*(Oleh: Muslim, S.H
“Dalam Nota kesepahaman atau MoU Helsinki tertera tiga ribu mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhak menerima bantuan lahan dari pemerintah”. Begitu ungkap Ketua Komisi I, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Muhammad Yunus selesai Rapat Kerja dengan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh, di Ruang Rapat Komisi I DPR Aceh, Rabu, 4 Maret 2020 sebagai diberitakan di salah satu media.
Berita di atas sudah berulang-kali kita baca, di berbagai media dalam berbagai kesempatan. Narasinya sama: Tanah untuk Kombantan. Bahkan sudah hampir 15 tahun perjanjian damai antara RI dan GAM ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Sudah hampir 15 tahun pula kesejahteraan sebagian besar korban konflik baik masyarakat sipil maupun kombantan GAM masih jadi tanda tanya yang tak ada jawaban.
Hingga kini persoalan tanah yang dijanjikan tak kunjung mereka dapatkan. Padahal, salah satu poin damai adalah menyediakan lahan bagi korban konflik dan kombantan GAM – atau jangan-jangan bagi pentingginya saja. Agar mereka bisa bercocok tanam untuk membangun kembali puing-puing kehidupan yang telah hancur berkeping-keping, oleh tendangan sepatu dan tajamnya peluru. Oleh gelapnya malam dan hijaunya hutan.
Kini damai itu sudah hampir lima belas tahun, bahkan debu dari tanah yang dijanjikan tak jua kunjung didapatkan.
Bertahun-tahun terus kita tanyakan: Di mana tanah itu?. Kita terpana, menempatkan harapan pada kabar berita : Mantan Petinggi GAM Tagih Janji Lahan untuk Eks Kombantan. Terus seperti itu, bertahun-tahun kita memupuk harapan semu.
Mereka yang kita percayakan duduk sebagai wakil, semakin hari semakin tak menentu. Dana Otsus yang didapatkan dengan darah dan nyawa, menguap entah di mana. Bertahun-tahun angka kemiskinan tetap menganga. Lalu yang kita perdebatan justru cara survei-nya, bukan rumah – rumah yatim korban konflik yang dapurnya tak lagi berasap.
Sudah, lupakan tanah itu. Karena tanah itu tak lagi berbentuk tanah layaknya tanah yang bisa ditanam sayur dan pepohonan.
Tanah-tanah itu telah berubah bentuk, berupa gedung dan mobil mewah, deposito bank, jam tangan Limited edition, motor gede, tiket liburan dan berbagai kemewahan lainnya yang dimiliki para oknum petinggi.
Sesekali, cobalah perhatikan rumah dan mobil mereka, barangkali di sana tertulis: Jatah rumah milik si Ani, janda korban konflik yang rumahnya basah saat hujan turun atau lahan perkebunan milik si Ali, eks kombantan yang kini hidup dari se cangkul lahan sewaan.
Di sana, di sanalah tanah-tanah itu kini. Dalam genggaman para oknum petinggi dan penjilat sejati. Yang teriakannya terdengar gagah: Kami tagih janji tanah untuk Eks kombantan. Padahal di tangan merekalah semua lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang dijanjikan itu. Dan “sertifikatnya” telah ditandatangani, saat negosiasi di ruang resmi dalam suasana begitu sepi.
Teriakan-teriakan agar eks Kombantan mendapatkan lahan berhektar-hektar itu seperti tak dibarengi dengan keikhlasan. Kenapa? Coba perhatikan, triliunan dana Otsus itu untuk apa?. Tidakkah cukup untuk menyejahterakan mereka-mereka yang telah berjuang berdarah-darah dulu?. Tetapi berapa rupiah yang dianggarkan untuk membantu para korban konflik?. Mungkin banyak yang sudah disalurkan, tetapi di atas kertas. Penerima lapangan tetap saja mereka-mereka yang dekat dengan kekuasaan: Para petinggi dan penjilat sejati.
Mungkin, ke depannya yang perlu kita survei bukan lagi seberapa besar angka kemiskinan, tetapi seberapa banyak dari petinggi-petinggi itu yang kaya dengan seketika, yang sebelum konflik tak punya kekayaan pribadi atau warisan, lalu setelah konflik kekayaannya tiada bandingan.
Mungkin yang perlu di data bukan lagi seberapa banyak rumah-rumah penduduk miskin di seluruh pelosok Aceh ini. Tetapi yang perlu ditelusuri adalah seberapa banyak dan mewah rumah para petinggi dan penguasa, yang telah menyebabkan rumah-rumah korban konflik tidak layak huni.
Penulis merupakan Pemuda kelahiran ujung timur Aceh Selatan Provinsi Aceh, tepatnya di Desa Ujong Tanoh Kecamatan Kuta Bahagia)*
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Sebanyak lima ruko tempat usaha di Gampong Lambheu, Simpang Lampu Merah…
Analisaaceh.com, Tapaktuan | Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Fraksi Partai Aceh (PA), T.…
Analisaaceh.com, Lhokseumawe | Komisi Independen Pemilihan (KIP) Lhokseumawe sukses menyelenggarakan debat kedua calon Wali Kota…
Analisaaceh.com, Lhokseumawe | Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Aceh bekerja sama dengan Development for…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Panitia Pengawasan Pemilihan Aceh (Panwaslih) Aceh memetakan potensi Tempat Pemungutan Suara…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa…
Komentar