Kompass Buss: Bintang Jangan Timbulkan Konflik Sara

Analisaaceh.com, Banda Aceh | Kami Komunitas Penyelamat Sejarah dan Budaya Suku Singkil (Kompass Buss) bersama dengan sejumlah mahasiswa Subulussalam menggelar aksi di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Selasa (12/11/2019).

Aksi tersebut dilakukan karena menyikapi kegaduhan bergejolaknya isu adat budaya di Kota Subulussalam.

Koordinator Aksi, Hasmaudin Lembong mengatakan, kegaduhan yang terjadi saat ini di Kota Subulussalam yang maksud adalah bergejolaknya isu adat budaya, seperti persoalan makanan khas, baju adat suku Singkil yang tidak ditampilkan pada saat hari jadi kota Subulussalam.

“Kemudian dalan event tingkat provinsi (MTQ) di Sigli, bentuk stand kota Subulussalam tidak mencirikhas kan bentuk rumah adat kota Subulussalam dan masih banyak lainya. Kami merasa hal ini dapat menimbulkan sinisme dan konflik antar sesama masyarakat Kota Subulussalam,” ujarnya.

Seperti yang kita ketahui, Kota Subulussalam merupakan kota yang dihuni oleh beragam suku dan etnik, tetapi kata Hasmaudin, tidak dilupakan bahwasanya Kota Subulussalam didominasi penduduk asli suku Singkil. Suku Singkil merupakan sebuah komunitas yang mendiami wilayah Subulussalam, Aceh Singkil dan sebagian wilayah di Aceh Tenggara.

Akan tetapi, lanjut Hasmaudin, kini timbul lagi persoalan yang menyangkut tentang kebudayaan, yaitu adanya wacana dari sekelompok komunitas ingin membangun Pusat Kebudayaan Pak-pak.

“Tentu ini menyebabkan ketersinggungan penduduk asli (Suku Singkil) itu sendiri, ditambah adanya dukungan dari beberapa Anggota DPRK serta dukungan dari Walikota Subulussalam H. Affan Alfian Bintang SE dengan berencana mengelontorkan dana Rp 250 juta,” terangnya.

Padahal, kata Hasmaudin, suku Pak-pak merupakan salah satu suku yang berasal dari Sumatera Utara tepatnya di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat.

“Kami merasa tidak beralasan jika pembangunan Pusat Kebudayaan Pakpak di bangun di kota Subulussalam yang mayoritas Suku Singkil. Sepengetahuan kami, Walikota Subulussalam berasal dari suku Pak-pak, meskipun demikian kami berharap Walikota harus bersikap profesional dan menjadi sahabat semua suku tanpa ada yang terkucilkan, jangan terkesan seperti berat sebelah dalam memperlakukan suku-suku yang ada di Kota Subulussalam agar kedamain itu tetap terjaga,” ungkapnya.

Hasmaudin menjelaskan, Qanun Provinsi Aceh Nomor 12 tahun 2004 Pasal 7 di mana Pemerintah Aceh berkewajiban memajukan, membina, mengembangkan dan melestarikan kebudayaan Aceh. Jadi penegasan dalam pasal tersebut jelas yaitu Kebudayaan Aceh.

“Kompass Buss bukan alergi dengan budaya luar, tetapi kita harus bisa saling menghargai dan memahami nomenklatur yang ada, sebagai penududuk asli tentu kami merasa khawatir akan tergerusnya budaya suku Singkil, karena budaya adalah identitas sebuah daerah yang memang harus dipertahahankan dan dilestararikan. Bila seandainya Pemerintah Kota Subulussalam memamahi perasaan pribumi dan kearifan lokal daerah, mestinya pemerintah tidak mengedapankan egoisnya dalam mendorong salah satu suku, tetapi mampu menjadi perantara dalam mempersatukan suku-suku yang ada, khusunya suku asli tempatan yaitu suku Singkil,” terangnya.

Biila kita kaji lebih dalam, lanjut Hasmaudin, Kota Subulussalam adalah kota Syariah tempat asalnya Syeh Hamzah Fansur, seorang ulama sufi yang kharismatik. Seiring perkembangan zaman, Kota Subulussalam berubah menjadi kota multietnis. Dengan julukkan kota multietnis seharusnya pemerintah jangan terlalu monoton mengelakkan isu suku dan budaya, karena masih ada persoalan-persoalan urgent yang harus diselesaiakan oleh pemerintah, apalagi pemeritahan Subulussalam kini masih tergolong baru, belum sampai setahun usai pilkada 2018 lalu.

“Yang dinanti nanti kini adalah prestasi. Prestasi dalam pendidikan, ekonomi, kesehatan gratis, pelayanan, lapangan kerja dan pembangunan lainya yang dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Bukan terbalik, malahan kini narasi dan berita-berita tentang kebobrokan yang didengar masyarakat. Selain masalah isu budaya, ada pula isu dugaan korupsi di lembaga pendidikan Mota Subulussalam yang mencapai Rp 10 miliar, kemudian baru-baru ini terdengar kabar bobolnya Kas Daerah hingga Rp 2 miliar. Sebenarnya apa yang terjadi di pemerintahan Subulussalam, apa sih titik fokus pencapain yang ingin diraih, tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi kami komunitas dan mahasiswa,” kata Hasmaudin.

Maka atas rasa kepedulian terhadap budaya Singkil, pihaknya melaksanakan aksi damai sebagai bentuk menyampaikan pendapat dan juga beberapa tuntutan penting bagi pemerintah Kota Subulussalam. Adapun tuntutan tersebut yakni:

  1. Melestarikan budaya tempatan (Suku Singkil)
  2. Membuat Qanun atau Perwal tentang penyambutan tamu menggunakan tari Dampeng
  3. Mendesak Pemerintah Kota Subulussalam untuk membuat mutan lokal bahasa Singkil
  4. Menolak pembangunan Pusat Kebudayaan Pak-pak menggunakan APBK Subulussalam
  5. Meminta kepada Pemerintah Kota Subulussalam untuk tidak mengeluarkan pernyataan dan kebijakan yang dapat menyinggung perasaan masyarakat atau suku lain.
  6. Mendesak Pemerintah Subulussalam untuk bersikap profesional tidak ada anak tiri dan anak kandung
  7. Mendesak MAA untuk membuat buku adat dan budaya Singkil agar tidak hilangnya sejarah dan budaya suku Singkil.
Komentar
Artikulli paraprakAceh Ekspor Perdana CPO ke India, Anggota DPRA Sebut Investasi Solusi Bagi Aceh
Artikulli tjetërKesbangpol Aceh Tengah Sosialisasikan Pendidikan Wawasan Kebangsaan