Oleh: Nafrizal
Publik Aceh kembali berkerut kening saat website mahkamahagung.go.id melayangkan putusan terhadap Pilot Hanakaru Hokagata, Capt, Drh. Irwandi Yusuf, M.Sc bahwa kasasi Gubernur Aceh nonaktif itu ditolak.
Betapa tidak, penantian panjang putusan sejak operasi tangkap tangan (OTT) oleh Tim Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pendopo Gubernur Aceh pada Selasa 3 Juli 2018 silam harus berakhir pahit bagi orang-orang di sekeliling orang yang akrab disapa Bang Wandi itu. Apalagi keluarganya sendiri, anak-anaknya, Kak Darwati ataupun Steffy Burase yang mungkin harus berkeringat dingin membaca kata per kata yang disuguhi Mahkamah Agung, bahkan mau tak mau harus tabah menerima.
Wajah lelah terlihat jelas di raut sang Captain, yang telah menjalani masa panjang bersama KPK sejak 2018. Bahkan melebihi lama ia menduduki kursi nomor satu di Aceh yang hanya lebih kurang satu tahun di periode ke dua-nya.
Pun, sang pendampingnya Nova Iriansyah, MT jua merasa kesepian, harus menanggung beban kerja sendiri dalam memikul Aceh yang memiliki se gudang kemelut. Pasangan yang telah memenangi hati 2,4 juta rakyat Aceh masa itu setidaknya telah merebut kantor yang berada di Jalan T. Nyak Arief, Jeulingke dari 5 pasangan Cagub-Cawagub lainnya dengan mengantongi hampir 900 ribu suara. Aceh Hebat mesti harus terbang, maka mau tak mau Bapak Arsitektur (red-Nova) yang merupakan co Pilot harus menjadi Pilot sendirian untuk menerbangkan Aceh Hebat.
Bagi masyarakat Aceh, Bang Wandi merupakan seorang visioner, meskipun juga tidak sedikit yang kontra terhadap dirinya. Tetapi ia membuktikan bahwa dapat menukangi Aceh dua kali yakni bersama Muhammad Nazar pada periode 2007-2012, dan bersama Nova Iriansyah pada periode 2017-2022.
Kiprahnya dalam perpolitikan memang tak diragukan lagi, pria kelahiran Bireuen, 02 Agustus 1960 ini merupakan dosen di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, dan juga pendiri lembaga konservasi Fauna dan Flora International (FFI).
Tgk Agam, yang juga sapaan akrab Irwandi pernah menempuh pendidikan S2 di Oregon State University, Amerika Serikat.
Jalan panjangnya pun penuh lika-liku, yaitu sejak bergerilya di masa konflik, ia menjabat sebagai Juru Propaganda GAM, seorang yang melancarkan perang urat syaraf dan propaganda kepada musuh hingga ia menduduki kursi nomor satu di Aceh. Bahkan ia juga mendirikan salah satu Partai Lokal (Parlok) yakni PNA.
Kiprah Hanakaru Hokagata di udara pun tak berakhir indah, KPK mematahkan sayapnya pada 3 Juli 2018 saat pesawat Singel Engine itu sedang bermanuver, hingga asap kerusakan pun mengepul. Sang Pilot ditilang karena diduga menerima suap sebesar Rp 1,5 miliar dari Bupati Bener Meriah, Ahmadi terkait proyek-proyek yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA).
Tak terima ditangkap basah, ia pun mengajukan Praperadilan. Apesnya, Riyadi Sunindyo Florentinus, sang pemegang palu di meja hijau Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak Praperadilan tersebut. Captain pun sah menyandang status tersangka.
Meja hijau Tipikor Jakarta telah menunggu. Tepat pada 8 April 2019, Capten divonis 7 tahun tahun penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Merasa kurang puas, KPK menjinjing kasus itu ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta sebagai upaya banding. Gayung KPK pun bersambut, Pilot dijatuhi hukuman 8 tahun penjara, dan bahkan hak politiknya selama 5 tahun ikut dicabut.
Kali ini sang Pilot yang tak terima nasib sial, Kasasi ke Mahkamah Agung pun ditempuh yang mungkin menjadi harapan baru untuk kembali ke Tanah Rencong.
Namun mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Mahkamah Agung menolak kasasi, tak hanya itu PNA yang dikomandoinya selama ini pun turut diambil alih.
Hanakaru Hokagata bukan lagi patah sayap, tapi mesin pun mati sebelum mendarat di bumi. Meskipun harapan masih ada sekali lagi yakni Peninjauan Kembali (PK), tetapi jeruji besi terlihat jelas menjadi pendaratan akhir sang Pilot.
Bilapun upaya PK tak dapat diharapi, bui harus jadi solusi, maka pesan untuk sang Captain, teruslah berkarya meski di dalam jeruji.