Oleh : Roni Haldi
Kedekatan antar tokoh yang berbeda prinsip hidup atau pegangan ideologi bahkan haluan kecenderungan politik bukanlah marak meriah terjadi pada masa sekarang. Nun jauh sebelum hiruk pikuk perlehatan kancah perpolitikan, lakonan kedekatan bersebab adanya usaha pendekatan mendekatkan bahkan mempertemukan kesamaan muara begitu sangat terasa. Apakah lakonan itu salah?
Ahmad Hassan, sosok ikon organisasi pembaharu Islam abad ke-20 Persatuan Islam (Persis), dikenal kapasitas ketokohannya dalam memegang prinsip “kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah” yang piawai dalam perpolitikan hingga menulis tiga buku, yaitu : Islam dan kebangsaan, Kedaulatan dalam Islam, dan ABC politik walau ia tak terlalu berbaur dalam kegiatan politik praktis.
Tamar Djaja dalam bukunya, Riwayat hidup A. Hassan, Jakarta. Mutiara tahun 1990, mengisahkan pertemuan langsung antar dua orang yang berbeda di sebuah percetakan Drukerij Ekonomi milik orang China di Bandung. Perjumpaan yang membawa ke perkenalan antara Ahmad Hassan dengan Soekarno presiden republik Indonesia pertama. Perkenalan yang mengantarkan hubungan guru dan murid yang begitu dekat. Soekarno sangat tertarik dan terus mempelajari Islam lewat buku-buku dan majalah yang ditulis Ahmad Hassan, khususnya berkaitan dengan agama. Tak hanya berhenti dibacakan. Bukti kedekatan hubungan pun tampak terlihat dalam salah satu petikan surat Soekarno yang ditujukan kepada guru spiritualnya Ahmad Hassan.
Endah, 17 Juli 1935
….
Alhamdulillah, antara kawan-kawan saya di Endeh, sudah banyak yang mulai luntur kekolotan dan kejumudannya. Kini mereka sudah mulai sehaluan dengan kita dan tak mau mengambing saja lagi kepada kekolotannya, ketakhayulannya, kejumudannya, kehadramautnya, kemaksumannya, kemusyrikannya (karena percaya pada ajimat-ajimat, tangkal-tangkal, dan keramat-keramat) kaum kuno dan mulailah terbuka hatinya buat “agama yang hidup”. Mereka ingin baca buku-buku Persatuan Islam, tapi karena malas, mereka minta pada saya mendatangkan buku-buku itu dengan separoh harga….
Cuplikan kedekatan hubungan antara Ahmad Hassan dan Ir. Soekarno itu ternyata, tak cukup melerai tajamnya perbedaan antara keduanya dalam beberapa hal, terutama dalam politik. Ahmad Hassan tak sependapat ketika Ir. Soekarno menjadikan Turki saat itu sebagai kiblat politiknya. Begitulah ditulis oleh Dr. Tiar Anwar Bachtiar dalam bukunya Jas Merah, Pro-u media, 2018.
Kedekatan itu tak selamanya harus sama apalagi dipaksakan sama. Kedekatan itu menjadikan dua orang yang berbeda atau dua kelompok yang tak sama untuk saling membersamai bukan meruncing menajamkan ruang celah perbedaan ketidaksamaan yang berujung ketidaksukaan dan kebencian. Kedekatan mampu mendekatkan agar melahirkan kolaborasi konstruktif. Kedekatan yang disalah artikan justru akan mengantarkan ke prasangka destruktif.
“Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan”. (Q.S Al Baqarah : 141).
Masa depan kita akan lebih baik dari sekarang, jika kita semuanya mau dan mampu membaca lalu mengambil ‘itibar dari perjalanan sejarah bangsa. Tak ada yang salah apalagi sia-sia. Yang ada hanyalah penyesalan di ujung karena enggan berkaca dari sejarah kedekatan antara tokoh bangsa. Bangsa ini besar bukan kecil. Luas bukan sempit. Takkan mampu diurus beres oleh hanya orang atau kelompok segelintir. Tak salah jika kedekatan diupayakan dikait didekatkan, bukan bermaksud mengurangi bahkan menghilangkan prinsip pribadi atau kelompok yang dijunjung tinggi.
KH. Abdurrahman Wahid pernah berpesan, “Perbedaan itu fitrah. Dan harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal.“
Contoh kedekatan Ahmad Hassan dan Soekarno murni berlandaskan hubungan antara guru dan murid. Bingkai kedekatan keduanya adalah ilmu dan akhlak. Walau ada jarak membedakan keduanya tapi tak melepas prinsip keduanya. Karena prinsip paling dasar adalah nilai kemanusiaan yang universal. Bangunlah kedekatan demi kolaborasi konstruktif.
Penulis adalah : Seorang PNS yang bekerja pada kantor Kementerian Agama Kab. Aceh Barat Daya, Kelahiran Suaq Hulu Kec. Samadua Kabupaten Aceh Selatan, Beliau juga seorang penulis yang telah menghasilkan karya tulis sebuah buku “Lingkaran Pekat Muslihat”.