Analisaaceh.com, Banda Aceh | Analis Politik Senior pada lembaga The Aceh Institute (AI), Fajran Zain, memberikan pandangan terkait Perdamaian Aceh yang sudah berusia 14 tahun. Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI) yang berlangsung selama 29 tahun berakhir di meja perundingan di Kota Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Nota kesepahaman ini lalu dikenal dengan MoU Helsinki.
Meski usia damai telah melewati satu dekade, namun permasalahan pasca-konflik belum selesai. Banyak korban konflik Aceh yang belum tersentuh. Begitu juga dengan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), yang sebahagian isi pasalnya tidak sinkron dengan muatan MoU Helsinki, sehingga perlu direvisi dengan membuang poin-poin yang sudah tidak relevan lagi.
Berikut petikan wawancara oleh pewarta Riza Asmadi dari analisaaceh.com bersama Fajran Zain di Banda Aceh, Kamis (15/8/2019).
14 tahun Perdamaian Aceh, apa pandangan Bapak terhadap proses perdamaian selama ini? Sesuai harapan kah?
Sebenarnya begini, patokan kita adalah MoU Helsinki, kemudian MoU diterjemahkan kedalam UUPA, UUPA itu membutuhkan beberapa regulasi-regulasi turunan, ada Qanun disana, ada Perpres disana, ada PP dan ada Qanun Kabupaten/Kota. Semua produk turunan tersebut apakah sudah ditunaikan? Kita harus jeli dalam melihat, ada beberapa hal yang memang harus ditunaikan oleh Pemerintah Aceh dan apa pula yang harus dilunasi oleh Pemerintah Pusat. Relatif sekali dalam penilaian sebenarnya.Kalau bicara regulasi relative sudah hampir semuanya sudah ada. Hanya persoalannya apakah secara kualitas semua regulasi itu merupakan refleksi totalitas kerja untuk perdamaian?
Misalnya, MoU mengatakan soal bagi-bagi lahan, realitanya dari tahun ke tahun masalah ini tidak tuntas, malahan isu ini baru-baru ini diangkat lagi dalam media yang menulis BRA bagi-bagi lahan untuk korban konflik.
Yang paling menarik lagi adalah soal KKR, dan HAM misalnya, yang jelas dan nyata tertuang dalam MoU Helsinki, butir 2.2 dan 2.3, tetapi butir tersebut tidak pernah terealiasi. Walaupun KKR saat ini sedang bekerja, apakah pemerintah peduli?
Tapi secara umum upaya-upaya pemerintah untuk mendorong lahirnya perdamaian berkelanjutan di Aceh sudah okeylah. Hanya saja ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar semuanya selesai dengan tuntas.
Kemudian perdamaian di Aceh apakah mampu menjawab persoalan hak-hak masyarakat korban konflik? Hak-hak mantan kombatan?
Perdamain Aceh itu masih meninggalkan pekerjaan rumah terkait dengan pemenuhan hak-hak korban konflik, yang menjadi PR kita hari ini adalah bagaimana memenuhkan kebutuhan korban konflik. Terbentuknya KKR sebenarnya bisa kita jadikan sebagai pintu masuk, tapi sayangnya KKR tidak mendapat dukungan politik, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah Aceh. Upaya ke arah sana itu tersendat-sendat.
Padahal sebenarnya pemenuhan hak-hak korban konflik ini krusial. Kenapa kursial, karena yang membuat DI/TII dan RI berdamai pada tahun 1962 adalah adanya kesepakatan yang tertuang dalam Ikrar Lamteh. SayangnyaIkrar Lamteh hanya mengatur hak-hak petempur, hak kombatan DI/TII, dan TNI/POLRI baik itu promosi atau pemulihan nama baik, sehingga sebagian ada yang mendapatkan kompensasi,baik menjadi PNS, pengusaha, petani dan sebagainya. Tapi tidak ada satu klausul pun yang berbicara tentang hak-hak korban konflik.
Nah, yang membuat MoU Helsinki ini berbeda dengan Ikrar Lamteh dan bernilai lebih maju adalah karena disana tercantum dengan jelas upaya-upaya pemenuhan hak-hak korban konflik. Hanya saja dalam prakteknya itu upaya pemenuhan itu tidak terjadi, dan apa kondisi buruk yang berpotensi terjadi adalah munculnya gerakan perlawanan baru. Munculnya GAM pada tahun 1976, atau 14 tahun setelah Ikrar Lamtehadalah karena anak-anak korban konflik tidak mendapat perhatian, kemudian mereka lah yang menjadi bara atau tulang punggung (backbone) bagi GAM. Dan kalau hari ini kita mengulang kesalahan yang sama sepeti Ikrar Lamteh, artinya kita sedang menyediakan api bagi munculnya gerakan perlawanan yang baru.
