Analisaaceh.com, Banda Aceh | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai proyek Green Ammonia Initiative from Aceh (GAIA) yang hendak dijalankan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) bersama ITOCHU Corporation dan Toyo Engineering bukanlah langkah menuju transisi energi bersih, melainkan bentuk greenwashing yang memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil.
Proyek GAIA, yang ditandatangani pada Pertemuan Tingkat Menteri Asia Zero Emission Community (AZEC) di Jakarta pada Agustus 2024, diklaim memproduksi amonia hijau melalui teknologi elektrolisis air di pabrik PT PIM, Aceh Utara. Namun, WALHI menilai klaim tersebut menyesatkan karena listrik yang digunakan berasal dari jaringan PLN yang didominasi pembangkit berbahan bakar fosil.
Berdasarkan data Statistik Ketenagalistrikan 2023 dari Kementerian ESDM, 98 persen kapasitas pembangkit di Aceh dan 80 persen di Sumatera masih bergantung pada energi fosil. Artinya, rencana amonia yang diproduksi GAIA bukan sepenuhnya hijau, karena mayoritas masih menggunakan energi fosil.
“Di atas kertas, GAIA disebut menggunakan energi terbarukan dari PLN melalui sertifikat Renewable Energy Certificate (REC), tapi kenyataannya sumber energy yang dihasilkan oleh PLN masih didominasi batubara dan gas,” kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, Jumat (17/10/2025).
Katanya, proyek tersebut memadukan green hydrogen dari elektrolisis air dengan grey hydrogen hasil pemrosesan gas fosil.
“Klaim amonia hijau tidak berdasar, karena sebagian besar prosesnya tetap menggunakan gas fosil. Alih-alih mengurangi emisi, proyek ini justru bisa meningkatkan konsumsi gas alam,” tegasnya.
Dari sisi sosial, proyek GAIA disebut dijalankan tanpa transparansi dan partisipasi publik yang bermakna. WALHI Aceh mencatat masyarakat di sekitar pabrik PIM di Kecamatan Dewantara tidak mendapatkan informasi memadai tentang dampak lingkungan dan sosial proyek tersebut.
“Ketiadaan konsultasi publik berarti masyarakat kembali ditempatkan sebagai korban kebijakan energi yang elitis dan tertutup,” ujarnya.
Catatan WALHI Aceh juga menunjukkan potensi ancaman keselamatan bagi warga sekitar. Dalam periode 2010–2025, terjadi sembilan kali kebocoran gas amonia di pabrik PIM yang berdampak pada sekitar 2.000 warga di tiga desa. Sebagian korban harus menjalani perawatan intensif akibat sesak napas dan keracunan gas.
“Dengan rekam jejak seperti itu, proyek GAIA berpotensi memperburuk risiko bagi komunitas lokal, kejadian itu kami yakin jauh lebih banyak yang mungkin tidak kami rekam,” tambahnya.
WALHI menilai proyek GAIA bukan solusi iklim, melainkan upaya untuk melanggengkan bisnis berbasis fosil dengan label hijau. Jika transisi energi ingin membawa perubahan sistemik, maka proyek seperti GAIA harus tunduk pada prinsip keadilan ekologis, keterbukaan informasi, dan partisipasi masyarakat.
“Prinsip keadilan ekologis yang kami maksud adalah mengakui bahwa semua makhluk hidup, termasuk manusia, alam, dan generasi mendatang, memiliki hak yang sama atas lingkungan yang adil, sehat, dan berkelanjutan,” tegasnya.
Organisasi lingkungan itu menyerukan agar korporasi, investor, dan lembaga pendanaan, termasuk Japan Bank for International Cooperation (JBIC), menghentikan keterlibatan mereka dalam proyek GAIA.
“Proyek ini adalah bentuk greenwashing yang membahayakan keselamatan komunitas dan memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil,” tutupnya.