*(Oleh : Adlil Fajri
Amir, atau lebih dikenal dengan sebutan Yong merupakan seorang pemuda taat beragama dan memiliki tekad yang kuat terhadap pendidikan. Terlahir di desa terpencil di penghujung pulau Sumatera. Amir tinggal bersama ibunya, semenjak ayah dan ibunya berpisah. Meskipun demikian, tak menyurutkan tekad si Amir untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hari demi hari telah ia lalui, hingga tiba saatnya amir berangkat ke kota untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan bermodalkan harga setandan pisang dan sekarung beras yang ia jual kepasar, amir memutuskan untuk berangkat ke kota tujuannya. Sebelum amir berangkat, ia meminta do’a restu kepada ibunda tercinta.
Amir: “Bu, aku minta izin berangkat kekota untuk melanjutkan pendidikanku!” Dengan mata berkaca sang ibupun menjawab: “meski berat bagiku untuk melepaskanmu
pergi, doaku menyertaimu!”
Amir :” terima kasih bu!!”
Ibu amir :” ketika kau sampai kekota tujuan mu, cari lah orang yang bernama Abu.!”
Amir : “ibu, siapa Abu dan dimana aku harus mencarinya?”
Ibu Amir: “Abu adalah ayahmu nak dan dia tinggal dekat dengan kota tujuanmu.!”
Amir :” iya, insyaallah bu. Aku berangkat ya bu!”
Ibu amir : “iya, hati-hati anakku! Dan ini bekal untuk mu di perjalanan!”
Amir :” iya terima kasih, bu!!”
Penasaran berpadu rindu pun mengiringi keberangkatan amir. Setelah, mendengar ucapan sang ibu tentang alamat sang ayah tidak jauh dari kota tujuannya. Sang ayah meninggalkan si amir dan ibunya,saat amir berumur 9 bulan. Wajar saja, kalau ia sangat penasaran akan sosok sang ayah. Sepanjang perjalan si amir membayangkan pertemuannya dengan sang ayah, hingga membuatnya tertidur. Setalah menempuh perjalanan yang panjang, mobil yang di tumpangi amir telah sampai kekota tujuan. Penumpang satu persatu mulai meninggalkan mobil tersebut, hingga menyisakan si amir yang masih tertidur pulas dengan mimpi bertemu sang ayah. Sang kernet mobil membangunkan si amir, karena mobil akan berangkat kembali pulang.
Kernet : bangun anak muda, kita telah sampai ke kota..!
Amir : eehmmmp…si amir pun melanjutkan tidurnya.
Kernet : bangun, kita telah sampai ke kota. mobil ini akan kembali pulang!
Siamir pun bangun dan bertanya : hah, kita dimana pak?
Kernet : di kota.!
Tanpa menunggu lama si Amir pun bergegas meninggalkan mobil tersebut dengan senyum bahagia. Terima kasih pak! Ujar si Amir kepada kernet. Setelah turun dari mobil, waktu shalat dzuhur pun tiba. Amir bergegas menuju mushalla di sekitar terminal untuk melaksanakan shalat dzuhur. Setelah shalat, amir mulai mengarungi setiap sudut kota. dari rumah kerumah mulai ia datangi untuk menanyakan alamat sang ayah. Tujuan awal amir kekota kini berubah, mengingat pesan sang ibu tercinta. Langkah demi langkahpun dilalui si Amir dengan bahagia.
Dalam perjalanannya sampai Amir pada sebuah mesjid dan melaksanakan shalat, karena waktu ashar telah tiba. Selepas shalat ashar, perut Amir pun mulai keroncongan. Ternyata, dia belum makan semenjak sampai ke kota. Sejenak ia beristirahat di mesjid tersebut, sambil menikmati bekal makanan yang ia bawa dari kampung. Meski demikian, pikiran si Amir tak lepas dari sang ayah. Suap demi suap pun mulai memasuki rongga mulut si Amir, sampai nasi tersebut habis tak bersisa.
