Siapa Yang Dapat Memajukan Aceh?

Haftar @doc Facebook

*(Oleh : Haftar, S.Pd., M.Pd

Pertanyaan dan juga judul tulisan ini merupakan hasil refleksi dari kegalauan dan keprihatinan penulis, bila mengingat kondisi Aceh mulai dari masa kejayaannya sampai dewasa ini. Dari hari-hari ke hari yang kurang mengalami kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Di mana kehidupan rakyat terus menerus digrogoti penyakit kemiskinan. Maka dari hasil refleksi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa harapan untuk Aceh lebih maju sangat sulit, bahkan cenderung skeptis dan pesimis untuk dapat maju dan keluar dari lingkaran setan kemiskinan.

Kalau Aceh hanya dikelola seperti biasa tanpa ada lompatan besar untuk merubah-nya, maka munculah pertanyaan di atas, “siapa yang dapat memajukan Aceh?”.

Kondisi skeptis tersebut akan terus berputar dari situ ke situ saja, tanpa beranjak dari lingkaran setan yang tidak pernah diputuskan secara konsisten dan konsekwen. Terutama masyarakat yang kehidupannya tergolong miskin dan akan tetap dan terus miskin. Seakan “merek” kehidupan miskin bagi mereka sudah menjadi merek kehidupan yang akrab dengannya. Sehingga mereka tidak lagi merasa bahwa kehidupan mereka tergolong miskin.

Demikian juga pembangunan yang berorientasi pada perbaikan kualitas kehidupan masyarakat, seperti berada di lorong buntu. Bukan tidak ada kebijakan atau terobosan pemerintah daerah maupun pusat dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tapi cenderung dilaksanakan secara cilet-cilet dan tidak mampu mengatasi akar persoalannya. Sehingga terkesan bahwa lingkaran setan ini tidak mampu di-amputasi, baik bergabung atau tidak bergabung dengan NKRI.

Sebab bisa jadi, sadar atau tidak sadar kemiskinan masyarakat Aceh memang sengaja dipelihara untuk diolah dan dimanfaatkan menjelang pesta demokrasi. Sehingga memperkuat kedudukan pemimpin dan lingkaran-nya yang mempermainkan politik uang demi mempertahankan kekuasaannya, yang mengakibatkan Aceh akan sulit untuk maju dan tidak akan pernah akan maju. Mengapa demikian??

Untuk menjawab pertanyaan tersebut. Menurut hemat penulis ada suatu kondisi yang sulit bagi Aceh untuk maju. Sebab beberapa alasan, diantaranya,

