Oleh: Miftahul Rizky
Melihat dunia pendidikan saat ini dalam kondisi yang semakin memprihatinkan. Sejak muncul Virus Covid-19 Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tatap muka di sekolah terpaksa harus dihentikan, pembelajaran harus dilakukan dengan jarak jauh secara daring atau online.
Bukan tanpa alasan, penghentian tersebut untuk memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19 atau yang sering disebut dengan virus corona. Sejumlah aturan telah dikeluarkan Pemerintah Pusat sehingga wajib diikuti secara Nasional.
Dampak berhentinya KBM tatap muka di sekolah semakin menjadi kekhawatiran oleh sejumlah orang tua, khususnya bagi mereka yang berstatus miskin. Anaknya tidak bisa mengikuti program belajar secara daring karena orang tua tidak mampu membelikan perangkat android.
Walaupun sebagian siswa sudah mempunyai perangkat android tetapi seringkali mereka salah memfungsikan, siswa lebih tertarik bermain game online dari pada belajar bersama guru secara daring.
Fakta yang terjadi khususnya di Provinsi Aceh, warung kopi yang punya akses Wifi tidak pernah sepi hingga waktu tengah malam. Mereka sibuk berkumpul menggesek-gesekkan jari di perangkat android untuk menikmati keseruan game yang mereka mainkan.
Guru kesulitan mengajar secara daring, bukan karena masalah koneksi internet yang lemot, bukan juga masalah disiplin kehadiran siswa. Mereka sulit ketika menyampaikan materi pembelajaran secara daring. Hal ini karena sebagian guru belum bisa memanfaatkan bantuan media teknologi.
Jika kegiatan belajar mengajar seperti ini terus berlanjut, berdampak buruk bagi generasi masa mendatang. Generasi yang diharapkan akan menjadi penentu arah perubahan bangsa terus menjadi generasi yang “Lemah” dan “Bodoh”.
Non Formal
Berbeda halnya dengan pendidikan Non-formal yang di kelola secara mandiri oleh Ulama-ulama Dayah Salafi seperti pondok pasantren. Khususnya di daerah Aceh, selama kondisi pandemi kegiatan belajar mengajar kitab kuning secara tatap muka di dayah tidak di hentikan.
Pengajian di dayah tidak satupun mengikuti protokoler kesehatan. Santri dayah tidak memakai masker, tidak mencuci tangan dengan sabun atau Handsanitizer, dan mereka selalu berkumpul dengan jumlah yang banyak ketika membaca shalawat, zikir serta Doa.
Ulama dan santri dayah tidak pernah khawatir akan meregang nyawa jika terserang virus corona. Mereka sangat yakin, akhir hidupnya akan Husnul Khatimah jika berada dalam Majelis Ilmu.
Mereka menganggap virus corona hanyalah sekedar isu belaka. Bukan tanpa alasan, pasalnya banyak pasien yang dinyatakan positif virus corona tetapi seketika bisa negatif. Tidak hanya itu, isu corona dinilai hanya sebagai proyek para elite penguasa.
Isu corona sering kali di bombardir oleh media masa untuk menakut-nakuti masyarakat. Maka sudah sepantasnya jika ulama dayah mengambil sikap tegas tidak memberhentikan kegiatan belajar mengajar kitab kuning secara tatap muka di dayah. Ulama dayah terus melanjutkan eksistensinya untuk pembentukan akhlak, moral dan pengetahuan agama kepada peserta didiknya.
Selama ini banyak video yang tersebar di media sosial pasien positif corona menari-nari di ruangan isolasi, bahkan ada pasien yang senang ketika di isolasi karena dilayani berbagai makanan dan minuman yang enak.
Bahagia, Akhir yang Resah
Dikutip dari cnnindonesia.com, bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan hanya membuka KBM tatap muka di wilayah berstatus zona hijau atau aman penyebaran Covid-19 untuk Tahun ajaran baru 2020/2021.
Namun hal ini masih menjadi perselisihan, karena hanya 6 persen siswa di Indonesia masuk zona hijau, artinya 94 persen siswa harus mengikuti KBM secara online.
Masyarakat semakin hari kian bertambah resah, anak-anak yang semestinya mendapatkan ilmu pengetahuan serta berakhlak mulia dari proses output lembaga pendidikan milik pemerintah tentunya sudah tidak bisa diharapkan lagi.
