ANALISAACEH.COM, Jakarta | Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan akan menggelar Rakernas I di Jiexpo Kemayoran Jakarta pada Jum’at-Minggu (10-12/01/2020).
Rakernas tersebut sekaligus menyambut ulang tahun partai yang ke 47 yang mengusung tema “Strategi Jalur Rempah Dalam Lima Prioritas Jalur Strategi Nasional Untuk Mewujudkan Indonesia Berdikari”.
Dengan tema tersebut, DPD PDI Perjuangan Aceh memandang diangkatnya persoalan komoditi rempah dalam Rakernas merupakan bentuk dari sense of crisis and sense of belonging terhadap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
“Dari berbagai literatur ditemukan bahwa sejarah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perdagangan rempah, di mana produk rempah Indonesia diperdagangkan di Jalur Sutera hingga jalur Dupa Romawi atau Hindustan hingga Afrika Timur Ethiopia sekitar abad 5 SM hingga abad 11 Masehi yang dikenal dengan kekuasaan Laut Merah,” ujar Ketua DPD PDI Perjuangan Aceh, Muslahuddin Daud, Selasa (7/01/2020).
Namun di sisi lain, kini tren ekspor Indonesia dari hari ke hari mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari hingga September 2018, ekspor rempah belum menunjukkan kinerja yang apik. Tanaman obat, aromatik, dan rempah, misalnya mencatat penurunan ekspor sebesar 10,34% menjadi US$ 440,13, dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 490,88 juta.
Demikian halnya dengan lada hitam, dimana kinerja ekspornya anjlok hingga 59,22% dari US$ 74,40 juta menjadi US$ 30,34 juta dan lada putih yang turun 30,56% dari US$ 99,49 juta menjadi US$ 69,09 juta. Kenaikan hanya terjadi pada komoditas cengkeh yang meningkat 85,27% dari US$ 21,53 juta menjadi US$ 39,89 juta. (sumber katadata.co.id).
Muslahuddin Daud yang juga praktisi pertanian memandang bahwa penurunan produksi rempah diakibatkan oleh terjadinya perubahan iklim, di mana naiknya suhu bumi mencapai 2 °C berdampak besar pada siklus produksi tanaman pangan dan rempah.
“Tercatat banyak perusahaan produsen rempah mengalami kerugian seperti PTPN 12, Kalla Cocoa Industri, PT. Hasfarm, Mars Inc. Amerika untuk tanaman Kakao, PT Zanzibar untuk tanaman cengkeh,” jelasnya.
Lebih rinci Muslahuddin Daud menjelaskan, efek dari perubahan iklim yang mengutip pada penelitian Tropical Agriculture Center, bahwa tanaman mengalami malnutrisi. Dalam hal ini yang dimaksud adalah malnutrisi fisiologis bukan Malnutrisi fisik. Meskipun nutrisinya ada, tapi tidak dapat dicerna oleh tanaman akibat perubahan suhu sehingga tanaman akan berproduksi minim dan bahkan secara perlahan akan mati.
“Untuk tanaman hortikultur biasanya mengalami persoalan Wilting Fisiologis yang berujung pada hasil produksi yang matang prematur. Kondisi ini tidak mengherankan banyak data soal produksi komoditi yang dipublikasi tidak sesuai dengan kenyataan,” ungkap mantan Konsultan Bank Dunia ini.
Muslahuddin Daud memandang bahwa kata kunci “Riset” dalam RAKERNAS sangat tepat, karena risetlah kemudian yang akan menjawab persoalan perubahan dinamika dunia pertanaman. Hasil riset kemudian harus disahuti oleh kebijakan politik untuk merubah nomenklatur Good Agriculture Practices (GAP) yang sesuai dengan kebututuhan perubahan iklim.
Berdasarkan pengalaman lapangan Muslahuddin Daud dan peneliti Senior TAC, DR. Herman Maulana, bahwa persoalan perubahan iklim dapat diantisipasi dengan konsep “Rekayasa Fisiologis”, di mana Rekayasa ini akan memanipulasi tanaman akan mampu bertahan terhadap terkanan rasa sakit dan perubahan lingkungan.
“Dengan memanipulasi Biokimia tanaman, sifat keterbatasannya terhadap lingkungan termasuk panas akan berubah jadi tanaman tahan terhadap suhu yang lebih tinggi. Namun demikian semua metohodologi ini perlu diikuti oleh supply nutrisi yang cukup jumlahnya dan seimbang antara satu elemen dengan elemen yang lain,” terangnya.
Selain itu, perubahan iklim yang berakibat pada Cacat Sel dalam jaringan tanaman akan menimbulkan “Wast Fisiologis”, di mana Wast Fisiologis adalah pemicu “Wilting Fisiologis” yang menimbulkan “Matang Prematur”. Wast Fisiologis harus diselesaikan dalam Sistem Jaringan Sel yang cacat harus diperbaiki didalam jaringan untuk kemudian didaur ulang kembali menjadi sel sehat. Mekanisme penyelesaian persoalan ini dinamakan “Autophagy”.
“Perpaduan antara pengalaman lapangan dan riset ini membuat satu kenyakinan bahwa PDI Perjuangan Aceh memiliki modal yang kuat untuk mendorong kembalinya kejayaan rempah di Aceh dan bahkan seluruh Indonesia. DPD PDI Perjuangan Aceh akan menggunakan seluruh jaringan untuk mengadvokasi agar tujuan besar mengembalikan kejayaan rempah dapat terwujud,” pungkas Muslahuddin.