Saat memperingati Hari Harimau sedunia, seorang sahabat bertanya, apa kau percaya harimau setia pada manusia? Ah tidak, tidak mungkin harimau setia pada manusia, itu hanya sebuah dongeng, dongeng yang sudah turun temurun.
Di desa ku, sebuah kampung yang menghadap ke Samudera Hindia, berbatasan dengan hutan belantara di sebelah utara, dan dihiasi aliran sungai di sebelah timur dan selatan. Kami menyebutnya Kampung Padang Ketek, namun tidak mengetahui mengapa diberi dengan nama tersebut.
Tetapi banyak cerita yang melegenda di kampung ini yang sudah menjadi turun-temurun, dan bahkan kakekku menjadikan cerita-cerita tersebut sebagai pengantar tidur atau pengisi waktu luang saat kakek selesai makan siang di tengah hamparan sawah, sembari duduk di pematang sawah sambil minum kopi dan menatap kerbau yang istirahat membajak yang menyeruput rerumputan di pematang.
Kata kakekku, setiap tahun musim turun ke sawah akan pulang seekor harimau bernama Thingkieh yang memburu rusa hingga ke perkampungan ini. Thingkieh meninggalkan buruannya di pembatang sawah untuk disembelih para petani dan dibawa pulang.
“Oh, tidak, tidak. Ini bukan dongeng, bukan,” seraya kakek menggeleng dan mengibas-kibaskan tangannya. “Bukan. Ini hanya sebuah kesetiaan seekor binatang yang pernah diselamatkan. Cuma balas budi, kau tahu kan?, kita manusia hanya menilai sebuah penglihatan dan pendengaran namun membenci sosok,” desisnya. sambil menghisap rokok kretek yang ada ditangannya dan memandangi pegunungan kumanyan serta Kalam Balueh di seberang kampung.
“Tapi, mengapa dia selalu turun ke perkampungan satu kali dalam setahun?, dan apakah manusia yang menyelamatkannya masih ada di Kampung kita?, tanyaku.
Kakek terdiam, menundukkan kepalanya, seolah sedang mengenang sebuah kisah masa lalu.
Sambil menyeruput kopi di depan kami, Kakek mulai bercerita dengan nada penuh penghayatan. “Sebelum orang-orang di Kampung ini banyak seperti saat ini, Kampung ini hanya didiami oleh beberapa orang saja, yang jarak tempat tinggalpun berjauhan yaitu dari pinggiran laut, sungai dan di pegunungan. Oleh sebab itu para penduduk di Kampung hulu di dalam satu bulan pasti pernah hilir untuk membeli bahan pokok di pasar yang ada di pesisir.”
“Tidak heran bila ada satu-dua bujang asing yang hilir dengan berjalan kaki melalui jalur darat. Biasanya pemuda-pemuda itu sambil mencari pujaan hati di pasar atau menuntut ilmu ataupun belajar mengaji.”
“Salah satunya adalah Siyong, yaitu seorang pemuda yang sedang belajar ilmu bela diri silat di kampung Padang Ketek ini. Awalnya tak ada yang aneh di setiap perjalanan Siyong dan terlihat biasa-biasa saja. Tetapi orang-orang mulai bertanya ketika Siyong bercerita di sebuah kedai kopi bahwa dalam perjalanannya menuju Kampung, dia menemukan seekor anak harimau yang sedang terluka pada kaki, ketika ia mendekatinya, anak harimau tersebut terlihat jinak dan lucu. Sehingga Siyong membawa pulang ke rumah dan memelihara harimau tersebut bersama ibunya.”
Beberapa orang sempat sontak bergumam mendengar itu, “Siyong sudah gila silat, mungkin terlalu banyak diajari jurus oleh gurunya pak Andri”, tetapi tak ada satupun yang percaya dengan cerita itu. Matahari mulai kian tenggelam, Siyong pamit pulang sebab gurunya Pak Andri yang ditungu-tunggunya tak bertemu. Namun cerita Siyong ini rupanya sampai ke telinga gurunya.
“Yong benarkah kau memelihara seekor harimau?, seseorang menyampaikan khabar ini kepadaku”, tanya pak Andri usai latihan. Mendengar pertanyaan tersebut Siyong menundukkan kepalanya, merasa perbuatanya salah di mata sang guru.
