Analisaaceh.com, Blangpidie | Wakil Ketua I Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) Tgk Mustiari alias Mus Seudong mendesak pemerintah Aceh untuk mencabut izin PT Lauser Karya Tambang (LKT) karena dinilai tidak menindaklanjuti enam butir hasil kesepakatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRK setempat pada 12 Juni 2025 lalu.
Menurut Politikus Partai Aceh itu, hingga detik ini PT LKT belum satu pun menepati enam butir hasil RDP bersama DPRK Abdya. Atas alasan itulah dirinya meminta kepada pemerintah Aceh agar mencabut izin operasional perusahaan biji besi tersebut.
“Dari enam poin yang telah disepakati, tak ada satu pun yang dijalankan oleh pihak perusahaan. Ini jelas bentuk ketidakseriusan PT LKT dalam menghargai masyarakat dan lembaga daerah,” kata Mustiari yang akrab disapa Mus Seudong kepada wartawan, Selasa (2/9/2025).
Lebih lanjut, sebut Mus Seudong, enam butir kesepakatan yang disusun dalam forum RDP merupakan hasil desakan keras masyarakat Gampong Rukon Damee yang merasa terdampak langsung oleh aktivitas tambang.
Sementara isi kesepakatan itu antara lain, PT LKT bertanggung jawab atas limbah yang mencemari sungai, Penyediaan air bersih serta penggantian tanaman warga yang rusak akibat aktivitas tambang.
Kemudian, Dana CSR diprioritaskan untuk pembangunan Gampong Rukon Damee dan 50 persen tenaga kerja perusahaan diambil dari masyarakat lokal.
Selanjutnya juga disepakati, Perbaikan jalan desa dan penghentian penggunaannya untuk operasional tambang serta Transparansi dan komunikasi rutin antara perusahaan dengan warga.
Namun, menurut DPRK Abdya, semua butir tersebut belum dipenuhi. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan mendalam, baik di kalangan masyarakat maupun lembaga legislatif daerah.
Mus Seudong menegaskan, sikap PT LKT yang mengabaikan kesepakatan tidak bisa lagi ditoleransi. Bahkan, ia mendorong pemerintah provinsi Aceh untuk segera mengambil langkah tegas, termasuk mencabut izin operasional perusahaan.
“Atas dasar itu, saya meminta kepada pemerintah provinsi Aceh agar mencabut izin PT LKT. Dari yang saya lihat, keberadaan tambang ini lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat bagi masyarakat,” tegasnya.
Mus Seudong menilai, alih-alih memberi kesejahteraan, keberadaan tambang justru menimbulkan masalah lingkungan, kerusakan infrastruktur, dan keresahan sosial.
Menurutnya, suara masyarakat harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan keberlangsungan investasi di daerah.
Meski keras menentang sikap PT LKT, Mustiari menegaskan bahwa dirinya maupun DPRK Abdya tidak anti terhadap investor. Baginya, investasi tetap diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, namun dengan catatan perusahaan wajib tunduk pada aturan serta memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar.
“Kami DPRK Abdya tidak anti dengan perusahaan. Tapi kalau ada perusahaan yang membandel dan mengabaikan masyarakat, sebaiknya hengkang saja dari Abdya,” ungkapnya.
Masyarakat Gampong Rukon Damee yang selama ini menolak aktivitas tambang menyambut baik pernyataan tegas DPRK Abdya.
Menurut tokoh pemuda setempat, keluhan mereka sudah berulang kali disampaikan, baik kepada perusahaan maupun pemerintah, namun tidak pernah ditanggapi serius.
“Air sungai yang dulunya bersih, sekarang keruh dan tak bisa lagi digunakan. Tanaman kami juga banyak yang rusak. Perusahaan seakan tidak peduli,” kata salah seorang warga yang enggan disebut namanya.
Warga juga menyoroti minimnya lapangan kerja yang diberikan kepada pemuda lokal. Menurut mereka, janji merekrut tenaga kerja dari masyarakat sekitar hanyalah omong kosong belaka.
Selain DPRK, masyarakat juga mendesak pemerintah kabupaten maupun provinsi untuk tidak tinggal diam.
Mereka menilai, peran pemerintah sangat penting dalam memastikan setiap perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh benar-benar mematuhi aturan dan menjaga lingkungan.
“Kami butuh kehadiran pemerintah sebagai pelindung masyarakat. Jangan sampai rakyat kecil dibiarkan berhadapan sendiri dengan perusahaan besar,” kata seorang tokoh masyarakat.
Persoalan tambang dan dampaknya terhadap lingkungan bukanlah hal baru di Aceh. Banyak daerah menghadapi konflik serupa, di mana perusahaan tambang dituding mengabaikan kewajiban sosial dan lingkungan.
Kasus PT LKT di Abdya menjadi salah satu potret nyata betapa rentannya masyarakat menghadapi aktivitas tambang tanpa pengawasan ketat.
Aktivis lingkungan juga menilai, pencemaran sungai dan kerusakan lahan akibat aktivitas tambang harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperketat regulasi.
Menurut mereka, jika dibiarkan, kerugian jangka panjang jauh lebih besar dibanding keuntungan ekonomi yang didapat dalam waktu singkat.
Warga Abdya berharap agar pernyataan keras dari DPRK tidak hanya berhenti pada retorika politik, melainkan benar-benar diikuti dengan langkah nyata.
Mereka ingin pemerintah segera mengevaluasi izin PT LKT dan mengutamakan keselamatan serta kesejahteraan masyarakat.
“Kami tidak ingin tanah dan air kami hancur karena tambang. Kalau perusahaan tidak peduli dengan rakyat, lebih baik ditutup saja,” tegas salah seorang warga Rukon Damee.
Kritik Wakil Ketua I DPRK Abdya, Tgk Mustiari, terhadap PT LKT menegaskan kembali pentingnya komitmen perusahaan dalam menjaga lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Enam butir kesepakatan yang diabaikan perusahaan menjadi bukti lemahnya tanggung jawab sosial PT LKT.
Kini, bola panas berada di tangan pemerintah provinsi Aceh. Apakah izin PT LKT akan dievaluasi bahkan dicabut, atau justru dibiarkan beroperasi meski ditentang masyarakat.
Jawaban atas pertanyaan itu akan menjadi tolok ukur sejauh mana pemerintah berpihak pada rakyatnya sendiri.