Perdamain Aceh melahirkan MoU dan disempurnakan melalui UUPA, dan banyak para pihak menyerukan perlunya revisi UUPA sesuai MoU Helsinki, apakah Bapak sepakat dengan ide revisi tersebut?
Sah-sah saja. Faktanya ada beberapa poin dari UUPA itu yang sudah tidak relevan lagi, kemudian ada beberapa poin yang perlu dipertajam.
Dulu naskah akademik UUPA itu dibuat oleh tiga Tim: Tim UIN, Tim UNSYIAH dan Tim UNIMAL lalu unsur dari masyarakat sipil mencoba menerjemahkan isinya, kemudian terjadi dialektika, lalu ada penambahan dan pengurangan disana sini. Lalu apa yang terjadi? Tafsir MoU dalam UUPA itu kurang pas, banyak yg dikurangi.
Kenapa perlu di revisi? Paling tidak mereview kembali mana bagian-bagian yang tidak sinkron dengan MoU sehingga perlu direvisi dan membuang poin-poin yang tidak penting.
Apa tawaran Bapak kepada para pihak, pemerintah, legislatif, partai politik nasional, maupun lokal untuk menjaga perdamaian Aceh?
Pemerintah Aceh mestinya memiliki satu tim yang melakukan pemantauan realisasi UUPA atau MoU, dulu saya tahu pemerintahsudah membentuk tim. Hanya saja sejauh mana tim itu sudah bekerja, kita tidak mendengar ada evaluasi lagi. Apakah perlu disegarkan lagi tim tersebut, yang tugasnya day to day melihat mana poin-poin MoU itu yang perlu mendapat perhatian.
Contoh sekarang ini KKR, sudah jelas itu. KKR butuh perhatian, anggarannya minim, kinerjanya juga tidak mendapat dukungan maksimal dari pemerintah. Padahal keberadaan KKR itu tertuang dalam UUPA dan MoU.
Data yang mereka ambil itu hampir 2000-an lalu diserahkan kepada Pemerintah dalam bentuk rekomendasi bantuan untuk korban konflik. Pertanyaannya adalah apakah data tersebut digunakan oleh pemerintah? apakah dijadikan rujukan? Apakah korban konflik mendapat prioritas bantuan dalam periode anggaran tahun depan? Ini yang tidak terlihat. Ya itu, data yang sudah ada tidak digunakan. KKR itu kan instrumen negara, resmi dia, bukan LSM, itupun tidak mendapatkan perhatian, kan parah!
Menurut Bapak pentingkah bendera itu?
Sebenarnya masalah bendera itu relatif tidak bisa kita selesaikan dengan baik. Maksudnya begini, dalam MoU disebutkan bahwa bendera itu harusnya tidak menyerupai lambang saparatisme. Kalau kita mau sedikit mengalah,untuk bendera Aceh, ya pakai saja bendera yang pernah dipakai oleh Pemerintahan Sultan Iskandar Muda dulu.
Kalau dipaksakan bendera Aceh itu harus mirip dengan bendera Partai Aceh, maka ini yang menjadi persoalan bagi pemerintah pusat. Dari dulu pusat menolak, dari tahun 2009 sudah ditolak Mendagri, dipaksakan juga, dinegosiasikan lagi dan lagi, sampai akhirnya pada tahun 2014 sudah ada keputusan dari Mendagri bahwa bendera itu tetap tidak disetujui. Karena pada waktu itu pertemuannya tertutup, dan pihak pemerintah Aceh yang hadir disana pun tidak mempublikasikan hasil pertemuan, maka masyarakat tidak tahu. Sayangnya rakyat masih berharap bahwabendera bulan bintang tetap berkibar.
Kita juga lupa, bahwa kadang-kadang isu bendera ini dijadikan permainan politik dan bola panas setiap menjelang pemilu. Kondisi hari ini kalaupun kita paksakan,maka tetap mentok dalam frame regulasi pemerintah pusat.
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Sebanyak lima ruko tempat usaha di Gampong Lambheu, Simpang Lampu Merah…
Analisaaceh.com, Tapaktuan | Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Fraksi Partai Aceh (PA), T.…
Analisaaceh.com, Lhokseumawe | Komisi Independen Pemilihan (KIP) Lhokseumawe sukses menyelenggarakan debat kedua calon Wali Kota…
Analisaaceh.com, Lhokseumawe | Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Aceh bekerja sama dengan Development for…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Panitia Pengawasan Pemilihan Aceh (Panwaslih) Aceh memetakan potensi Tempat Pemungutan Suara…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa…
Komentar