Keluarga mengingatkan, walaupun fisik jauh berjarak memisahkan. Keluarga adalah pusaran besar kehidupan, punya segala potensi berharga yang tak dimiliki komunitas apapun jua di dunia ini. Kehangatan hubungan di dalamnya mampu meleburkan nafsu angkara. Hubungan emosional yang melekat di dalamnya bisa membangkitkan gairah peduli salih asih dan asuh dengan sesama. Semuanya bisa ada dan bisa terwujud dalam keluarga.
Keluarga dengan segala potensi peran dan penting posisinya sudah lama sekali dirasa jauh sebelum kita. Ambillah contoh dari para Nabi dan Rasul serta orang-orang shalih sebelum kita. Tersebutlah, seorang Ulama bernama Sufyan Ats-Tsauri. Bernama lengkap Sufyan bin Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’ bin Abdillah, dan dipanggil pula dengan sebutan Abu Abdillah Ats-Tsauri. Lahir di Kufah pada tahun 96 H atau yang bertepatan dengan tahun 716 M. Beliau tercatat sebagai adalah salah seorang tokoh ulama di masanya, imam dalam bidang hadits juga bidang keilmuan lainnya, terkenal juga sebagai pribadi yang wara’ atau sangat hati-hati, zuhud, ahli fikih dan dinilai setara dengan para imam fikih yang empat: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Sehingga Ibnu ‘Uyainah memujinya : “Ahli hadits itu ada tiga: Ibnu Abbas pada zamannya, Asy-Sya’bi pada zamannya, dan Ats-Tsauri pada zamannya.”
Suatu ketika, saat musim Haji. Tepatnya pada Mesjidil Haram, ketika Imam Sufyan Ats Tsauri hendak memulai pengajiannya yang sudah menunggunya tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang menghampirinya sehingga menghentikan pengajian tersebut. Laki-laki itu adalah Muhammad bin Isham, sahabat Imam Sufyan Ats Tsauri yang berasal dari Kuffah kampung halamannya.
Imam Sufyan Ats Tsauri langsung menyambutnya sembari bertanya tentang kabar keluarga yang ditinggalkannya di Kufah. Sampai akhirnya Muhammad bin Isham menyampaikan pesan dan salam rindu dari anaknya. Seketika Imam Ats Tsauri menghentikan pengajiannya. Langsung menuju Ka’bah melakukan tawaf wada’ dan mengucapkan salam perpisahan. Imam Ats Tsauri langsung menghampiri sahabatnya Muhammad bin Isham sambil berpesan, “Sampaikan pada orang- orang, hari ini saya tidak bisa mengajar.” Lalu Isham bertanya, “Hendak kemana wahai Imam?” Saya akan pulang ke Kufah, Engkau datang membawa pesan yang wajib segera saya tunaikan yaitu pula g menemui anakku. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang berbakti itu berbuat baik kepada orangtua dan berbuat baik pada anak-anaknya.” Jawab Imam Sufyan Ats Tsauri dengan tegas dan ringan
Kerinduan Imam Ats Tsauri telah menyentuh hati dan menyentakkan kesadarannya akan ingatan kepada keluarga. Maka berbahagialah orang yang masih memiliki keluarga. Dan sungguh berharga orang yang masih memiliki ingatan kuat akan keluarganya.
Kerinduan akan keluarga itu jugalah yang mengetuk hati Nabi Nuh Alaihi salam agar lisannya bermohon hidayah serta ampunan Allah terhadap anaknya. “Wahai anakku, Naiklah keatas kapal bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir. ” (Q.S. Hud : 42).
Ketika Nabi Nuh ‘alaihi salam sedang dikuasai oleh rasa sayang kepada sang anak, kemudian beliau pun menyeru kepada Rabb–Nya,
رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
“Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji–Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah seadil-adil Hakim.” (QS. Huud [11]: 45).
Ada keinginan bersama dalam bait do’a agar dekapan hidayah merengkuh bagian keluarganya. Pesan mendalam dari seorang Nabi Nuh dalam dialog bersama anaknya. Ada tanggung jawab yang diembannya dan lakonan penting yang diperankannya sebagai Nabi sekaligus seorang ayah dari anaknya.
Lihatlah pula kisah Nabi Ibrahim ‘alaihi salam yang berupaya sungguh-sungguh menasihati ayahandanya, agar hidayah menyekapnya.
يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Wahai ayahandaku, mengapa Engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai ayahandaku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahandaku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai ayahandaku, sesungguhnya aku khawatir Engkau akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga Engkau menjadi teman setan.” (QS. Maryam : 42-45).
Apa jawaban sang ayah ketika sang anak memohon ta’dzim dengan mengatakan, “Wahai ayahanda … Wahai ayahandaku … Wahai ayahandaku… Wahai Ayahandaku dan Wahai ayahanda … ??
Ternyata sang ayah menolak keras lagi enggan mengikuti ajakan hidayah sang anak dan bahkan membentak anaknya,
أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آَلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
“Bencikah Engkau kepada sesembahan-sesembahanku, wahai Ibrahim? Jika Engkau tidak berhenti, maka niscaya Engkau akan kurajam, dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.” (QS. Maryam : 46).
Ingatlah ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersungguh-sungguh agar sang paman yaitu Abu Thalib mau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah menjelang kematiannya. Dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Al Musayyab, berkata: ‘Tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas mendatanginya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai, pamanku. Ucapkanlah la ilaha illallah; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu di hadapan Allah,’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulangi sabdanya. Namun tak kunjung ada jawaban dari pamannya. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”. Lalu Allah menurunkan firmanNya:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu sayangi, tetapi Allah–lah yang memberi hidayah taufik kepada orang yang dikehendaki Nya. Allah lebih mengetahui orang-orang yang layak menerima hidayah taufik.” (QS. Al–Qashash :56).
Di dalam keluarga ada kekuatan besar tersimpan menjaga dan menjamin keberlangsungan ritme kehidupan manusia. Cinta dan kasih sayang merupakan energi yang mampu membangkitkan kegigihan kemauan dan daya tahan terhadap goncangan. Cinta dan kasih sayang juga ada di dalam keluarga. Keluarga adalah ruang paling terbuka dan aman untuk kita berkeluh kesah serta bermanja. Setiap masalah sekalipun berat lagi rumit, mampu diringankan bahkan dihilangkan berganti dengan solusi kebahagiaan. Kita sangat butuh akan keluarga.
Pusaran besar kehidupan itu dapat memberikan kita sesuatu yang tidak dapat diperoleh dari siapapun jua. Keluarga itu adalah orang-orang yang menyeka air mata kita ketika menangis. Disaat orang-orang sibuk mencari dukungan publik dan pembelaan diri, hanya keluarga yang mampu memandang dan menerima kita apa adanya.
Bersyukurlah ketika kita masih punya keluarga. Dan berbahagialah kita mampu menjadi tulang punggung keluarga. Sebab, dari setiap lelah yang dirasa, disana ada balasan mulia berupa surga. Jaga dan rawatlah pusaran besar kehidupan kita.