Sepertinya, harapan tersebut hanya mampu diwujudkan oleh lembaga pendidikan yang di bangun oleh Ulama-ulama dayah. Sebelum Indonesia merdeka alumni dayah selalu menjadi pilar terdepan bagi masyarakat luas, dayah selalu melahirkan lulusan yang mampu menghadapi tantangan dunia modern. Lulusan dayah tampil jadi contoh dan teladan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kita sudah pernah menghadapi pandemi yang serupa, seperti Virus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrom), Virus MARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), Wabah E.Coli, Flu Burung, dan Flu Babi. Tetapi saat pandemi tersebut berlangsung KBM secara tatap muka di sekolah tidak pernah diberhentikan.
Pemerintah dinilai menganjurkan KBM jarak jauh hanya sebagai formalitas, agar dunia pendidikan seolah-olah tidak pernah di lumpuhkan. Padahal pemerintah mengetahui bahwa KBM jarak jauh sangat tidak tepat sasaran.
Sejumlah pengamat pendidikan memahami bahwa pembelajaran jarak jauh tentu mengalami masalah serta kurang efektif pelaksanaan nya. Guru mengalami kegagalan dan kesulitan mendesain kegiatan mengajar yang menarik menggunakan media teknologi.
Begitu pesat perkembangan teknologi masa kini, akan tetapi guru masi belum melek teknologi. Lantas apa hebatnya pendidikan di masa kini? Jika guru masih tidak mampu menguasai media teknologi.
Kelemahan guru mendesain kegiatan mengajar dengan memanfaatkan bantuan media teknologi dan informasi perlu untuk segera di evaluasi, ini menjadi masalah besar bangsa ini.
Kebijaksanaan pemerintah sangat di harapkan oleh masyarakat agar generasi masa depan tidak semakin bodoh, khususnya masyarakat miskin mereka semakin khawatir anaknya putus sekolah karena tidak memiliki perangkat android untuk mengikuti pembelajaran secara daring.
Mimpi Buruk
Apakah kita semua mengharapkan Generasi Muda di masa depan menjadi manusia yang “Lemah” dan “Bodoh”?
Mungkinkah generasi muda kembali ke zaman purba? Mungkinkah generasi muda harus belajar cara menangkap ikan dengan tombak? Mungkinkah generasi muda harus belajar cara berburu dengan panah? Menghidupkan api dengan percikan batu?
Tidak menutup kemungkinan jika generasi seperti ini akan menjual bangsanya sendiri ke Negara Asing? Kita dijajah kembali, sumber daya di rampas, di waktu tua kita bekerja seperti Romusa.
Kita hanya bisa memanjatkan Doa serta berusaha. Semoga mimpi itu cukup tersimpan dalam tulisan sejarah bangsa kita, masyarakat tidak ingin kembali meneteskan air mata darah karena setiap tetesannya akan menjadi genangan luka dan penderitaan.
Harapan
Sebaiknya kegiatan belajar mengajar tatap muka segera diaktifkan kembali dengan melalui pertimbangan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di masing-masing Kabupaten/Kota. Karena Tim tersebut lebih memahami bagaimana kondisi keamanan di daerahnya.
Demi mencegah penyebaran Covid-19 sekolah harus mengikuti standar protokoler kesehatan yang di gayangkan pihak pemerintah pusat. Untuk mencegah berkumpulnya siswa dalam jumlah banyak pelaksanaan nya boleh dilakukan secara shift atau bergiliran, yang paling penting kegiatan belajar mengajar harus di lakukan secara tatap muka.
Wabah pandemi mengajarkan kita melakukan Transformasi terhadap kurikulum pendidikan yang selama ini berjalan kaku. Hal ini karena guru dan siswa wajib belajar selama delapan jam perhari.
Proses KBM selama delapan jam cuma menghabiskan waktu duduk di kelas, mendengarkan teori-teori yang membosankan. Selama ini kurikulum terlalu fokus kepada ranah kognitif (pengetahuan).
Jauh berbeda dengan pendidikan di Negara maju. Siswa di negara maju hanya menghabiskan tiga sampai dengan lima jam belajar di kelas. Kemudian mereka di bimbing oleh guru belajar di luar kelas. Seperti, belajar dari alam, belajar hidup sosial, belajar membuat kerajinan, belajar merancang mesin, belajar bela bangsa, belajar latihan semi militer, dan lainnya.
Menghadapi pandemi, kurikulum baru yang lebih fleksibel harus segera disiapkan. Kegiatan belajar mengajar secara daring tidak bisa lagi diharapkan karena sama halnya dengan melumpuhkan dunia pendidikan.