Masyarakat Aceh Selatan dihebohkan dengan sebuah tagline berita yang mengumumkan bahwa anggaran Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2020 mengalami defisit sejumlah Rp. 19 milyar. Hal itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Selatan, H. Nasjuddin pada Kamis (13/3/2020).
Kabar itu pun membuat para kalangan elite di Aceh Selatan harus mengigit jari. Betapa tidak, akibat defisit itu mengakibatkan akan dipangkasnya dan menunda kegiatan-kegiataan SKPK.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) defisit anggaran merupakan suatu hal yang lumrah dan sering terjadi di daerah di seluruh Indonesia. Namun dalam hal ini yang perlu dilihat serta digaris bawahi adalah 2 macam. Pertama meriview atau melihat kembali realisasi anggaran sebelumnya dan yang kedua bagaimana pemimpin Aceh Selatan harus mengambil kebijakan.
Bagi kita masyarakat biasa, tentunya sangat sulit memahami dan menghitung-hitung anggaran, apalagi angka tersebut sampai 13 digit bahkan lebih yang apabila dibelikan kepada es campur “mungkin” dapat menenggelamkan Ibukota Aceh Selatan.
Namun dari pada itu, sepertinya perlu menyingkap kembali anggaran dan pendapatan daerah Aceh Selatan sebelumnya sebagai pengetahuan dan pelajaran untuk mengambil kebijakan di masa yang akan datang.
Kilas Balik Anggaran dan Pendapatan Aceh Selatan
Merujuk kepada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Selatan Nomor 13 Tahaun 2019 tentang Persetujuan atas Rancangan Qanun Kabupaten Aceh Selatan tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2020 bahwa diputuskan sebesesar Rp. 1,4 triliun. Adapun rinciannya yaitu Pendapatan (Rp.1.475.284.230.455), Belanja (Rp.1.516.903.262.724), Surplus/Defisit (Rp.41.619.032.269), Pembiayaan Netto (Rp.41.619.032.269), dan Silpa Tahun Berkenaan (Rp.0,00).
Dalam penyusunan anggaran daerah, Pemda Kabupaten/Kota bahwa Silpa memang diharuskan bernilai 0 (nol) atau nihil (tanpa nilai rupiah). Hal tersebut sebagai bentuk tidak direncanakan terjadi selisih antara jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran daerah.
Artinya bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaran yang terjadi. Misalnya dalam APBD atau APBK terdapat defisit anggaran sebesar Rp 100 Miliar, ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp 100 Miliar, maka SILPA-nya adalah Rp0. Namun jika terdapat defisit anggaran sebesar Rp 100 Miliar dan ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp 120 Miliar (SILPA Positif), yang berarti bahwa secara anggaran masih terdapat dana dari penerimaan pembiayaan Rp 20 Miliar yang belum dimanfaatkan untuk membiayan Belanja Daerah dan/atau Pengeluaran Pembiayaan Daerah. SILPA Positif ini perlu dialokasikan untuk menunjang program-program pembangunan di daerah.
Hal ini dimaknai sebagai anggaran berimbang (balanced budget). Pada prinsipnya, kebijakan ini untuk mendorong Kabupaten/Kota untuk lebih bertanggungjawab terhadap penggunaan uang publik, sehingga sejalan dengan konsep value for money, yang mencakup ekonomi, efisiensi, dan efektifitas.
Apabila dilihat pada anggaran dan pendapatan Aceh Selatan sebagaimana yang disebutkan di atas serta sebagaimana yang dijelaskan oleh Sekda Aceh Selatan bahwa, sebelumnya, Tim TAPD dan Banggar DPRK Aceh Selatan, dalam pembahasan APBK sepakat untuk membuka defisit Rp. 41 miliar dengan asumsi Silpa Rp. 41 miliar. Namun setelah berakhirnya tahun anggaran ternyata Silpa Rp. 21 miliar, sehingga defisit sebanyak Rp. 19 miliar lebih.
Defisitnya anggaran tersebut tentunya menjadi tanda tanya bagi masyarakat, apa yang terjadi sebelumnya?, bagaimana bisa terjadi?, serta puluhan pertanyaan-pertanyaan lainnya mungkin sedang bersarang di benak masyarakat ya bisa jadi mengisi kolom komentar facebook ataupun dalam grup-grup WhatsApp. Sekali lagi perlu dipahami, defisif merupakan suatu hal yang lumrah terjadi, tetapi untuk menjawab hal ini, mari kita telusuri ke belakang. Sebab, apapun yang terjadi apa anggaran saat ini tidak terlepas dari penggunaan anggaran sebelumnya, mungkin ada gajah yang menyeberang di hulu sehingga air keruh di hilir.
Sebagai pengetahuan, defisit anggaran merupakan selisih antara anggaran pendapatan dengan anggaran belanja yang nilainya negatif. Hal ini berarti anggaran pendapatan nilainya lebih kecil dari anggaran belanja. Untuk menganalisis faktor apa saja yang dominan terhadap timbulnya defisit anggaran dapat dilihat sejauh mana pertumbuhan dari setiap komponen pendapatan dan belanja setiap tahunnya.
