Analisaaceh.com, Banda Aceh |Â Isu pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara – Aceh Barat Selatan (ALA- ABAS) kembali mencuat beberapa pekan terakhir. Isu yang ditanggapi berbagai kalangan masyarakat ini senter dibicarakan sejak Multiyears Project direncanakan oleh Pemerintah Aceh.
Terkait hal ini, Aceh Institute (AI) meminta isu pemekaran tersebut tidak dibesar-besarkan sehingga membuat kondisi Aceh tambah gaduh, melainkan pemerintah Aceh serta instansi lainnya bekerja dan menuntaskan PR-PR yang sudah ada.
Hal tersebut disampaikan oleh Executive Director The Aceh Institute Fajran Zain pada Selasa (22/9/2020).
Menurut Fajran, tema pemekaran provinsi bukanlah isu baru. Isu ini pertama sekali lahir ke dalam diskursus publik setelah adanya pertemuan pertama sekali Komite Persiapan Pemekaran Propinsi Aceh Lesuer Antara (KP3ALA) di Brastagi tahun 1999. Hasil pertemuan tersebut diadvokasi ke Jakarta terutama dalam periodesasi DPR-RI 19992004. Namun advokasi berjalan lambat dan padam.
Di akhir periode kerja DPR-R tahun 2004, kata Fajran, isu ini muncul kembali. Dalam advokasi tahap kedua, KP3ALA memperluas strategi advokasi dengan menggandeng kerjasama rekan-rekan dari Pantai Barat Selatan yang tergabung dalam KP3ABAS. Gong perlawanan menjadi lebih besar. Sayangnya kondisi geopolitik Jakarta belum memasukkan isu pemekaran ke dalam agenda strategis kebijakan nasional.
“Lalu advokasi kembali berjalan lambat dan tersendat-sendat. Pada tahun 2006 isu muncul lagi terutama pada masa pembahasan RUU Pemerintahan Aceh (UU 11 Tahun 2006). Begitulah isu ini up and down, timbul ke dalam wancana publik sesuai dengan kepentingan dan irama politik pada masanya,” ujarnya.
Mencermati hal tersebut, sambung Fajran, pada tahun 2008 AI mengangkat isu ini ke level kajian intensif. Selain diskusi rutin di Balee Seumikee, Punge, AI juga melakukan penelitian lapangan yang melahirkan beberapa kesimpulan, pertama, tema pemekaran itu bukan barang baru, tapi sudah ada sejak tahun 1999, bahkan pada saat itu gaung isunya sudah menembus gedung DPR-RI Senayan.
“Sayangnya isu ini kandas dalam lemahnya lobi politik dan arah kepentingan politik nasional yang belum simetris,” jelasnya.
Kedua, tema pemekaran akan lebih elok bila itu kemunculannya murni dari aspirasi rakyat. Sayangnya tema ini lebih sering muncul dari aspirasi dari kepentingan pejabat an sich. “Untuk konteks isu pemekaran yang sedang muncul tahun 2020 ini, hasil kajian AI di atas masih tetap relevan untuk dijadikan bahan analisis. Menggunakan pendekatan Analisis Momentum (timing), Analisis Aktor (actor)Â dan Analisis Isu (issues), dalam frame Peace and Conflict Analysis jelas sekali terbaca aroma pragmatisme atau politik jangka pendek dibalik isu pemekaran di tahun 2020 ini,” beber Fajran.
Indikator satu, pada level timing, tema pemekaran itu selalu muncul hampir beririsan dengan agenda politik yang akan hadir dalam waktu dekat, katakanlah Pilkada 2022 yang sudah di depan mata. Semua orang butuh panggung dan popularitas.
“Semua orang butuh ketokohan dan bagi para politisi inilah saatnya mendongkrak level ketokohan guna menghadapi panggung politik ke depan, baik untuk level yang sama atau pun untuk naik ke level yang lebih tinggi,” kata Fajran.
“Indikator dua, pada level aktor, tema pemekaran selalu diusung oleh politisi yang hari ini sedang memegang jabatan politik. Kalau dulu ada Tagore Abubakar di pentas ALA dan tergolong sukses menghantarkannya dari pedalaman Bener Meriah ke Gedung Senayan DPR-RI sebagai wakil Aceh dari PDIP, hari ini ada Raidin Pinem di Aceh Tenggara dan Amru di Gayo Lues. Tema lama, aktor baru; lagu lama hanya diaransemen ulang saja,” sambung Fajran.
Menurut Fajran, ada satu yang membedakan konteks lalu dan konteks kini. Dulu di tampuk provinsi ada sosok-sosok penjaga keutuhan Aceh, sebutlah Irwandi-Nazar (2006-2012) dan Zaini-Muzakkir (2012-2017) yang selalu membasiskan argumennya pada naskah MoU Helsinki 2005 dan UUPA 11/2006.
