Semalam, sembari mengikuti status teman di FB dan chat orang di berbagai grup. Banyak tulisan dan komentar baik pro maupun kontra menyikapi mewabahnya pandemik covid 19. Banyak dalil yang beredar dijadikan landasan teoritis bersikap, baik dari Al Qur’an maupun Hadits. Bahkan ada yang menshare hadits- hadits dhaif seputar wabah dan ada juga yang bereaksi membalas dengan kumpulan hadits-hadits Shahih tentang wabah.
Maka tergeraklah tangan ini untuk mencoba melihat lebih dekat salah satu hadits yang sepertinya sudah menjadi masyhur di kalangan pelaku medsos beberapa minggu ini.
Pada tulisan ini, penulis hanya berusaha melihat lebih dekat pada sebuah hadits saja tak lebih dan dari sebuah rujukan kitab hadits saja. Bukan berarti mengenyampingkan beberapa dalil lain yang banyak terdapat dalam berbagai rujukan.
Tujuannya agar lebih fokus tak melebar pembahasan yang mengakibatkan panjang terurainya dari materi yang hendak disampaikan. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya sebagai usaha menjaga nilai validasi sebuah Nash yang dijadikan rujukan, karena itu merupakan bagian dari pertanggungjawaban etika penulisan.
Hadits itu yang diriwayatkan oleh Turjuman Al Qur’an; Abdullah bin Abbas
Kisah itu dimulai suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab r.a memutuskan untuk berkunjung ke negeri Syam bersama para sahabat lainnya. Saat hampir tiba di perbatasan para tentara yang dipimpin oleh Ubaidah bin Jarrah menemui Umar r.a dan menyampaikan informasi bahwa masyakarat di Syam sedang dilanda wabah yang mematikan.
Mendengar hal itu Umar-pun bertanya kepada sahabat dari kalangan muhajirin bagaimana sebaiknya apakah perjalanan dilanjutkan atau tidak, sebagian mereka berpendapat agar perjalanan tidak dilanjutkan, sementara yang lain berpendapat agar perjalanan ke Syam tetap dilakukan.
Merasa kurang puas Umar r.a memanggil sahabat dari kalangan Anshar dan bertanya kepada mereka dengan pertanyaan yang sama, sahabat dari kalangan Anshar-pun terbagi dalam dua kelompok, dan keduanya memberikan jawaban yang sama sebagaimana dua kelompok Muhajirin.
Pada akhirnya khalifah Umar r.a memanggil para sahabat yang ikut dalam Fathu Makkah, dan bertanya kepada mereka dengan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang diajukan kepada Muhajirin dan Anshar. Kecuali dua orang saja, selebihnya seluruh sahabat yang ikut dalam Fathu Makkah itu memberikan jawaban dan berpendapat agar khalifah beserta rombongan tidak melanjutkan perjalanan ke Syam dan kembali ke tempat masing-masing. Umar-pun menyatakan sependapat, dan memutuskan untuk kembali dan tidak melanjutkan perjalanan.
Mendengar keputusan Umar radhiyallahu anhu, Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu anhu mengajukan pertanyaan yang bernada keberatan, apakah keputusan ini tidak membuat kita lari dari takdir?
Dengan segera Umar r.a menjawab, ya, memang benar kita lari dari takdir Allah yang satu kepada takdir Allah yang lain, dan kemudian Amirul Mukminin Umar bin Khattab balik bertanya kepada Ubaidah, bagaimana jika engkau memiliki seekor unta, di hadapanmu ada lahan yang tandus dan lahan yang subur, kemanakah kamu arahkan untamu? Jika kamu arahkan untamu ke lahan yang subur maka engkau mengarahkannya dengan takdir Allah, sebagaimana halnya engkau arahkan untamu ke lahan yang tandus, maka engkau juga mengarahkannya dengan takdir Allah.
Pada saat itu tiba-tiba muncul Abdurrahman bin ‘Auf r.a yang ternyata sebelumnya tidak ada di tengah-tengah para sahabat yang bermusyawarah, karena suatu keperluan. Beliau yang mengetahui keputusan Umar r.a kemudian mengingatkan para sahabat, bahwa Rasulullah pernah bersabda:
“Jika suatu negeri dilanda wabah yang mematikan, maka janganlah kamu mendatanginya, dan jika kamu sudah berada di suatu negeri itu saat wabah melanda janganlah kamu ke luar dari wilayah itu”.
Ibnu Abbas berkata, mendengar penjelasan Abdurrahman bin ‘Auf, Umar r.a mengucapkan alhamdulillah, dan beliaupun beranjak pergi.
Kisah perjalanan Amirul mukminin Umar bin Khattab Radhiyallahu bersama beberapa orang sahabat yang berakhir dengan pulang kembali berbalik memutar haluan ini akan kita dapatkan jelas terpampang dalam Shahih Muslim pada kitab as Salam Bab At tha’un wa at thairah wa Al kihanah dengan nomor hadits 2219.
Setelah merujuk langsung kedalam Kitab Shahih Muslim Syarah Imam Nawawi jilid 7 cetakan Darul Hadits Cairo tahun 2001 pada halaman 464. Akan kita dapatkan beberapa pesan dari pensyarah shahih Muslim, di antaranya :
- Anjuran bagi para pemimpin untuk keluar turun langsung melihat kondisi rakyatnya. Bukan hanya memantau atau mendengarkan laporan para pembantu di pemerintahannya saja.
- Kebolehan seorang pemimpin turun langsung berhadapan tatap muka dengan rakyatnya, begitu pula sebaliknya guna menyerap aspirasi dan menyuarakan keluhan dan kebutuhan.
- Memposisikan seseorang sesuai dengan kapasitas keilmuannya. Guna menyelesaikan suatu persoalan dan menjauhi kehancuran yang disebabkan kebodohan terhadap pokok permasalahan.
- Larangan memasuki daerah yang sudah diketahui tertimpa wabah dan larangan keluar dari daerah yang sudah diketahui ditimpa wabah.
- Lakukan musyawarah dan koordinasi dengan semua pihak yang berkompeten sesuai kapasitas keahlian dan keilmuan agar kesimpulan dari keputusan membawa maslahat bukan menambah mafsadat.
Kembalilah pada firman Allah taala :
(مَاۤ أَصَابَ مِن مُّصِیبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن یُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ یَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَیۡءٍ عَلِیمࣱ)
Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. at Thaghabun : 11).
Sadar akan musibah yang menimpa akan menambah ridha bukan cerca dan maki. Namun memilih mengambil asbab adalah ijtihad agar jauh terhindar dari bala wabah semestinya harus dipilih sebagaimana Amirul mukminin mengambil pilihan pulang ke Madinah setelah melewati tahapan musyawarah melibatkan semua ahli. Karena Umar bin Khattab yakin akan Allah memberi petunjuk membimbing hatinya untuk keluar dari belitan masalah.
Contoh lah sikap kepemimpinan Umar bin Khattab cepat tanggap mengambil sikap bukan latah lagi gegabah. Pemimpin sejati adalah orang yang menjadikan masyarakat tak bergantung kepada keberadaannya.