijatuhkan tersebut banyak menuai kritik ─ dari dunia internasional maupun aktor masyarakat sipil di Indonesia ─ sebagai suatu kemunduran yang sangat mengkhawatirkan bagi hak asasi manusia di Indonesia.

Keberlangsungan demokrasi di Indonesia akan ditentukan oleh kuat lemahnya upaya-upaya Indonesia dalam mencegah intoleransi serta ekstremisme dengan kekerasan di Indonesia. Adalah kewajiban semua pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil untuk ikut serta dalam upaya memperkuat promosi dan penghormatan HAM, demokrasi dan keberagaman.

Meskipun Indonesia telah melewati masa “terpanas” suhu politik yang berlangsung sejak tahun 2018 hingga pertengahan 2019. Tahun 2018 suhu politik daerah meningkat, karena ada pemilihan kepala daerah di 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten. Dan tahun 2018 juga dimulainya tahapan politik nasional pemilihan Legislatif dan pemilihan Presiden. Klimaksnya setelah pelantikan pasangan Ir.Joko Widodo dan K.H Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024.

Hasil Survey CSO Sustanability Index 2018: Nasib Demokrasi Indonesia Di Era Baru Pemerintahan Jokowi- Ma’ruf Amin

Pertanyaan ini layak dimunculkan dan didiskusikan, sekaligus untuk mengukur masa depan gerakan organisasi masyarakat sipil (OMS). CSO atau OMS adalah salah satu pilar penting demokrasi, keberadaannya menjadi indikator indek demokrasi. Melihat trend di awal-awal pemerintah baru Jokowi-Ma’ruf Amin muncul berbagai dugaan dan wacana yang berpotensi semakin menurunnya demokrasi dan kebebasan berpendapat. Misalnya saja wacana amandemen terbatas UU Dasar 45, wacana perpanjangan masa periode jabatan Presiden, wacana pemilihan Presiden yang akan dikembalikan ke MPR, Surat Bersama 11 Menteri tentang menangkal radikalisme, dan isu-isu lainnya yang berpotensi menghambat kebebasan berpendapat dan gerakan OMS.

Sebagai gambaran tentang isu CSO dan Demokrasi di Indonesia, dapat dilihat dari hasil study Konsil LSM Indonesia bersama FHI360, yang berjudul CSO Sustanability Index tahun 2018. CSOSI (Civil Society Organization Sustainability Index) – Indeks keberlanjutan organisasi masyarakat sipil, telah dimulai dua puluh tahun lalu untuk melaporkan kekuatan dan ketahanan masyarakat sipil di berbagai Negara yang dicakupi oleh indeks ini.

Di Asia, ada sembilan negara yang menerbitkan Indeks Keberlanjutan CSO yaitu Indonesia, Bangladesh, Kamboja, Nepal, Filipina, Sri Lanka, Thailand, Pakistan, dan Burma. Penyusunan Indeks ini dilakukan oleh para ahli dalam kegiatan Panel Expert Meeting, dengan dukungan data penunjang yang berasal dari studi literature dan FGD di wilayah Indonesia Timur yang mengikutsertakan perwakilan dari CSO Papua, Maluku dan Sulawesi.

Untuk kepentingan di atas, Konsil LSM Indonesia sebagai partner FHI360 di Indonesia, akan mengorganisir penyusunan Indeks ini setiap tahunnya dan telah dimulai sejak tahun 2014. CSOSI 2018 telah selesai dilakukan dan dilaunching pada Desember 2019 lalu.

Penulis adalah Pria kelahiran Pasaman, 24 Februari 1975, menjabat sebagai Direkur Eksekutif Konsil LSM Indonesia
Mobile phone : 0812 606 4126
Email : misranlubis@yahoo.com

Komentar
Artikulli paraprakPORA dan P2LH Aceh Tanggapi Pernyataan Wabup Aceh Singkil Terkait Kawasan Hutan
Artikulli tjetërGempa Bumi 6,4 Magnitudo Terjadi di Sinabang