Categories: Artikel

Ripperologi dan Gertakan Pria Buta yang Dibopong Hukum Tumpul

Pada tahun-tahun kelam, di mana kebebasan di bui, kemiskinan meraja, kesaksian diragukan. Banyak jejak sejarah yang malas untuk dibuka karena hanyalah seonggok sejarah.

Sudahlah kelam namun malah ditenggelamkan dalam gelapnya pusaran nasib, sampai ketika dijangkiti, malah dipaksa untuk menutup mulut dan telinga. Intinya diam saja.

Sejarah inilah yang membuat sebagian manusia enggan untuk banyak bicara, karena berbicara adalah kegiatan berbahaya, dapat mengancam nyawa dan akhirnya ‘dihilangkan’. Bila sekarang masih berumur, selamatlah ia.

Sejarah yang dimaksud adalah sejarah berdarah, panjang dan tidak ada titik temu, sebut saja Ripperologi. Peristiwa yang pernah dibopong hukum nan tumpul.

Hingga sampai bumi bergetar menakut-nakuti, yang melakoni sejarah-sejarah panjang ini masih bebas dalam jerat keadilan. Bagaimana bisa? Masih menjadi pertanyaan.

Mari buka kisah lama yang terkenal, jauh sebelum kamu dan aku mengenal Corona, atau sebelum terbongkarnya kasus panjang Kopi Sianida.

Tahun 1888 pernah terjadi aksi pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang yang diberi julukan Jack The Ripper atau Jack Sang Pencabik, Pembunuh berantai tak dikenal.

Istilah Ripperologi kemudian lahir setelah serangkaian kasus pembunuhan dari 3 April hingga 13 Februari 1891 tersebut belum juga terungkap.

Banyak spekulasi namun tiada hasil. Kajian dan analisis dibuka lebar-lebar tetap saja nihil, kasus pun hanya tinggal kasus, membuat warga marah karena ketidakbecusan kepolisian.

Ketidakbecusan ini tergambar dalam kartun Punch, The Blind-Mans Buff karya John Tennil. Menggambarkan seorang aparat yang matanya ditutup dengan kain, berjalan tanpa mengetahui bahwa ada pembunuh di dekatnya.

Memang bukan kasus pembunuhan pertama di London, tetapi julukan Jack The Ripper si pembunuh berantai itupun sampai terkenal di Indonesia dan (mungkin saja) karya John Tennil tersebut juga cocok menggambarkannya.

Bukan karena kisah ini sampai ke telinga orang Indonesia, tetapi karena banyaknya Ripper versi Indonesia yang membuat istilah Ripperologi ini semakin lengket tidak mau lepas.

Orang-orang yang dihilangkan juga orang-orang yang unik, dan (lagi-lagi hanya kemungkinan) akan ada satu orang unik dalam seratus tahun yang berani menyampaikan kebenaran.

Bedanya Jack sang pencabik versi London membunuh dengan tujuan seperti pembedahan, Namun versi Indonesia karena orang-orang ini agak mengganggu.

Ambil saja kasus Munir seorang aktivis HAM yang tewas di langit Rumania karena racun arsenik pada tahun 2004 atau kasus Udin Wartawan Bernas yang 24 tahun masih gelap. Kedua korban dari Jack the Ripper ini adalah orang unik yang berani menegakkan hak dan keadilan dan berani mengungkapkan fakta.

Sebab karena berani membela, sebab karena berani berbicara lewat tulisan, mereka dihilangkan.

Ada pula Marsinah, seorang aktivis buruh PT. Catur Putera Surya yang ditemukan tidak bernyawa karena memperjuangkan hak para buruh. Atau kasus penembakan mahasiswa 12 Mei yang terkenal. Kedua-duanya belum terungkap, masih saja dengan asumsi-asumsi tak berdasar. Bukan mengungkap fakta, malah dikubur dalam-dalam.

Tahun 1983 jauh sebelum kasus Munir terjadi, kasus Petrus atau penembakan misterius yang menewaskan sebanyak 2.000 masyarakat Indonesia menjadi pro dan kontra di kalangan hukum, politisi dan yang mempunyai kekuasaan.

Atau yang paling dekat sajalah, kasus pelanggaran HAM berat di Aceh yang sampai sekarang Ripperologi-nya masih terus berlanjut, tidak ada titik temu dan tersangka, konflik berdarah-darah dan berlangsung lama, ditumpas dan tertumpas. Sampai hari ini masih menyisakan luka, menimbulkan korban fisik dan batin.

Tidak tahu siapa pembunuh dan apa motifnya, pergantian Orde ke Reformasi, ribuan dalih, dan buka-tutup kasus semakin membuat harapan hanya menjadi sebuah harapan.

Jack The Ripper betah berkelana tahun demi tahun dan Ripperologi tetaplah menjadi istilah. Seperti gambar seorang yang buta hanya menggertak tanpa melakukan apapun membiarkan Jack Sang pencabik kembali beraksi.

Editor : Nafrizal
Rubrik : Artikel
Redaksi

Editor Analisaaceh.com

Komentar

Recent Posts

Dinas Kesehatan Pidie Terapkan Langkah Efektif untuk Program Imunisasi

Analisaaceh.com, Pidie – Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie terus berupaya memastikan efektivitas program imunisasi di wilayahnya…

16 jam ago

Mantan Pj Bupati: Safaruddin Siap Pimpin, Momentum Bangun Abdya

Analisaaceh.com, Banda Aceh | Calon Bupati Aceh Barat Daya, Safaruddin, menggelar silaturahmi dengan masyarakat dan…

16 jam ago

Kasus PD3I di Pidie Turun Menjadi 372 pada 2023-2024

Analisaaceh.com, Pidie | Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie melaporkan adanya penurunan signifikan kasus Penyakit yang Dapat…

17 jam ago

Dua Rumah di Kota Langsa Terbakar

Analisaaceh.com, Langsa | Dua unit rumah di Dusun PJKA, Gampong Paya Bujok Blang Paseh, Kecamatan…

1 hari ago

BKPSDM Abdya: Pemda Tidak Boleh Rekrut Tenaga Non-ASN

Analisaaceh.com, Blangpidie | Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Aceh Barat Daya…

2 hari ago

CCDE Bantu Sepeda untuk Dua Siswi MAN 4 Aceh Selatan

Analisaaceh.com, Tapaktuan | Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh menyerahkan dua…

2 hari ago