Analisaaceh.com, Banda Aceh | Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terima kunjungan dan audiensi Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Ruang Rapat Badan Musyawarah DPRA, Kamis (27/2/2020).
Perwakilan OMS yang dipimpin oleh Raihal Fajri tersebut diterima langsung oleh Ketua DPR Aceh, H. Dahlan Jamaluddin, S.IP dalam rangka membahas terkait proses perumusan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Selain Ketua DPRA, turut hadir Tgk. H. Muhammad Yunus Yusuf (Ketua Komisi I), Ir. H. Azhar Abdurrahman (Ketua Banleg/Anggota Komisi I), Drs. H. Taufik, MM (Wakil Ketua Komisi I), Saiful Bahri (Sekretaris Komisi I), Fuadri, S.Si, M.Si (Anggota Komisi I), H. Ridwan Yujus, SH (Anggota Komisi I), dr. Purnama Setia Budi, S.pOG (Anggota Banleg) dan M. Rizal Falevi Kirani (Anggota Banleg).
Dalam audiensi tersebut, Ketua OMS Raihal Fajri mempertanyakan posisi elemen masyarakat sipil dalam proses revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, agar revisi tersebut dapat menjawab semua persoalan di Aceh saat ini.
Selain itu juga diusulkan agar turut dimasukkan klausul Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) dalam revisi serta perizinan tambang.
Fajran Zein yang juga perwakilan dari OMS menagatakan bahwa, DPRA dan OMS memiliki semangat yang sama agar UUPA dikembalikan sesuai dengan MoU Helsinki tahun 2005.
“Kita semua elemen di Aceh harus bersinergi dan segera membentuk Pansus di DPR Aceh guna dapat segera bergerak cepat dalam merespon hal ini. Satu Negara dua sistem merupakan hal yang bisa dilakukan di mana Aceh mempunyai hak untuk mengurus diri sendiri di semua sektor publik seperti amanah dari MoU Helsinki,” uajarnya.
Menyahuti hal tersebut, Ketua DPRA H. Dahlan Jamaluddin, S.IP mengatakan bahwa, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau biasa disebut UUPA harus mengatur prinsip dasar sesuai dengan amanah MoU Helsinki.
“Kita mesti sepakat ruh UUPA sebagai Basic Law sekaligus menegaskan pola hubungan antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Aceh,” ujarnya.
Namun demikian, kata Jamaluddin, UUPA tidak mungkin mengatur semuanya, karena setiap tahun produk undang-undang yang dibahas oleh pusat selalu dinamis terus berubah.
“Jangan sampai UUPA dimasukkan semua pengaturan namun dikesampingkan ketika ada undang-undang lain lahir sehingga dapat mencedarai UUPA itu sendiri, sehingga kita sepakat satu hal bahwa revisi UUPA prinsip dasarnya menjalankan amanah MoU Helsinki,” jelasnya.
Lebih lanjut dikatakan, pihaknya selaku DPRA akan segara melakukan upaya serius dan perlu evaluasi secara menyeluruh terkait UUPA, dan pihaknua sepakat untuk membentuk Pansus Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
“Kita semua elemen di Aceh harus bersinergi, mempunyai bahasa yang sama dan konsep yang sama,” tegas Dahlan Jamaluddin.
Sementara itu Sekretaris Komisi I DPRA, Saiful Bahri (Pon Yahya) menegaskan, semua pihak di Aceh mesti sepakat mengurus Aceh sesuai dengan amanah MoU Helsinki sebagai sebuah produk perjuangan dan perdamaian di Aceh.
Senada dengan hal itu, Tgk. Muhammad Yunus Yusuf selaku Ketua Komisi I DPRA mengharapkan bahwa perlu penegasan nama Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) ke depan.
Sementara Ketua Badan Legislasi, H. Azhar Abdurrahman memberi masukan bahwa perlu dibentuk Panitia Khusus namun harus satu atap dengan Forbes DPR-RI/DPD-RI agar dapat bersama-sama memperjuangkan klausul yang disekpakati elemen di Aceh.