“Mengapa kau memelihara harimau itu?, mungkin induknya resah mencari anaknya, induknya bisa turun ke perkampungan dan melukai warga di sini.” tutur pak Andri.
“Aku hanya berniat mengobati pak”, jawab Siyong dengan nada suara yang sangat kecil. “Aku menemukannya dalam keadaan terluka, oleh sebab itu aku obati, saat lukanya sembuh, aku coba lepaskan di tempat aku menemukanya, tapi dia mengikutiku kembali sampai ke rumah, Ibupun sangat menyayangi anak harimau itu, sebab biasanya sebelum aku pulang belajar, Ibu sendirian di rumah dan merasa sepi.” pungkas Siyong yang mencoba meyakinkan gurunya.
Pak Andri menatap tajam ke arah Siyong, Siyongpun kembali menundukkan kepala. “Yong malam ini kita bertemu di rumahmu, aku ingin melihat anak harimau itu.” tutup Pak Andri sebelum mereka munuju ke rumah Siyong.
Dengan perasaan cemas dan takut berpisah dengan harimau kesayangan ibunya, Siyong berjalan menyusuri jalan setapak bersama sang guru. Sesampai di depan rumah, pak Andri pun mengetuk pintu sembari memberi salam.
Assalamualaikum,
Assalamualaikum,
Ibu Siyong pun terbangun dan menjawab “Walaikumsalam, kamu itu Yong?”
“Iyaa bu”, Jawab Siyong.
“Kenapa cepat kali pulang?”
Sambil membuka pintu, “oh ada pak Andri juga yang datang, kenapa dengan Siyong saya pak Andri?”, tanya sang ibu cemas.
“Saya datang ke rumah ibu malam-malam begini karena saya takut kalian dalam bahaya, sebab beberapa bulan ini, orang-orang di hilir, bercerita tentang Siyong memelihara seekor anak harimau. Banyak orang-orang menyampaikannya dan berita itu sudah tersiar dan ramai dibicarakan.” Jawab pak Andri.
“Aku sungkan menanyakannya,” Aku berfikir mungkin Siyong membuat cerita biar mudah bergaul dengan orang-orang di warung kopi, dan baru tadi saya bertanya langsung pada siyong.” sambung pak Andri.
“Dimana anak harimau itu, boleh saya melihatnya?”
Spontan, ibu Siyong memanggil.
Thingkieh…!
Thingkieh…!
“Abg Siyong udah pulang ni”.
Mendengar dipanggil, Thingkieh yang sedang tidur di dapur belakang berlari melompat ke bagian depan rumah panggung yang berlantaikan papan.
Melihat sosok Thingkieh yang manja pada ibu dan Siyong, pak Andripun tersenyum.
“Jadi namanya Thingkieh?” tanya pak Andri.
“Rimau Thingkieh pak, karna kakinya pincang sebelah.” Sahut Siyong.
“Kau boleh memelihara dan bersahabat dengan Thingkieh, tapi sebaiknya biarkan dia memilih setelah dewasa, dan jangan lupa ajarkan dia cara berburu, agar suatu saat kelak dia bisa pulang ke hutan dan bertemu keluarganya. Ungkap pak andri.”
Sepulang gurunya Siyong sangat senang, Siyong membawa setiap hari Thingkieh ke kedai kopi, ke sawah, berburu ke hutan dan belajar silat ke rumah gurunya pak Andri.
“Yong, sesekali kau belajar langsung silat harimau sama Thingkieh.” Gurau pak Andri sambil tersenyum.
“Oleh sebab itu, semua orang mengenal harimau pincang itu, namanya Thingkieh,” ucap Kakek menatapku yang memecah keheningan.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Thingkieh pun sudah tumbuh dewasa, dan menjadi pemburu yang sangat disayangi oleh para masyarakat sekitar.
Thingkieh, panggil sang Ibu.
“Akhir-akhir ini ibu melihat Siyong setiap sore pergi menyeberang sungai dan pulang larut malam”. Thingkieh pun merebahkan kepalanya ke pangkuan Ibu, mencoba bercanda menghibur hati sang Ibu yang resah.
“Tak lama berselang, Suara Siyong terdengar memberi salam, Thingkieh bergegas lari menghampiri Siyong, seolah ingin memberitahu bahwa sang Ibu sangat mengkhawatirkannya.”
Dalam remang cahaya lampu, Siyong dapat melihat wajah Ibunya yang sedih seperti tengah menunggu jawaban darinya, Siyong duduk di samping Ibunya meluruskan punggung.