Artinya, terjadinya defisit tersebut akibat banyak pengeluaran yang berbentuk konsumtif tanpa ada pemasukan yang seimbang untuk daerah, atau dalam bahasa yang mudah dipahami, banyak makan dari pada pada bekerja.
Merujuk pada Keputusan DPRK Aceh Selatan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Persetujuan atas Rancangan Qanun Kabupaten Aceh Selatan tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Selatan Tahun Anggaran 2019 bahwa Pendapatan Semula (Rp.1.503.328.674.523) dan setelah perubahan menjadi (Rp.1.497.032.040.808), Belanja Semula (Rp.1.533.328.674.523) dan setelah berubah menjadi (Rp.1.546.318.437.844). Sementara biaya Netto semula (Rp.30.000.000.000) berubah menjadi (Rp.49.286.397.036).
Dari realisasi anggaran tahun 2019 tersebut, Aceh Selatan banyak menghabiskan anggaran pada pembangunan-pembangunan yang tidak berdampak pada kemajuan ekonomi masyarakat, sehingga tidak adanya keseimbangan serta manfaat yang besar dalam penggunanaan anggaran yang besar.
Seperti contoh, penggunaan anggaran untuk kesehatan (cek DPA, LPSE SIRUP Aceh Selatan) yang selalu menelan biaya puluhan miliar rupiah pada setiap bentuk program, namun sayangnya RSUD Yuliddin Away yang berstatus tipe B, direkomendasi menjadi tipe C berdasarkan surat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada 15 Juni 2019 dengan nomor HK.04.01/I/2963/2019 tentang rekomendasi hasil penyesuaian kelas rumah sakit.
Begitu juga dengan realisasi anggaran lainnya seperti proyek-proyek infrastruktur yang membebankan keuangan daerah, biaya perjalanan dinas, operasional pegawai serta hal-hal lainnya kurang tepat sasaran namun merongoh lumbung APBK.
Dalam penggunaan anggaran daerah, tidak serta merta dikucurkan dengan kemauan atau keinginan sendiri, namun harus digunakan untuk hal-hal produktif. Begitu juga dalam infrastruktur yang harus dibangun dengan memikirkan dampak yang besar bagi masyarakat, sehingga ekonomi daerah tetap berputar dan tidak mati.
Analogi seperti seseorang yang diberikam sekarung uang, apabila dibelikan untuk hal yang konsumtif, tentu uang itu habis tanpa ada pemasukan ke depannya. Begitu juga daerah, apabila diputar untuk hal produktif dan efisien, tentunya berdampak pada peningkatan ekonomi, kesejahteraan masyarakat serta mengurangi pengangguran.
Kembali ke defisit anggaran Aceh Selatan, hal itu juga bukan lah serta merta kesalahan dari pihak Eksekutif selaku pemegang kekuasaan, namun juga tidak terlepas dari pihak Legislatif selaku lembaga yang membahas serta pengawasan anggaran dan kebijakan.
Maka dari itu, untuk ke depannya antara Eksekutif dan Legislatif Aceh Selatan perlu adanya harmonisasi serta harus besinergi antara kedua belah pihak dalam penyusunan dan penggunaan anggaran, sehingga anggaran itu terealisasi dengan efektif, efisien serta produktif agar pendapatan daerah terus meningkat.
Selayang Solusi Kebijakan
Menurut Saragih (2003), apapun komposisi dari APBD suatu daerah tentu harus disesuaikan dengan perkembangan keuangan pemerintah daerah yang bersangkutan. Setiap daerah tidak harus memaksakan diri untuk menggenjot pengeluaran tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya, khususnya kapasitas PAD. Dikhawatirkan jika pemerintah daerah menetapkan kebijakan defisit pada APBD-nya, maka sumber pembiayaan untuk menutupi sebagian atau seluruh defisit anggaran berasal dari pinjaman atau utang.
Jika defisit sudah terjadi perlu ditangani secara benar, profesional, dan berdasarkan hukum. Oleh karena itu penulis sedikit memberikan selayang saran solusi kebijakan yang dapat diambil atau menjadikan pertimbangan bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, yakni:
- Mengurangi biaya kegiatan yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat banyak, seperti uang perjalanan dinas, biaya rapat, biaya makan minum dan lain-lainnya.
- Mengurangi tunjangan tambahan penghasilan PNS, khususnya pada yang punya Eselon. Pemberian tunjangan tersebut harus berpedoman pada PP No 105/2000 Pasal 29 Ayat 2 yang menyebutkan bahwa PNS daerah dapat diberikan tambahan penghasilan berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Mengutamakan pengeluaran prioritas, pada saat defisit pemerintah lebih mengutamakan progam-program yang cepat menghasilkan. Sedangkan proyek jangka panjang dan dengan biaya besar akan ditunda.
- Memotong biaya program tertentu, pembiayaan beberapa program pemerintah yang tidak mendorong pertumbuhan sektor riil, pajak.
- Mengajukan pinjaman kepada pihak lain (utang) dan persetujuan DPRK sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah. Hal ini akan meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat dan harus diikuti dengan peningkatan jumlah barang yang diproduksi.
Penulis merupakan salah satu warga Aceh Selatan, dan tim Redaksi di Analisaaceh.com.