Memaknai Energi Berkeadilan Untuk Aceh

Direktur Migas dan Pertambangan PT. Pembangunan Aceh (PEMA) dan Ketua Lembaga Pengembangan Industri Aceh (LPIA), Hasballah (Foto/Ist)

Oleh: Hasballah

Energi Berkeadilan merupakan program Kementrian ESDM sebagai implementasi dari Nawacita Presiden Joko Widodo, salah satunya adalah mewujudkan kemandirian dan kedaulatan energi.

Kebijakan ini diterapkan dengan mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesia dan Blok Rokan dari Chevron untuk diserahkan pengelolaannya kepada BUMN (Pertamina).

Jauh sebelum Nawacita diperkenalkan, Aceh sudah memiliki Pancacita, yaitu keadilan, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan, dan kesejahteraan. Mewujudkan Pancacita bukanlah perkara mudah dan telah banyak bersimbah darah, yang salah satu pemicunya adalah penguasaan dan pengelolaan Energi (Belum) Berkeadilan.

Bila Presiden dengan Nawacitanya mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam dan Blok Rokan, maka Gubernur Aceh dengan Pancacitanya juga berinisiatif mengambil alih pengelolaan Blok B untuk diserahkan pengelolaannya kepada Badan Usaha Milik Aceh (BUMA), yang dalam hal ini ditunjuk PT. Pembangunan Aceh (PEMA).

Blok B memiliki lapangan gas raksasa (giant field) Arun dengan cadangan mencapai 17 TCF yang ditemukan pertama kali pada 18 November 1971 oleh Socony-Vacuum Oil Company, perusahaan minyak asal Amerika Serikat yang kemudian bergabung dengan Exxon dan membentuk perusahaan ExxonMobil.

Lapangan Gas Arun merupakan lapangan gas dengan cadangan terbesar nomor 5 di dunia pada saat itu dan merupakan lapangan yang menghasilkan LNG pertama di dunia. Kilang LNG Arun dibangun di Blang Lancang, sekitar 32 Km dari lapangan gas Arun dan 15 Km dari Kota Lhokseumawe. Pembangunan Kilang LNG Arun melibatkan sekitar 8.000 pekerja yang berasal dari Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Inggris, India, Jepang, Korea, Filipina, Singapura dan beberapa negara lainnya. Tidak banyak pekerja lokal Aceh yang terlibat dalam pembangunan mega proyek tersebut pada saat itu.

Minimnya pekerja lokal Aceh di bidang pengolahan minyak dan gas bumi (migas), kemudian melahirkan Politeknik Unsyiah di Buket Rata pada 5 Oktober 1985, sekarang bernama Politeknik Negeri Lhokseumawe. Hal ini dapat dikatakan “agak” terlambat, ditambah lagi hanya jenjang pendidikan diploma. Sementara itu, untuk jenjang pendidikan sarjana, Pertamina bekerjasama dengan Universitas Indonesia mendirikan Program Studi Teknik Gas dan Petrokimia di Depok, Jawa Barat pada tahun yang sama. Saya termasuk salah satu anak Aceh yang tertarik untuk belajar teknik pengolahan gas dan petrokimia pada saat itu (1993) karena termotivasi oleh keberadaan Kilang LNG Arun.

Kilang LNG Arun diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 19 September 1978 dan mulai melakukan pengapalan LNG pertama pada 14 Oktober 1978 serta terakhir pada 15 Oktober 2014. Selama beroperasi 36 tahun, Kilang LNG Arun telah menghasilkan dan mengekspor sebanyak 4.269 kargo LNG ke Jepang dan Korea Selatan.

Gas Arun menjadi “saksi” munculnya beberapa peristiwa penting di Aceh. Salah satunya adalah konflik Aceh yang berkepanjangan nyaris mencapai tiga dekade (1976-2005). Gas Arun yang semestinya membawa berkah bagi rakyat Aceh, justru menjadi “musibah” bagi perekonomian Aceh.

Seiring meluasnya konflik Aceh, status Sabang sebagai pelabuhan bebas pun dicabut oleh Pemerintah Pusat (Jakarta) akibat maraknya aksi penyeludupan senjata dari luar negeri melalui Sabang oleh kelompok gerakan yang dipimpin Hasan Tiro.

Hasan Tiro yang saat itu tinggal di Amerika Serikat mengetahui tentang rencana pembangunan mega proyek Kilang LNG Arun, lalu pulang ke Aceh dan disambut oleh Gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad. Hasan Tiro membahas tentang lapangan gas Arun ini dengan Gubernur dan meminta Gubernur untuk menyampaikan kepada Presiden Soeharto agar Aceh dilibatkan.