“kemana saja kamu setiap malam, Yong?”, tanya Ibu sambil menidurkan Thingkieh yang sudah berbaring di pangkuannya.
“Gadis mana dia?”, tebak sang Ibu.
“Anak gadisnya Kampung Siblahdeh Bu.”
“Apa orang tuanya setuju?” tanya Ibu.
“setuju.” jawab Siyong yang mulai cemas, dia khawatir Ibunya tak menyukai gadis itu, padahal dia sendiri sudah kadung jatuh cinta.
“Cobalah kau tanya.”
“Tanya apa, bu?” jawab Siyong yang mulai penasaran.
“Kapan kita bisa datang, Ibu perhatikan kau selalu bertandang tiap malam dan pulang hampir larut, Ibu takut masyarakat dan sanak familinya salah faham.”
Mendengar perkataan Ibunya tersebut, Siyong hanya menganguk-angguk kecil. Seperti biasanya, Siyong kembali berangkat, tapi kali ini bukan untuk bertemu kekasih pujaan hatinya, tapi untuk mendapatkan sebuah jawaban yang diberikan sang Ibu.
Setelah bertemu dengan kedua orang tua dan sanak famili, siyong pulang dengan gembira. Sesampainya di rumah, Siyong menceritakan kepada Ibunya. “Bu, mereka mempersilakan kita untuk datang besok,” dengan nada riang Siyong mencium pipi ibunya dan bergulat bersama Thingkieh.
Keesokkan harinya, ketika matahari tergelincir di barat, rombongan berangkat menuju Kampung Siblahdeh dengan niat untuk melamar sang pujaan hati Siyong yang bernama Saumi.
Selang beberapa bulan, pernikahan Siyong dan Saumipun berlangsung, Siyong tinggal bersama keluarga istrinya di seberang sungai tepat di kaki gunung Baloeh Kampung Siblahdeh.
Musim hujan tiba, permukaan sungai sering meluap tak menentu, Siyong yang sedang dimadu cintapun tak bisa menjenguk Ibunya. Bulanpun berlalu, perlahan Thingkieh mendatangi rumah itu memastikan sahabatnya dalam keadaaan sehat seperti biasa, Thingkieh mendengar Siyong memadu kasih dan bercanda sesekali di dalam kamar rumah.
“Bang,” panggil Saumi, “seperti ada suara sesuatu di bawah kamar kita.” Thingkieh yang mendengar, bergegas lari meninggalkan rumah itu.
Lantas Siyong langsung memeriksa bagian rumah panggung milik mertuanya, namun tak menemukan apapun.
“Ada Bang?, tanya Saumi sang istri lantang.
“Tidak ada apapun”, jawab Siyong sambil teringat pada sahabat dan Ibunya. Siyong bergegas masuk, berbaring dan terdiam.
“Abang?, Panggil Saumi dengan manja.
Boleh Saumi tanya sesuatu.”
“Boleh,” sahut siyong.
Sambil menatap ke langit-langit rumah.
“Abang kapan kita pulang melihat Ibumu?” Saumi bertanya dengan suara lirih. Dia agak khawatir kalau siyong tersinggung dan tak mau lagi tinggal dirumah orang tuanya.
“Kenapa kau bertanya?” Siyong balik bertanya.
“Aku tiba-tiba terpikir, Abang sudah lama tidak pulang, tak abang dengarkah kalau sepekan ini setiap malam ada yang bersuara di bawah kamar kita?.”
Siyong tersenyum, sambil memikirkan dan menebak itu pasti Thingkieh sahabatnya.
“Kenapa Saumi? Apa kau takut?”
Saumi tergesa mengangguk.
“Tak usah takut, itu Thingkieh yang mungkin Ibu menyuruhnya pergi melihat keadaan kita.” jawab Siyong.
“Terus?” Saumi justru semakin merasa ingin sekali bertemu langsung dengan Thingkieh, sahabat suaminya. Semakin penasaran, dari dulu hanya mendengar cerita teman-temannya kalau Siyong bersahabat dengan harimau.
“Abang”, Kapan, kita pulang?
“Besok pagi, kita pulang, sekarang tidur,” tutur siyong. Siyong kian terfikirkan tentang sahabatnya Thingkieh dan Ibunda tercinta hingga terlelap.
