Analisaaceh.com | Rumoh Aceh atau rumah Aceh merupakan salah satu bagian dari koleksi museum Aceh yang dibuat dalam bentuk tradisional seperti rumah kediaman umum masyarakat Aceh.
Rumoh Aceh ini berlokasi di jalan Alaidin Mahmudsyah, Banda Aceh. Bagunan Rumoh Aceh ini berasal dari Pavium Aceh yang ditempatkan di arena pameran kolonial di Semarang pada 13 Agustus hingga 15 November 1914 dan memperoleh penghargaan sebagai pavium terbaik sehingga diusulkan oleh F.WB Stamnushaus untuk dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan museum. Hal ini disetujui oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A Swart pada 31 Juli 1915.
Pemandu wisata Rumoh Aceh, Zuhra, menyatakan bahwa Rumoh Aceh yang dirancang sedemikian rupa mempunyai filosofi tersendiri, bangunan ini didirikan memanjang antara Timur dan Barat yang bermakna agar mudah mengetahui arah kiblat dan juga agar tidak melawan arah mata angin dikarenakan atap rumah Aceh yang sebetulnya terbuat dari rumbia.
Bagian dalam Rumoh Aceh juga terdiri dari Serambi depan (seramoe keu), serambi tengah (seramoe likot) dan serambi Inoeng. Serambi depan umumnya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu, serambi belakang berfungsi sebagai ruang makan dan juga dapur, dan juga semoe inoeng yang dijadikan sebagai tempat tidur atau disebut Jure.
Tempat tidur di Rumah Aceh biasanya hanya terdiri dari dua kamar yaitu kamar orang tua dan kamar anak perempuan, hal ini juga menggambarkan bahwa tidak boleh bercampur satu kamar antara laki-laki dan perempuan meskipun saudara kandung.
Pintu Utama Rumah Aceh berada dibagian depan dan dilengkapi dengan tangga yang berjumlah ganjil yaitu 7 hingga 7 tangga, hal ini juga bermakna dari kepercaayaan orang Aceh bahwa Allah menyukai angka ganjil dan hal ini berpengaruh bagi keberuntungan masyarakat Aceh. Rumah Aceh berdinding kayu Meranti, papan, dan juga pelapah rumbia, hal ini tergantung dari pemilik rumah.
Untuk tiang rumah Aceh ini terdiri dari 44 tiang karena rumah ini dijadikan ruang pamer, namun pada umumnya dibangun oleh masyarakat biasa tiang tersebut terdiri dari 16, 20, 24 dan 28 buah.
Bagian tangga, jendela dan dinding rumah Aceh memiliki motif ukiran yang beragam, adapun motif ukiran tradisional Aceh yang dipakai yaitu,pilin tali, kaligrafi bungong kupula, bunga cabai, bunga sisik rumbia, pucuk pakis, pucuk rebung bungong, canek awan yaitu motif awan berarak.
Sumur orang Aceh umumnya berada di luar, nah untuk lokasi sumur rumah Aceh ini juga berada di luar namun tidak sama seperti sumur rumah Aceh pada umumnya karena sudah menggunakan lantai beralas keramik. Menurut pengakuan pemandu rumah Aceh hal ini sudah disesuaikan dikarenakan letak sumur yang diluar dan terbuka lansung membuat lantai sumur akan cepat berlumut sehingga susah untuk dibersihkan.
Bagian bawah rumah Aceh juga terdapat jeungki dan kroeng pade atau tempat penyimpanan padi, karena pada umumnya masayarakat Aceh dahulu adalah petani. Krong Pade ini digunakan sebagai tempat penyimpanan padi oleh masyarakat Aceh dan ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan dan pemilik rumah.
Selanjutnya juga terdapat Jeungki atau alat penumbuk. Jengki ini digunakan oleh masyarakat Aceh dahulu sebagai alat untuk menumbuk seperti beras untuk dijadikan tepung. Jengki ini terdiri dari beberapa kompenen dimana butuh kerjasama dari setiap komponennya sehingga dapat ditarik makna bahwa suatu hal menjadi mudah dengan gotong royong.
Nah, untuk saat ini Rumoh Aceh terlihat ramai pengunjung dan buka setiap hari. Apalagi lokasi tepat berada di pusat Kota Banda Aceh dan berada di pinggir jalan yang tidak jauh dari Pendapa Gubernur Aceh.
Dengan berkunjung ke Rumoh Aceh, pengunjung akan mendapatkan pengalaman berharga serta pengetahuan tentang masyarakat Aceh melalui sarana objek dalam Rumoh Aceh tersebut.