Analisaaceh.com, Banda Aceh | Setiap masyarakat memiliki ciri khas yang berbeda di setiap daerahnya. Aceh salah satunya, yang terkenal dengan berbagai macam kuliner unik, salah satunya ialah Leumang, makanan khas berupa beras yang dipanggang dalam bambu muda.
Leumang menjadi salah satu menu khas yang disantap saat berbuka puasa di bulan Ramadhan. Leumang Aceh yang rasanya nikmat, gurih dan lezat ini menjadi penganan paling dicari sebagai takjil untuk berbuka puasa.
Di tempat Muhammad Yakob, makanan khas yang diramu dengan beras ketan dan santan tersebut dimasak dengan cara unik.
Di atas sebidang tanah, buluh bambu yang sudah terisi adonan leumang nampak tertata rapi di tempat perapian, hawa panas dan kepulan asap membuat pria berusia 42 tahun tersebut harus menahan perih dari efek asap, serta terlihat sesekali ia mengusap kedua bola mata dan menyapu keringat yang mengalir di wajahnya.
Kendati demikian, hawa panas dari perapian tersebut tidak membuat Yakop surut. Ia terlihat sangat telaten dalam membolak-balikkan puluhan buluh bambu muda yang berisi ketan dan ubi tersebut.
Dengan menggunakan sarung tangan dan tongkat sepanjang dua meter, pria paruh baya tersebut terlihat berulangkali menjaga dan meratakan bara api yang dijadikan untuk memanggang leumang, Selasa (12/5/2020).
Usaha pembuatan leumang sudah dilakoni M. Yakop bersama orang tuanya sejak tahun 1994. Awalnya usaha leumang tersebut dirintis oleh ibunya Hafsah, karena sudah usia lanjut dan tidak kuat lagi, maka dialihkan kepada Yakop.
Tidak lepas tangan begitu saja, di lokasi pembuatan leumang, Hafsah yang berusia 70 tahun tersebut masih terlihat giat dalam mengolah bahan dan selai leumang.
Berlokasi di jalan Syiah Kuala, Gampong Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Muhammad Yakop mengolah dan menjual leumang yang diproduksinya. Di tempatnya Yakop mengolah makanan berbahan dasar beras ketan tersebut menjadi tiga varian, yakni ada leumang putih yang di buat dari beras ketan putih, leumang hitam dari beras ketan hitam serta leumang ubi yang dibuat dari bahan dasar singkong.
“Disini ada leumang putih, leumang hitam dan leumang ubi, itu yang ada cuma tiga macam,” kata Yakop di sela-sela aktivitasnya.
Dalam mengolah bahan leumang, pria berusia 52 tahun ini dibantu oleh ibunya dan beberapa orang pekerja lain yang bertugas memasukkan bahan penganan ke dalam buluh bambu yang sudah dilapisi dengan daun pisang muda, setelah beras ketan dan bahan lainnya dimasukkan ke dalam ruas buluh bambu, baru kemudian Yacop memanggangnya dengan dideretkan di atas bara api.
Proses pembuatan leumang memakan waktu lama, butuh waktu sekitar 3 sampai 6 jam. Di tempat Yakop mereka biasa mulai bekerja sekitar jam 09:00 WIB, sementara untuk pemanggangannya dimulai dari pukul 11:00 WIB sampai pukul 15:00 WIB.
Untuk harga, penganan leumang ini dibandrol mulai dari Rp 40.000 hingga Rp 100.000 per buluh bambu. Sedangkan jika dijual perpotong biasanya dibandrol dari Rp 5.000 sampai Rp 10.000.
“Kalau harganya 40 sampai 100 ribu, tergantung ukuran bambunya, kalau dipotong-potong harganya Rp 5.000 sama 10.000,” ujar Yacop.
Untuk di bulan Ramadhan perharinya Yakob bisa memanggang 60 hingga 65 bambu leumang, atau berkisar 100 kilogram beras ketan serta 25 kg ubi singkong. Sedangkan di hari-hari biasa di luar Ramadhan ia hanya memanggang 10 bambu per hari.
Leumang yang dijual Yakop bersama ibu dan keluarganya eksis terjual di kalangan masyarakat, terlihat ketika leumang yang dipanggang hampir matang, satu per satu pelanggan mulai berdatangan.
“Alhamdulillah leumangnya selalu habis terjual, apalagi Ramadhan tahun ini, meski sedang ada corona tapi pelanggan terbilang bertambah daripada tahun kemarin,” pungkasnya.