Totok Santosa mengklaim sebagai raja di Bayan, Purworejo. Jadi lelucon masyarakat karena penyelewengan sejarah yang amat tak masuk akal.
ANALISAACEH.COM, BANDA ACEH | Mengaku sebagai Sinuhun, Totok Santosa Hadiningrat mendirikan dan memimpin Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo, Jawa Tengah. Keraton yang belum selesai pembangunannya itu berpusat di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo.
Totok mengaku sebagai juru damai dan punya kekuasaan atas seluruh negara di dunia. Totok juga mengklaim KAS punya alat-alat kelengkapan di Eropa, dan Persatuan Bangsa-Bangsa sebagai parlemen dunia yang menyokong mereka. Selain itu, Pentagon juga diklaim sebagai dewan keamanan KAS, bukan milik Amerika.
Pendirian KAS menjadi bahan lelucon masyarakat karena otak-atik gathuk yang tak masuk akal. Masyarakat Purworejo dan lebih khusus Kecamatan Bayan sendiri tak ada yang percaya dengan omongan Totok. Jumeri, warga Bayan yang rumahnya bertetangga dengan Keraton jadi-jadian itu, mengatakan, sebagaimana diberitakan rmol Jateng, bahwa hanya dua orang tetangganya yang bergabung dengan Totok, lainnya tidak.
Kelucuan pada penyelewengan sejarah ini kemudian berakhir setelah Totok dan delapan anggota KAS, termasuk Fanni Aminadia yang menjadi Kanjeng Ratu, ditangkap polisi pada Selasa (14 Januari 2020) petang.
Bila menilik sejarah, Purworejo dulunya termasuk Negaragung Bagelen. Nama Purworejo dipakai sebagai pengganti nama Brengkelan, pusat kota Bagelen. Wilayah ini bertetangga dengan Banyumas di sebelah barat dan dengan Keraton Mataram di sebelah timur.
Bagelen bersama Banyumas, Kedu, Mataram, Pajang, Sukowati, dan Gunung Kidul masuk dalam kekuasaan Mataram abad ke-17 yang diperoleh berkat perjanjian dan pernikahan. Sementara daerah timur Mataram lebih banyak diperoleh melalui penaklukan.
Kondisi Bagelen pada awal abad ke-19 dikisahkan Kapten Godfrey Baker dari Batalion ke-7 Infanteri Ringan Benggala dalam laporannya kepada Raffles. Dalam perjalanannya ke timur pada 1815, Baker melalui aliran Suangai Cingcingguling menuju Bagelen sebagai tanah-jabatan Negaragung Mataram.
Selama berkuda sejauh enam puluh mil ke kota penyeberangan Brosot di Kali Progo, Baker terperangah menyaksikan daerah paling makmur dan berpenduduk padat. Dilaluinya Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan (Jalan Daendels) yang membentang sepanjang pinggir pantai selatan.
Menurut catatan Baker, hampir seluruh wilayah itu tampak ditanami padi dan kedelai. Rawa-rawa menjadi penghasil ikan yang diolah menjadi gereh (ikan asin) dan diperdagangkan sepanjang pantai selatan hingga ke muara Sungai Serayu. Sebagian ikan asin itu juga dijual ke kecamatan di pedalaman seperti Ledok (sekarang Wonosobo).
Wilayah ini amat kaya. Hampir sama seperti Kedu, Bagelen merupakan gudang padi dan bahan pangan di timur Jawa Tengah. Tak hanya hasil padi, wilayah ini juga memproduksi kain tenun dan kedelai dalam jumlah besar.
Di desa-desa, pertenunan kapas menjadi tulang punggung industri kerajinan kain rami (linen), selempang batik katun, baju perempuan, dan kain sarung. Sebelum Perang Jawa (1825-1830), beberapa sentranya terletak di Desa Jono (kini di Kecamatan Bayan, Purworejo), Tangkilan, dan Wedi. Ketiga wilayah ini, seperti diceritakan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, dihuni banyak penduduk Tionghoa. Pasca-Perang Jawa, sentra kain rami terletak di Tanggung, dekat jatung Kota Purworejo kini.
Namun demikian, wilayah Bagelen juga tumpang tindih antara Keraton Mataram dan Kasunanan Surakarta. Batas wilayah kedua kerajaan itu tak jelas. Peter Carey mengisahkan, pada sekira 1820-an ada seorang Mantri Desa Karang Bolong di pantai selatan Jawa (kini Kebumen), yang dulu masuk dalam wilayah Bagelen, dilaporkan oleh rakyatnya. Penduduk Karang Bolong menyalahkan Demang Juni karena enggan menaruh banyak sesajen pada Ratu Kidul sebagai penyebab kegagalan panen. Penduduk mengajukan protes kepada patih Surakarta, bukan Mataram, yang menandakan Karang Bolong sebagai wilayah kekuasaan Surakarta.
Musafirul Huda dalam skripsinya “Perlawanan Raden Adipati Cokronegoro Terhadap Pasukan Pangeran Diponegoro Di Bagelen”, menyebut batas kekuasaan Mataram dan Surakarta yang tidak begitu jelas sering membawa pertikaian di kalangan penguasa lokal.
Herdi Sahrasad dalam “Bagelen: Historia Para Intelektual dan Jenderal Yang Dilupakan”, menyebut pada masa kolonial, kawasan agraris di pedalaman Jawa ini mengalami kemiskinan akibat penjajahan. Maka tak jarang, protes-protes dari masyarakat pun terjadi. Dari kondisi semacam ini, lahirlah intelektual dan jenderal pro-kemerdekaan. Beberapa tokoh ternama kelahiran Bagelen, seperti Kasman Singodimedjo (PPKI), Boentaran Martoatmodjo (BPUPKI), Oerip Sumohardjo, dan filsuf Nicolaus Driyarkara.
Namun kedudukan Bagelen berubah pada 1 Agustus 1901. Nama Bagelen hanya digunakan untuk menyebut salah satu kecamatan di Purworejo. Wilayahnya pun dimasukkan ke dalam Karesidenan Kedu dan tidak punya silsilah dengan Keraton Agung Sejagat.
Sumber: historia.id