Gubernur Aceh saat itu tidak dapat berbuat banyak, karena segala keputusan vital – termasuk soal penentuan kontrak – berada dalam kewenangan Pemerintah Pusat di Jakarta. Akhirnya, Hasan Tiro dirundung rasa kecewa yang mendalam lalu merekrut beberapa pemuda Aceh dikirim ke Libya untuk dilatih militer dan melakukan perjuangan menuntut Aceh Merdeka yang kemudian kita kenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aceh pun bersimbah darah.

Konflik Aceh kemudian berakhir pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005 yang dikenal dengan MoU Helsinki. Salah satu butir penting dalam MoU tersebut adalah pengelolaan sumber daya alam migas Aceh yang berkeadilan (Energi Berkeadilan).

MoU Helsinki kemudian melahirkan UU RI No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Kemudian lahir PP No. 23/2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Migas di Aceh (PP Migas Aceh) yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Mei 2015 dan sekaligus melahirkan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

Dengan adanya BPMA, maka seluruh kegiatan operasional migas yang berada di wilayah kewenangan Aceh mulai dari tahap perencanaan sampai dengan pengawasan dilakukan oleh BPMA. Sampai di sini pengelolaan sumber daya alam migas Aceh mulai menuju “keadilan” sebagaimana salah satu cita-cita yang tertuang dalam Pancacita Pemerintah Aceh. Setelah pengapalan terakhir LNG Arun ke Korea Selatan pada 15 Oktober 2014, Kilang LNG Arun berhenti beroperasi karena sumber gas yang dihasilkan dari lapangan Arun dan sekitarnya mulai berkurang dan sudah tidak ekonomis lagi untuk dijadikan LNG.

Dengan berhentinya operasi Kilang LNG Arun dan berakhirnya kontrak pengiriman LNG ke Korea Selatan, ExxonMobil sebagai pemegang interes dan operator Blok B dan Blok NSO mengalihkan seluruh interes dan operatorship ke Pertamina pada 1 Oktober 2015 tanpa melibatkan BPMA dan Pemerintah Aceh khususnya Blok B yang berada dalam wilayah kewenangan Aceh.

Sejak 1 Oktober 2015 sampai dengan Kontrak Kerja Sama (PSC) kedua blok tersebut berakhir pada 3 Oktober 2018, Pertamina Hulu Energi (PHE) menjadi pemegang interes 100% dan menjadi operator Blok B dan Blok NSO. Setelah PSC berakhir, Blok NSO diperpanjang kontraknya selama 20 tahun oleh Pemerintah kepada PHE NSO karena blok tersebut berada di diluar wilayah kewenangan Aceh.

Sedangkan untuk Blok B sampai saat ini masih berupa perpanjangan kontrak sementara kepada PHE NSB untuk menjaga keberlangsungan produksi sampai adanya kata sepakat antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh dalam mengelola blok tersebut. Sejak berakhirnya kontrak pada 3 Oktober 2018, PHE NSB telah menerima 4 kali perpanjangan kontrak sementara dan yang terakhir akan berakhir pada 17 November 2020.

Demi “Energi Berkeadilan” dan melanjutkan 4 cita-cita lagi dari Pancacita serta satu cita-cita dari Nawacita Presiden, yaitu “kemandirian dan kedaulatan energi” maka Pemerintah Aceh ingin berperan aktif dalam mengelola Blok Migas. Gubernur Aceh dengan tegas menyatakan bahwa harapannya adalah Blok B dialihkan pengelolaannya dari PHE NSB kepada PEMA.

Terakhir, pada 21 Desember 2019, sehari sebelum meresmikan Migas Center Unimal Bukit Indah, Lhokseumawe, Gubernur meninjau langsung ke area operasi Blok B di Lhoksukon.

Jangan sampai harapan ini dianggap angin lalu oleh Pemerintah, sehingga berpotensi melahirkan Hasan Tiro baru. Hari ini, Gubernur Aceh memiliki kewenangan dalam penentuan kontrak migas, tidak seperti pada masa dulu. Aceh siap dan mampu untuk mengelola dan mengoperasikan lapangan migas Blok B. Hal-hal mengenai pengalihan operasi dll., supaya dapat diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang tidak terlalu lama.

Penulis merupakan Direktur Migas dan Pertambangan PT. Pembangunan Aceh (PEMA) dan Ketua Lembaga Pengembangan Industri Aceh (LPIA)

Komentar
Artikulli paraprakNurmiaty AR: Karakter Pendidikan Usia Dini Penting bagi Masa Depan Indonesia
Artikulli tjetërGangguan Listrik di Sumut, Sebagian Wilayah Aceh Gelap