Analisaaceh.com, Banda Aceh | Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mendesak Presiden Republik Indonesia untuk membuka ruang keterlibatan internasional dalam penanganan bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh dan sejumlah wilayah di Sumatera. Desakan ini disampaikan menyusul perpanjangan masa tanggap darurat bencana oleh Pemerintah Aceh.
Ketua Komisi I DPRA, Tgk. H. Muharuddin, menyatakan bahwa perpanjangan masa tanggap darurat merupakan hasil evaluasi atas kondisi lapangan yang hingga kini masih memprihatinkan. Sejumlah wilayah dilaporkan masih terisolasi dan menghadapi ancaman kelaparan.
“Sudah 21 hari sejak bencana ditetapkan, namun masih banyak daerah yang belum tertangani dengan baik, seperti Aceh Tamiang, Bener Meriah, Aceh Tengah, serta wilayah pedalaman Aceh Utara,” kata Muharuddin dalam pernyataan persnya, Senin.
Ia menilai lambannya penanganan bencana disebabkan keterbatasan peralatan, minimnya mobilisasi bantuan, serta kondisi infrastruktur dasar yang belum pulih. Pemadaman listrik, kelangkaan BBM dan gas elpiji, serta sulitnya akses air bersih disebut semakin memperburuk situasi masyarakat terdampak.
Komisi I DPRA juga menyangsikan laporan perkembangan penanganan bencana yang disampaikan para menteri dan Kepala BNPB kepada Presiden. Menurut Muharuddin, sejumlah pernyataan pejabat pusat dinilai tidak mencerminkan kondisi riil di Aceh.
“Kami menilai ada ketidakpekaan terhadap situasi Aceh, bahkan cenderung menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” ujarnya.
Muharuddin menegaskan bahwa bencana ini merupakan tragedi kemanusiaan yang telah memenuhi kategori bencana nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, baik dari sisi jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan infrastruktur, luas wilayah terdampak, maupun dampak sosial ekonomi.
Meski demikian, pemerintah pusat belum menetapkan status bencana nasional. Karena itu, Komisi I DPRA meminta Presiden tidak menghambat masuknya bantuan internasional untuk menjalankan misi kemanusiaan di Aceh dan Sumatera.
Dalam pernyataannya, Komisi I DPRA juga menyoroti kebijakan pemusatan distribusi bantuan di satuan TNI. Muharuddin merespons penjelasan Danrem 011/Lilawangsa terkait pengamanan logistik bantuan yang dipusatkan di Korem sebagai posko bencana.
“Jika benar bantuan dipusatkan atas perintah Menko Polhukam dan BNPB, kami menilai ini kekeliruan. Tanggap bencana tidak bisa dibatasi. Masyarakat saat ini dalam kondisi terjepit—kedinginan, kelaparan, dan rentan penyakit di pengungsian,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa peran TNI seharusnya mengayomi masyarakat dan mendampingi pemerintah daerah agar distribusi bantuan tepat sasaran, bukan membatasi ruang kemanusiaan.
“Kami tidak menafikan peran TNI, namun ini bukan darurat perang. Ini bencana. Peran kemanusiaan harus dibuka seluas-luasnya dan tidak dibajak atas nama perintah atasan,” ujarnya.
Komisi I DPRA juga meminta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk tidak membatasi ruang kemanusiaan dengan alasan apa pun. Muharuddin mengingatkan bahwa trauma konflik dan darurat militer masih membekas di Aceh, sehingga pendekatan keamanan berlebihan justru berpotensi melukai psikologis masyarakat.
“Masyarakat didata saat mengambil bantuan seperti melapor ke pos militer. Ini sangat sensitif bagi Aceh,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Komisi I DPRA meminta Presiden segera mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan masyarakat terdampak bencana.
“Jangan main-main dengan nyawa rakyat. Selamatkan masyarakat yang tertimpa bencana,” tutup Muharuddin.