Setelah menyelesaikan makannya, Amir pun melanjutkan perjalanannya. Sama seperti sebelumnya, Amir mendatangi dari satu rumah ke rumah lainnya. Hingga kaki Amir tak mampu untuk berjalan lagi, Amir pun beristirahat di salah satu rumah yang ia jumpai. Rasa iba dan curiga menjelma di pikiran sang pemilik rumah, tanpa menunggu lama pemilik rumah pun menjumpai si amir dan bertanya :
Pemilik rumah : “gerangan apa yang membawa mu kemari, wahai anak muda?”
“Saya minta izin pak untuk beristirahat sejenak disini.!” Jawab amir dengan nafas
terengah-engah
“Dari mana asal dan hendak menuju kemana, wahai anak muda?” lanjut pemilik rumah
menanyai amir
Amir : “Saya dari desa, kesini hendak mencari alamat ayah saya!”
“Siapa nama mu ? dan siapa nama ayahmu, anak muda?” pemilik rumah menanyai amir lagi
“Saya Amir pak, dan bapak saya bernama Abu!” Jawab amir sambil menghela nafas
Mendengar ungkapan amir, membuat pemilik rumah tersentak. “ Abu adalah abang saya, berarti kamu keponakan saya” silahkan masuk amir, ujar pemilik rumah sambil merangkul amir.
Meskipun amir telah menemukan sanak famili nya, rasa bahagia belum sepenuhnya dirasakan oleh amir, karena dia belum bertemu dengan sang ayah. Malam itu amir beristirahat diirumah pamannya. Pagi pun menjelang, sambil sarapan amir meluapkan rasa rindunya kepada sang ayah dan ingin segera berjumpa. Mendengar ucapan itu sang paman pun tidak menunggu lama lagi, langsung membawa amir berjumpa ayahnya yang kebetulan tidak jauh dari rumah pamannya.
Setibanya amir dirumah ayahnya, rasa haru pun berpadu dengan rindu yang telah terpendam lama. Amir tak banyak bicara dalam pertemuan tersebut, hanya menangis dipangkuan ayahnya.
Setelah kerinduan amir terobati, ia pun bercerita tentang tujuannya datang ke kota.
“ Ayah, aku datang kemari memiliki niatan hendak menyambung belajar” ujar amir kepada sang ayah.
“jika itu niatanmu, ayah sangat menyetujuinya. Tapi ayah tidak ada uang untuk membiayai pendidikanmu” jawab ayah amir.
“ amir hanya meminta izin ayah, soal biaya amir bisa kerja” saut amir.
“ ayah bisa memasukkanmu ke sekolah yang kau mau,mir” kata ayahnya.
“ tapi kau harus tinggal di panti asuhan dan katakan pada mereka kalau kamu sudah tidak memiliki bapak lagi” lanjut ayah amir menjelaskan.
Mendengar ucapan sang ayah amir terpaku diam. amir tidak menyangka sang ayah akan mengeluarkan kata-kata yang meremukkan harapan amir.
Dengan hati kecewa amir menjawab “ kalau itu yang ayah maksud, tidak perlu yah” lanjut amir “ saya akan mengusahakan sendiri”.
Setelah percakapan tersebut, amir pun berangkat ke tujuan awal nya untuk melanjutkan pendidikan. Meski hati kecewa, tidak mengurangi tekad amir untuk melanjutkan pendidikan. Malahan, amir lebih terpacu untuk meyelesaikan pendidikannya. Dari mengais segumpal tanah hingga kuli pangkul pun amir jalani untuk memenuhi biaya kuliahnya. Selama 10 tahun lamanya jatuh bangun dalam perkuliahan, membuat amir hampir putus asa. Namun, amir teringat akan ucapannya kepada sang ibu tentang melanjutkan pendidikan, membangkitkan kembali semangat amir yang telah memudar. Karena niat amir yang kuat dan tulus untuk menyelesaikan pendidikan. Tuhan pun melapangkan jalannya, melalui seorang dosen untuk membantu membiayai kuliahnya sebanyak 4 semester yang belum dibayarkan hingga amir mendapatkan gelar serjananya dan menghadiahkan ijazah tersebut kepada ibunya selepas ia pulang ke kampung halamannya.
Penulis adalah Seorang Pendidik)*