Ayampun mulai berkokok sahut-bersahutan, memberi isyarat bahwa waktu subuh telah tiba.
Saumi tersentak dan langsung membangunkan Siyong.
“Bang, bangun shalat subuh.”
“Iya, siyong terbangun.
Usai shalat, mereka pun bersiap dan berpamitan dengan kedua orang tua saumi,
“Abah, kami pulang ke Padang Katek.”
Kami ingin melihat Ibu, dia sendirian di sana.
“Pulang lah, kasihan Ibumu, dia mungkin sangat merindukan kalian”, jawab Abah Saumi.
Setelah berpamitan, Siyong dan Saumipun memulai perjalanannya pulang. Di tengah perjalanan pulang, mereka beristirahat sejenak di bawah pepohonan yang tidak jauh lagi dari rumah Ibu Siyong. Sambil membuka perbekalan, terdengar suara auman tepat di depan mereka istirahat. Saumi tersentak dan menatap wajah sang suami.
“Apa itu, apakah itu suara Thingkieh bg?
Siyong tersenyum manis, menatap sang istri.
“Thingkieh, mungkin tahu kita pulang,” Ujar Siyong dengan penuh percaya diri.
Sesaat sosok auman itupun menampakkan diri, menatap tajam ke arah Siyong dan Saumi, pikiran Siyong seketika berputar dan mulai merasa ragu.
“Abang, apakah itu Thingkieh sahabat mu?
Siyong terdiam menatap ke arah sang harimau.
Di rumah, Thingkieh sedang berbaring di depan pintu menunggu sahabatnya.
“Thingkieh, apa kau juga merindukan Siyong?
Tutur Ibu dengan nada yang membuat Thingkieh semangkin sedih dan murung.
Sementara, sang harimau semangkin mendekati Siyong dan Saumi.
“Thingkieh, ini aku Siyong sahabatmu.”
“Thingkieh, ini istriku Saumi,” tutur Siyong dengan nada ingin meyakinkan sang harimau.
Saat harimau menapakkan kaki di atas batu, Siyong mulai pucat dan ketakutan, “istriku, harimau ini bukan sahabatku Thingkieh”.
mendengar itu Saumi jatuh pingsan,
Saumi, Saumi, !
“Saumi bangun, bentak Siyong yang mukai panik”.
Dengan sekejap mata sang harimau melompat kearah siyong, Siyong yang pernah belajar ilmu bela diri silat menghindar sambil cemas dan takut sang harimau merubah arah serangan ke istrinya.
Pertarunganpun berlangsung sengit. Di rumah, Ibu yang sedang mengambil gelas tiba-tiba gelas terjatuh. Thingkieh kaget dan berlari melihat sang Ibu di dapur.
“Thingkieh, Ibu merasa cemas akan Siyong.”
Perasaan Ibu seperti terjadi sesuatu Pada Siyong,” sambil menangis Ibu memerintahkan Thingkieh.
“Thingkieh, pergilah.”
Thingkiehpun berlari kencang dengan rasa penuh kemarahan, sedih dan khawatir pada Siyong.
Thingkieh kaget, melihat tepat di depan mata seekor harimau sedang menyerang sang sahabat, Siyong terlihat terluka yang mencoba melindungi istrinya yang terbaring.
Tanpa menunggu waktu, Thingkieh langsung melompati harimau liar itu. Thingkieh berdiri di depan Siyong menatap tajam penuh amarah.
“Saumi bangun!, teriak Siyong, Thingkieh sudah datang menyelamatkan kita. Saumipun terbangun dengan penuh ketakutan sambil memeluk Siyong.”
Thingkieh terus menyerang harimau liar itu, harimau liar tersebut kian terluka dan berlumuran darah. Merasa dalam posisi yang tidak berimbang, harimau liar memanggil pasangannya untuk membantu pertarungan melawan Thingkieh.
Melihat kondisi pertarungan mulai tak seimbang, “kita harus cepat meninggalkan tempat ini istriku”, ujar Siyong. Siyongpun bergegas menuntun Saumi berlari cepat ke arah rumah Ibunya.
Setiba di rumah, Ibu kaget melihat Siyong berlumuran darah dan menantunya yang cantik terlihat pucat menggigil ketakutan. Ibu langsung memeluk erat kedua nya sambil bertanya,
“Apa yang telah terjadi?”
