Analisaaceh.com, Takengon – Majelis Adat Aceh (MAA) menggelar kegiatan pelatihan peradilan adat selama dua hari, 8-9 Juli 2019 di Takengon, Aceh Tengah. Kegiatan tersebut menyoal tentang pembenahan peradilan adat yang telah dikenal oleh dunia.
“Aceh dikenal sebagai daerah syari’at Islam bahkan sering disebut sebagai Serambi Mekah. Untuk itu peradilan adat masih perlu pembenahan,” kata Plt. Ketua MAA Provinsi Aceh H. Saidan Nafi, Senin (8/7/2019).
Menurut Saidan Nafi, sangat miris bilamana Aceh masih dalam suasana termiskin nomor satu di pulau Sumatera dan nomor enam tingkat nasional. Menyangkut hal itu ia menilai perlu pembenahan dari berbagai sektor, termasuk salah satunya peradilan adat.
“Ini perlu kita benahi, dimana investor-investor asing dan Investor nasional serta orang orang milyarder luar yang berasal dari Aceh dan milyarder Aceh yang berada di luar daerah masih enggan berinvestasi di Aceh,” jelasnya.
Terkait hal tersebut tentu masih ada hal yang penting untuk dibenahi. Ia menyebut, pertanyaan terkait seputar kondisi keamanan di Aceh saat ini masih dipertanyakan. “Kenapa Investor enggan berinvestasi di Aceh, masalahnya adalah tentang keamanan dan kedamaian. Boleh dikatakan Aceh aman dan damai, orang luar berpikir Aceh masih dalam suasana tembak menembak, ada teror pembunuhan, ini yang harus kita sikapi” papar Saidan Nafi.
Dia menilai Adat dan syari’at perlu dikedepankan, dimana Aceh sendiri diberi kesempatan untuk berbenah dibidang adat istiadat dan agama. Bahkan kata dia, oenyelrsaian hukum di Indonesia masih dipertanyakan di dunia mancanegara. Dengan hasil peradilan umum yang kurang maksimal, sehingga muncu istilah dalam dunia peradilan yakni ‘Kalah jadi arang menang jadi abu’.
“Jika ditempuh melalui peradilan adat akan memperoleh kemenangan yang hakiki, karena adat mengedepankan kedamaian,” tutupnya.
Sementara itu Bupati Aceh Tengah melalui Asisten Administrasi dan Umum Arslan Abdul Wahab mengatakan, berbagai alternatif penyelesaian perkara yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tersedia lembaga peradilan formal untuk menyelesaikan berbagai sengketa hukum seperti pengadilan dan Mahkamah Syari’ah.
Sedangkan di luar peradilan formal dikenal dengan lembaga penyelesaian perkara secara adat oleh lembaga adat yang ada ditingkat kampung dan mukim. Penyelesaian perkara melalui lembaga adat itu merupakan penyelesaian perkara secara damai, untuk merukunkan para pihak yang berperkara dan memberikan sanksi adat bagi orang yang melakukan perbuatan yang melanggar adat.
“Penyelesaian perkara secara adat saat ini dikenal dengan istilah peradilan adat. Ini bukanlah bagian dari peradilan formal namun sebagai alternatif wadah penyelesaian perkara, peradilan adat ini memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat, karena bisa menjamin terjaganya keseimbangan kerukunan dan ketentraman masyarakat,” papar Arslan.
Untuk itu kata dia, penting kiranya dilakukan pelatihan peradilan adat yang baik dengan melibatkan tokoh adat yang berwenang, sehingga penerapan hukum adat sesuai dengan kaidah adat yang ada dan tidak melanggar hak seseorang baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
“Saat ini pembentukan lembaga peradilan tingkat kampung, kemukiman dan kecamatan masih terkendala dengan regulasi atau qanun, dan ini menjadi perhatian kita bersama. Untuk pembentukannya perlu berkoordinasi dengan dinas BPMK Aceh Tengah atau dinas terkait supaya tidak menyalahi ketentuan yang berlaku,” tutup Arslan membacakan sambutan orang nomor satu di daerah dataran tinggi berhawa sejuk itu.
Untuk diketahui, peserta yang terlibat langsung dalam pelatihan peradilan adat itu merupakan perwakilan Sarak Opat atau Tuha Peut se Kabupaten Aceh Tengah. (*)