kondisi banjir, foto: bpba
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai rangkaian banjir yang melumpuhkan sedikitnya 10 kabupaten di Aceh merupakan bencana ekologis yang lahir dari kerusakan lingkungan yang berlangsung secara terencana dan dibiarkan oleh pemerintah.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, menyatakan banjir berulang yang kembali terjadi tahun ini bukan semata-mata fenomena alam, melainkan akibat deforestasi, ekspansi perkebunan sawit, aktivitas pertambangan, hingga maraknya Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah hulu.
“Ini bukan musibah alam. Ini bencana ekologis akibat buruknya tata kelola lingkungan hidup. Hutan digunduli, sungai didangkalkan, bukit dikeruk. Pemerintah masih sibuk membangun tanggul, bukan menghentikan akar bencananya,” ujar Shalihin, Rabu (27/11/2025).
Menurut WALHI Aceh, kerusakan paling parah terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Peusangan yang berdampak langsung ke Aceh Utara dan Bireuen. Kerusakan serupa terjadi di banyak wilayah lain akibat ekspansi perkebunan berskala besar, konsesi tambang, pembalakan liar, serta pembukaan jalan baru yang mempercepat laju deforestasi.
Hilangnya penyangga ekologis menyebabkan curah hujan tinggi langsung berubah menjadi limpasan air besar. Sementara itu, sedimentasi berat di sungai akibat aktivitas galian C membuat aliran sungai kian dangkal dan mudah meluap.
“Sungai-sungai kita sudah tidak berfungsi. Sedimentasi ekstrem membuat daya tampungnya runtuh. Begitu hujan deras datang, air langsung melompat ke permukiman,” kata Shalihin.
Dalam dua tahun terakhir, WALHI Aceh mencatat peningkatan masif aktivitas PETI di kawasan hulu. Tebing sungai digali, bukit dibelah, dan aliran sungai berubah keruh oleh limbah. Berdasarkan pemetaan spasial, 99 persen lokasi PETI berada di dalam kawasan DAS.
“PETI menghancurkan hulu. Tanah menjadi labil, longsor mudah terjadi, dan banjir tak terbendung,” tegas Shalihin.
WALHI Aceh mengkritik pemerintah daerah yang dinilai hanya berfokus pada proyek pengerukan sungai, pembangunan tanggul, dan normalisasi alur air. Menurut WALHI, langkah tersebut tidak menyentuh akar permasalahan karena kerusakan di hulu tidak pernah dihentikan.
“Pemerintah sibuk mengejar proyek infrastruktur seolah itu solusi, padahal keran kerusakan di hulu tidak ditutup,” ujar Shalihin.
WALHI menuntut pemerintah: Menerapkan moratorium izin baru perkebunan sawit dan tambang. Membatasi dan menutup galian C ilegal.
Menindak tegas PETI dengan menyasar pemodal dan jaringan pendanaannya. Melakukan restorasi ekologis di hulu.
Menggelar audit menyeluruh terhadap seluruh perizinan yang berdampak pada kerusakan hutan dan DAS. Memberi ruang luas bagi partisipasi masyarakat mukim dalam tata kelola lingkungan.
Banjir yang merendam rumah warga, merusak fasilitas umum, dan memaksa ribuan orang mengungsi menjadi peringatan bahwa daya dukung lingkungan Aceh berada pada titik kritis.
WALHI memperingatkan, tanpa langkah struktural, bencana serupa akan semakin sering terjadi.
“Aceh sedang memasuki fase kerusakan ekologis berat. Jika hulu tidak diselamatkan hari ini, banjir besar akan menjadi musibah bulanan. Pemerintah harus berhenti menutup mata,” tutup Shalihin.
Analisaaceh.com, Blangpidie | Bupati Aceh Barat Daya (Abdya), Safaruddin, mengimbau seluruh jajaran pemerintahan dan masyarakat…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Sudah dua hari terakhir, sebagian warga Aceh yang tinggal di luar…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | PLN Unit Induk Distribusi (UID) Aceh terus melakukan percepatan pemulihan sistem…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) akhirnya menetapkan status darurat bencana hidrometeorologi…
Analisaaceh.com, Blangpidie | Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) melaksanakan eksekusi cambuk terhadap…
Analisaaceh.com, Blangpidie | Bupati Aceh Barat Daya (Abdya), Dr. Safaruddin, secara resmi melaunching sekaligus memantau…
Komentar