Terasi Langsa: Produk Tradisional Aceh dengan Cita Rasa Khas

Terasi Langsa yang menjadi oleh-oleh khas di wilayah pesisir timur Aceh. Foto: Chairul/Analisaaceh.com.

Analisaaceh.com, Langsa | Kota Langsa, yang terletak di pesisir timur Aceh, tidak hanya dikenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena kekayaan kulinernya yang khas. Salah satu produk unggulan yang menjadi kebanggaan daerah ini adalah Terasi Langsa.

Olahan berbahan dasar hasil laut ini telah menjadi oleh-oleh wajib bagi para wisatawan yang berkunjung, dan popularitasnya tidak hanya terbatas di Aceh, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia.

Bagi masyarakat Langsa dan sekitarnya, terasi merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari, terutama sebagai bahan utama dalam pembuatan sambal. Namun, Terasi Langsa memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya sangat berbeda dari produk serupa di daerah lain. Hal ini dibuktikan oleh antusiasme para pelancong yang merasa belum lengkap mengunjungi Langsa tanpa membawa pulang oleh-oleh khas ini.

Sulaiman (40), seorang warga Pidie, menyebutkan bahwa setiap kali keluarganya mengunjungi Langsa, mereka selalu membeli Terasi Langsa.

Terasi Langsa yang menjadi oleh-oleh khas di wilayah pesisir timur Aceh. Foto: Chairul/Analisaaceh.com.

“Kalau ke Langsa, yang wajib dibawa pulang pasti terasinya. Rasanya khas dan selalu menjadi pilihan utama kami saat berkunjung ke sini,” ungkap Sulaiman.

Hal serupa juga dirasakan oleh Nazariah (42), warga Kabupaten Bener Meriah. Ia mengaku setiap kali berkunjung ke Langsa, selalu membawa pulang Terasi Langsa, bahkan sering kali menjualnya kembali di daerah tempat tinggalnya, Kecamatan Lampahan, Bener Meriah.

“Saya selalu berpesan kepada keluarga di Langsa untuk membelikan terasi sebelum pulang. Kadang saya jual lagi di sana karena banyak yang suka,” ujarnya.

Popularitas Terasi Langsa ini memunculkan pertanyaan bagi banyak orang: apa yang membuatnya begitu istimewa dibandingkan terasi dari daerah lain? Untuk mencari jawabannya, tim analisaaceh.com mendatangi langsung pusat produksi Terasi Langsa di Gampong Simpang Lhee, Kecamatan Langsa Barat.

Gampong Simpang Lhee merupakan salah satu pusat penghasil Terasi Langsa yang paling terkenal di kota ini. Saat memasuki desa, pengunjung akan langsung disambut oleh aroma khas dari proses pembuatan terasi yang tersebar ke seluruh penjuru. Di halaman rumah-rumah penduduk, terlihat proses pembuatan terasi yang masih dilakukan secara tradisional, memperkuat citra lokal dan autentik dari produk ini.

Kadafi (38), seorang pengusaha terasi di Gampong Simpang Lhee, menjelaskan proses produksinya secara rinci. Menurutnya, Terasi Langsa hanya menggunakan dua bahan utama, yakni udang rebon (udang sabu) dan garam, dengan perbandingan 1 kilogram garam untuk setiap 10 kilogram udang rebon. Bahan-bahan ini kemudian dicampur, digiling, dan difermentasikan selama 2-3 hari sebelum dijemur dan dicetak.

“Prosesnya sederhana, tapi kualitas bahan sangat menentukan. Kami hanya menggunakan udang rebon segar, yang biasanya dipasok oleh keluarga atau dibeli dari nelayan setempat,” jelas Kadafi.

Keunikan dari Terasi Langsa terletak pada kesederhanaan bahan dan cara pengolahannya. Tanpa bahan tambahan apapun, keaslian cita rasa udang rebon dan garam menjadi kunci kelezatan produk ini. Inilah yang membuat Terasi Langsa begitu terkenal, baik di dalam maupun luar Aceh.

UD. Azzahir, usaha dagang milik Kadafi, mampu memproduksi 200 hingga 1.000 kilogram terasi per bulan, tergantung pada ketersediaan udang rebon dari para nelayan. Namun, produksi sering kali terhambat jika cuaca buruk melanda, karena nelayan tidak dapat melaut dan pasokan udang pun menipis.

Selain varian terasi tradisional yang berbentuk pasta, Kadafi juga menawarkan dua varian lainnya: varian bubuk yang sudah melalui proses sangrai, serta varian seperti permen atau saset yang sudah dicetak dalam berbagai bentuk kecil. Setiap varian memiliki karakteristik dan penggemarnya tersendiri.

“Harga jualnya bervariasi, mulai dari Rp15 ribu hingga Rp25 ribu per 250 gram untuk varian terasi pasta. Sedangkan untuk varian bubuk, kami jual satu botol seharga Rp25 ribu dengan berat 100 gram,” kata Kadafi.

Sejauh ini, Kadafi dan timnya telah mengirimkan Terasi Langsa ke berbagai wilayah di Aceh, seperti Aceh Timur, Takengon, Bener Meriah, Pidie, Lhokseumawe, dan Bireuen. Pengiriman dilakukan langsung oleh Kadafi, yang selalu menjaga kualitas produk hingga sampai ke tangan konsumen.

Bagi konsumen yang khawatir terasi akan rusak selama perjalanan, tidak perlu cemas. Terasi Langsa dapat bertahan hingga enam bulan, bahkan lebih, tergantung pada varian produknya. Daya tahan yang lama ini bukan karena penggunaan bahan pengawet buatan, melainkan berkat garam yang berfungsi sebagai pengawet alami.

“Tidak perlu khawatir terasi akan rusak. Asalkan disimpan dengan baik, produk ini bisa bertahan cukup lama,” ujar Kadafi.

Selain itu, wisatawan tidak perlu khawatir kesulitan mendapatkan produk Terasi Langsa. Produk ini tersedia di berbagai toko sepanjang jalan lintas Medan-Banda Aceh, seperti di Desa Simpang Lhee dan Alur Dua Kota Langsa, sehingga mudah diakses oleh siapa saja yang melintas di kawasan tersebut.

Dengan proses produksi yang tradisional, bahan baku segar, serta rasa khas yang sulit ditemukan di tempat lain, Terasi Langsa berhasil mempertahankan posisinya sebagai salah satu oleh-oleh paling dicari dari pesisir timur Aceh. Bagi para pelancong, membawa pulang Terasi Langsa bukan hanya sekadar oleh-oleh, melainkan juga pengalaman menikmati kekayaan kuliner lokal yang autentik. (Adv) – (Chairul)

Komentar
Artikulli paraprakSaksi Lihat OTK Masuk ke Kamar Sebelum Dugaan Pembunuhan Terjadi di Kos Banda Aceh
Artikulli tjetërBPSK Tingkatkan Perlindungan Konsumen untuk Jaga Daya Beli di Tengah Upaya Pemerintah Stabilkan Ekonomi