Analisaaceh.com, Takengon | Sekretaris Daerah Aceh Tengah Karimansyah akui sedikit runyam berbahasa Gayo secara baik dan benar. Menurutnya setiap kali ia menggunakan bahasa tersebut sedikit tidaknya masih bercampur dengan bahasa melayu.
“Ini saya akui, menyampaikan pidato dalam bahasa Gayo masih bercampur dengan bahasa melayu, (Terol-red Gayo)” kata Karimansyah saat membuka kegiatan cerdas cermat berbahasa Gayo yang diselenggarakan oleh organisasi Puan Persada Aceh Tengah, Sabtu (23/11/2019) di Takengon.
Pernah kata dia, beberapa kali mencoba membuat sebuah naskah sambutan menggunakan bahasa Gayo, namun hasilnya masih tercampur bahasa melayu di dalam nya.
“Sebenarnya bercampur dengan bahasa melayu tidak masalah, untuk lebih memperkaya bahasa, jika dibiasakan, dari bahasa Aceh bisa menjadi bahasa Gayo, dari bahasa Gayo menjadi bahasa melayu, itu biasa dan sering dijadikan sebagai perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia,” papar Sekda dengan menggunakan bahasa Gayo.
Sebelum kegiatan cerdas cermat itu dimulai kata Sekda, ia sebelumnya sempat meminta bagian Humas untuk membuat naskah pembukaan menggunakan bahasa Gayo, namun hasilnya, bagian Humas memberi selembar kertas dengan menggunakan bahasa Melayu.
“Di bahagian Humas sudah tidak ada lagi orang Gayo asli, yang asli orang Gayo telah keluar, saat ini yang tinggal hanya yang tidak bisa berbahasa Gayo, ini menjadi masalah utama punahnya berbahasa Gayo,” keluh Karimansyah.
“Ini kondisi kita saat ini, apa yang disampaikan para ahli, bahasa Gayo terancam punah ini salah satunya, belum mampu membuat sambutan menggunakan bahasa Gayo asli, tapi, kedepan harus mulai berbenah” timpalnya.
Menurut dia, saat ini bahasa yang aman di Aceh yaitu bahasa Aceh, bahasa Melayu, Jawa, Batak, Minang dan beberapa bahasa lainya yang masih tetap eksis dipergunakan, selain dari itu, statusnya terancam punah dari peredaran.
“Di dalam nya tidak disebutkan, apakah bahasa Gayo ini terancam punah atau menghawatirkan, ini menjadi tugas berat kita semua, menyelamatkan bahasa ibu orang Gayo,” pintanya.
Menurutnya, seumur hidup di Negeri penghasil Kopi Arabika itu baru satu kali mendengar dan melihat langsung seseorang berbahasa Gayo tanpa tercampur dengan bahasa Indonesia yaitu saat (Ejer Muarah-red Gayo) “memberi nasehat kepada kedua mempelai” di Kampung Lemah Bebesen. Pria tersebut berasal dari Kampung Hakim Bale Bujang.
“Itu baru pertama sekali saya mendengar “Ejer Muarah” saat pernikahan anaknya pak Riza, bahasanya tidak ada bercampur dengan bahasa Melayu,” kata dia.
Ia pun bahkan sempat menginventarisir data-data terkait suatu kegiatan masyarakat Gayo dalam mencari ikan di (Penyangkulen-red Gayo), menurutnya ada 22 nama alat dan tahapan-tahapan dalam kegiatan tersebut. Begitupun dalam bersawah ada 16 alat dan resam yang harus dilalui.
“Kita khawatir, saat ini orang Gayo susah menulis, biasa hanya berdongeng (Kekeberen-red Gayo) kepada cucu atau anaknya. Bagaimanapun caranya, kebiasaan ini harus kita rubah kedepan, bagi yang paham silahkan menulis tentang riwayat Gayo, begitupun bagaimana kebesaran Reje Linge dan Buntul Linge kita tidak bisa memetik karena tidak ada catatan resmi,” Paparnya.
Baca Juga : Puan Persada Gelar Cerdas Cermat Berbahasa Gayo, SMP Linge Juara
Lanjutnya lagi, sebagai contoh tentang penelitian Arkeolog yang datang melakukan penelitian di Cerug Mendale, disana ditemukan kerangka manusia yang telah berumur ribuan tahun. Orang Gayo terkejut mendengar informasi itu karena tidak memiliki SDM yang memadai.
“Datang dulu dari Medan baru kita terkejut atas temuan di cerug mendale, alasnya kita kurang SDM untuk itu. Kedepan mudah-mudahan bahasa Gayo akan tetap eksis ditengah-tengah masyarakat. Ini tugas kita semua, yang paham kita berikan pemahaman ke generasi selanjutnya,” pinta Karimansyah Idris.
Sebagi penutup, ia sangat setuju kegiatan-kegiatan melestarikan budaya-budaya lokal seperti membudayakan bahasa Gayo diselenggarakan oleh organisasi-organisasi yang ada di daerah penghasil Ikan Depik itu.
“Jika tidak dalam acara seperti ini kita semarakkan berbahasa Gayo kapan lagi, terlebih acara ini digelar selama setahun sekali, mudah-mudahan muncul kembali puan persada selanjutnya,” tutup Sekda Aceh Tengah itu.