“Apa kalian bertemu, dengan Thingkieh?”
dengan terbata-bata, terdengar jawaban Siyong
“Kami diserang harimau liar Bu, Thingkieh meyelamatkan kami”.
“Thingkieh di mana?,” tanya Ibu yang mulai terlihat cemas.
“Dia masih bertarung melawan sepasang harimau liar itu bu”, jawab Siyong.
“Aku yang menyuruh Thingkieh selalu mengawasi kalian di sana, dia selalu setia menemani Ibu dan menunggu kau pulang”, sahut Ibu dengan wajah sedih dan mata mulai berkaca-kaca mengenang perilaku Thingkieh, selama siyong tak dirumah.
“Dia selalu berlari dengan semangat, asal Ibu menyuruhnya pergi melihat keadaanmu nak”.
“Ibu, aku akan membawa pulang Thingkieh, aku tidak akan membiarkan dia mati dan kecewa padaku”, pungkas Siyong yang merasa mendidih mendengarkan kisah kesetiaan Thingkieh terhadap Ibunya.
Siyongpun pamit pada Ibu dan Saumi, Saumi memegang erat lengan sang suami dan memeluknya, sambil berbisik, “pergilah selamatkan sahabatmu dan kembalilah dengan selamat untukku dan anak kita”, sambil menuntun tangan Siyong dan mengarahkan pada perutnya.
“Aku akan pergi menyelamatkan Thingkieh dan kembali untuk kalian,” sahut Siyong seraya meminta Ibunya mengambilkan pedang pusaka almarhum Ayahnya.
Siyongpun langsung berlari kencang bagai kesurupan, berteriak-teriak keras dan lantang.
“Aku tak berniat membunuh kalian, Aku akan membunuh kalau kalian menyakiti sahabatku”, saat pertama kali melihat ke arah Siyong, sepasang harimau liar itu kaget, mereka langsung merubah arah serangan.
Siyong menebaskan pedangnya ke arah sepasang harimau liar itu, sesekali Thingkieh mengambil bagian penyerangan dan akhirnya mereka berhasil melumpuhkan sepasang harimau liar itu.
Harimau liar jantan terhunus pedang saat melompat menyerang Siyong, melihat sang jantan terhunus pedang, harimau liar betina melompat mencakar lengan siyong dan lari ke arah hutan.
“Thingkieh maafkan aku telah mengecewakan kau dan Ibu, Thingkieh jagalah Ibu, istri dan keturunanku,” suara Siyong dengan terbata-bata sambil menahan rasa sakit. Tak lama Siyongpun jatuh tersungkur di atas tubuh harimau jantan yang tewas oleh hunusan pedangnya.
Melihat sahabatnya, Thingkieh marah Meraung-raung kearah hutan dan berusaha membangunkan Siyong, namun Siyong tak kunjung bangun.
Thingkieh menatap sedih penuh haru, dia mengenang masa-masa saat dia diselamatkan, dan Siyong selalu mengajari Thingkieh bersahabat dengan manusia dan menyangi binatang yang dipelihara manusia.
Dengan rasa marah dan sedih yang memuncak, Thingkieh benci binatang harimau dari jenisnya yang telah membunuh orang yang pernah menyelamatkan dirinya.
Thingkieh meraung-raung panjang dan berlari ke arah rumah, seolah memberi kabar Siyong telah tiada. Ibu dan Saumipun berlari mengikuti Thingkieh dan meratapi Siyong.
Thingkieh tak kuasa melihat Ibu menangis, dan memilih akan membalaskan kematian Siyong. seketika Thingkieh berlari kearah hutan.
“Thingkieh kau terluka, jangan kau pergi kehutan, jangan kau tinggalkan Ibu, Thingkieh pulang lah, tak ada lagi yang menghibur Ibu di rumah”, teriakkan Ibu kepada Thingkieh dengan suara meraung meratapi kematian anak semata wayangnya dan Thingkieh peliharaan yang setia.
Hanya terdengar raungan keras dari Thingkieh atas Ibu, seolah memberi isyarat dia akan kembali untuk Ibu yang memeliharanya sejak kecil.
Tiba-tiba Siyong tersentak mengerang penuh kesakitan. “Kenapa Ibu dan Saumi menangis?, Kenapa Ibu meratap memanggil Thingkieh?, tanya Siyong.
Namun tak lama kemudian, warga yang lewat menghampiri mereka dan membantu siyong dibawa pulang.
…………..
Bersambung