  1. Kecenderungan antara pengelola daerah, baik pemerintah daerah tingkat dua maupun provinsi, bersama-sama dengan oknum kontraktor, oknum anggota legislatif dan oknum aparat hukum, yang cenderung memperkaya diri sendiri dengan membuat rekayasa berbagai aturan dan implementasi-nya. Sehingga kue pembangunan hanya dicicipi oleh mereka saja. Sangat sedikit yang dapat dirasakan oleh rakyat banyak, bahkan mereka sangat merasa enjoy dengan kondisi yang ada dan bahkan berusaha untuk mempertahankannya. Apalagi dengan adanya sistem demokrasi kita yang tidak lagi mencerminkan demokrasi Pancasila, tapi pada praktiknya adalah demokrasi uang. Maka sangat sukar dan cenderung mustahil mencari pemimpin yang benar-benar berbuat membela kepentingan rakyat. Tapi lebih cenderung membela dan memperhatikan kelompoknya yang cenderung korup. (Kelompok status quo).
  2. Ada upaya tarik ulur dan menjalin hubungan yang saling menguntungkan antara oknum-oknum di daerah dengan pemerintah pusat terhadap berbagai aspek, baik regulasi maupun terhadap pengelolaan dan pembagian hasil sumber daya alam yang ada di Aceh. Sehingga pemerintah daerah tidak mampu menunjukkan posisi tawar yang kuat terhadap pemerintah pusat, terhadap berbagai regulasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di bumi Aceh. Bahkan rakyat tidak dapat merasakan sendiri keberadaan perusahaan yang ada dibangun di daerahnya, walaupun perusahaan tersebut berada di tanahnya sendiri. Akibatnya pembangunan di Aceh berjalan tersendat-sendat bahkan tidak terlaksana. Bahkan rakyat tersingkir dan hanya sebagai penonton terhadap segala proyek dan janji-janji proyek yang ada. Seperti pembangunan jalan tol, pelabuhan bebas Sabang dan jalur kereta api yang pernah direncanakan masa presiden B.J. Habibie, Gusdur, Megawati, SBY dan Jokowi sampai sekarang tidak jelas wujudnya. Tapi anehnya, baik pemerintah Aceh maupun rakyat Aceh tidak jera- jera dan tetap pasrah serta menerima terhadap politik tipu-tipu dengan janji palsu tersebut, dan itu sudah lama terjadi. Hal ini dimulai dan ditandai dengan tangisan cengeng Sukarno pada Daud Beureueh. (Politik mengambang)
  3. Ada ketidakpercayaan rakyat terhadap pembangunan yang dilaksanakan tersebut untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga rakyat apatis terhadap setiap bantuan atau usaha yang diberikan pemerintah. Oleh sebabnya bantuan atau usaha memajukan rakyat cenderung tidak tepat sasaran dan tidak tepat penggunaan. Misalnya, adanya bantuan bibit ternak pada masyarakat. Maka bisa jadi bantuan itu lenyap di tengah jalan atau masyarakat menjual ternak yang diberikan. (Karakter korup).

Walaupun ketiga alasan tersebut tidak begitu akurat dan perlu adanya data-data yang sahih. Tetapi setidaknya hasil refleksi ini, sedikit banyaknya merupakan faktor yang cenderung menyebabkan Aceh sulit untuk maju. Walaupun Aceh kaya akan sumber daya alam yang semestinya dapat memakmurkan rakyat Aceh sebagaimana yang pernah didengungkan dan pernah digembar-gemborkan oleh pihak-pihak tertentu pada masa konflik dulu. Bahwa Aceh akan makmur kalau dapat lepas dari “penjajahan Jawa.” Sehingga menyebabkan halusinasi masyarakat Aceh pada masa itu begitu menggebu-gebunya ingin merdeka. Mendambakan Aceh akan kembali seperti zaman keemasan dulu dalam bingkai syariat Islam. Sehingga akibat provokasi itu masyarakat begitu termakan dengan angan-angan dan hayalan tersebut. Sampai-sampai ada sebuah pernyataan di kalangan awam, di antaranya adalah “seandainya bendera Aceh sudah disahkan, pasti masyarakat Aceh akan jauh lebih maju dari Brunei Darussalam”.

Tapi apa lacur, sudah lebih dua puluh tahun tuntutan referendum di gembar-gemborkan, dan masyarakat Aceh kembali kepangkuan NKRI. Namun perjalanan roda kehidupan dalam bingkai NKRI, rakyat Aceh kembali terpuruk kehidupannya. Rakyat tetap hidup dalam garis kemiskinan tertinggi di pulau Sumatera.

Lingkaran setan tersebut dapat diatasi menurut hemat penulis, salah satunya yang cukup realistis adalah, apabila rakyat Aceh mampu mewujudkan pemimpin yang tegas dan kreatif memperjuangkan kehidupan rakyat Aceh tanpa adanya politik uang.

Penulis merupakan seorang pendidik dan penulis)*

Komentar
Artikulli paraprakKabar Duka, Ibunda SBY Meninggal Dunia
Artikulli tjetërPernyataan Presma Unsyiah Minta Emas Monas Dikembalikan Menuai Kritikan