“Pemerintah hari ini, khususnya setelah Irwandi diboyong ke Jakarta, terlihat tidak memiliki enigma yang sama dengan dua pemerintahan pendahulunya, dengan berbagai latar subjective yang melekat pada dirinya. Kita tidak tahu kemana muara desakan pemekaran akan mengalir kali ini,” ungkapnya.
Indikator tiga, pada level isu, tema pemekaran dulunya muncul karena adanya ketimpangan dalam pembangunan wilayah pesisir Timur-Utara vis-a-vis pesisir Barat Selatan dan pedalaman Tengah-Tenggara. Selain ketimpangan itu, juga ada fakta ketidakadilan dalam distribusi kesempatan dan sumber daya manusia (human resources) dimana putra-putri Barat-Selatan dan Tengah-Tenggara berada posisi yang subordinatif dan selalu terdiskriminasikan.
“Hari ini kedua konteks itu relatif bukan masalah lagi. Pembangunan daerah sudah lebih merata dan aktualisasi putra-putri terbaik Aceh dari barbagai latar belakang daerah sudah lebih distibutif dan adil. So what?,” kata Fajran.
Pada level isu yang muncul, kata Fajran, malah aspek pragmatisme rupiah (atau bahkan US dollar). Di balik isu desakan pemekaran ini berdiri agenda pembatalan project multiyears yang diolah dan dirasionalisasikan seolah-olah kedua variable itu memiliki hubungan dan hubungannya pun signifikan dan simetris; Menolak project multiyears sama dengan mendukung pemekaran provinsi dan mendukung project multiyears sama dengan menolak pemekaran propinsi.
“Padahal hubungannya tidak seperti itu. Hubungan yang muncul ke permukaan adalah pseudo causality (hubungan yang terkesan saling mempengaruhi padahal ia semu),” ujarnya.
Menurut Fajran, benang merah yang bisa ditarik dari hubungan antara Multiyears Project dan agenda pemekaran itu relatif nihil dan rasionalisasi saja sehingga terlihat signifikan. Multiyears adalah kepentingan pemodal dan pebisnis. Merekalah yang akan menikmati keuntungan langsung dari project multiyears tersebut, selain dampak-dampak minimalis yang mengalir kepada rakyat Aceh. Konon lagi dipaksakan implementasinya dalam kondisi yang cacat prosedur.
“Ringkasnya, dulu ada pertemuan antara diskriminasi sosial dan aktualisasi sumber daya manusia dengan agenda politik maka lahirlah tuntutan pemekaran ALA-ABAS, basisnya ya diskriminasi. Hari ini yang muncul adalah pertemuan antara realisasi project-project fisik berskala raksasa dengan agenda politik, basisnya ya pragmatisme,” katanya.
“Lalu pertanyaannya, dimana posisi pemerintah hari ini. Bila dulu barisan Eksekutif dan Legislatif berada di satu lini menghambat isu pemekaran, namun hari ini boleh jadi, Eksekutif dan Legislatif tidak lagi berada di barisan yang sama karena kepentingan mereka sudah berbeda, kursi tempat mereka duduk sudah dibatasi oleh Meja Multiyears yang menyajikan aneka ragam menu-menu menggiurkan,” sambung Fajran.
Aceh Institute sendiri menilai bahwa munculnya isu pemekaran ini adalah dampak dari perdebatan terkait multiyears project yang tidak usai. Karena itu pihaknya berharap kepada semua pihak, politisi dan tokoh di level provinsi dan daerah, untuk tidak mempolitisasi masalah pemekaran provinsi itu.
“Bila persoalannya berada pada isu multiyears maka solusinya mestinya lebih difokuskan pada isu multiyears itu saja, dan tidak perlu ditarik-tarik ke wilayah desakan pemekaran provinsi,” harap Fajran.
Lanjutnya, saat ini Aceh sudah memiliki banyak pekerjaan rumah seperti (1) angka keterpaparan Covid-19 yang tidak terkendali sementara pemerintah tidak memiliki skenario yang komprehensif, (2) angka pengangguran yang tinggi yang diperburuk dengan dibukanya kran-kran aktualisasi kerja kepada pekerja asing (TKA) dimana pemerintah juga tidak memiliki skenario penguatan dan pemberdayaan SDM lokal, (3) laporan penggunaan dan pengawasan anggaran refocusing yang belum dibuka ke publik, (4) belum termasuk lagi beberapa isu lokal yang berdimensi sosial dan agama.
Pemerintah juga harus mampu memposisikan diri secara objectif di atas semua kepentingan dan aspirasi, bukan ikut-ikutan masuk dalam tarik-menarik hubungan biner yang sedang saling membangun basis argumentasinya.
“Sudahlah, jangan buat Aceh tambah gaduh. Selesaikan PR-PR yang sudah ada di depan mata dan jangan tambah PR-PR lainnya,” pungkas Executive Director The Aceh Institute Fajran Zain.