Teuku Cut Ali merupakan salah satu pejuang Aceh di wilayah pantai Barat Selatan yang gigih dalam melawan penjajah Belanda. Semangat juang nya inilah yang membuat para Marechaussee Belanda kocar-kacir.
Sulut perang yang membakar semangat pejuang oleh Teuku Cut Ali ini memberikan dampak yang luar biasa bagi Belanda. Tercatat sejak tahun 1925-1927 menjadi tahun kelam bagi penjajah di Wilayah Kluet hingga Bakongan.
Bivak-bivak Belanda luluh lantak, pimpinan-pimpinan perang pun turut gugur di tangan pejuang berkat kelihaian nya mengatur strategi serta kemampuan bela diri.
Sebagaimana catatan sejarah, Belanda masuk dan mencoba menduduki wilayah Pantai Selatan Aceh dengan terlebih dahulu menjajah wilayah Barat Aceh dan dihadang oleh para pejuang Aceh seperti Pocut Baren dan kawan kawan. Setelah itu Belanda turun ke wilayah Selatan Aceh dan menguasai Blang Pidie pada Tahun 1900.
Kemudian Belanda terus berpencar memasuki wilayah Tapaktuan Aceh Selatan. Saat memasuki Tapaktuan ini, Teuku Ben Mahmud aktif memimpin perlawanan di daerah tersebut dalam menghadang Belanda. akan tetapi setelah keluarganya disandera oleh pihak Belanda, akhirnya Teuku Ben Mahmud pun ikut ditawan. (Ultimatum Kerajaan Belanda Terhadap Kerajaan Aceh, Peningkatan Pahlawan Aceh, 1968, hlm. 67-69).
Setelah Teuku Ben Mahmud ditawan, Belanda menempatkan para controleur-controleur sipil mereka di Tapaktuan. Mereka adalah Boissevein, Gobec, Van Aken, Brouwer, Jacobs dan Sturman. Para controleur ini diharapkan mampu mengawasi dan mengamankan wilayah Tapaktuan dan sekitarnya.
Menurut mereka dengan berhasil ditawan nya Teuku Ben Mahmud, maka seluruh wilayah Aceh Selatan telah aman dan berhasil mereka kuasai. (Darul Quthni CH, Sejarah Perjuangan Bangsa Kita di Bahagian Barat Nusantara, hlm 20).
Setelah dari Tapaktuan, Belanda mulai berekspansi memasuki wilayah Kluet Utara hingga Bakongan. Untuk memberantas para pejuang, Belanda mendirikan markasnya dari Tapaktuan hingga Bakongan dengan tujuan membatasi gerak langkah para pejuang dalam melakukan perlawanan.
Belanda membuat tangsi di Kandang (Kluet Selatan) dan membuat bivak di Manggamat (Kluet Tengah). Bivak ini dipimpin oleh seorang Belanda berpangkat Letnan bernama F Harting dan seorang berpangkat Kopral bernama Lumantouw, selebihnya adalah marsose yang salah satunya bernama Wewengkar. (Bukhari RA, Kluet Dalam Bayang-Bayang Sejarah, 2008, hlm 32).
Pada masa Belanda dikenal adanya sebutan Avdaling Keujreun Van Kluet terdiri dari tiga kecamatan yaitu Bakongan, Kluet Selatan, dan Kluet Utara. Daerah yang termasuk dalam wilayah Avdaling Keujreun Van Kluet beribu kota Kandang.
Pada masa pemerintahan Avdaling Keujreun Van Kluet Kluet Utara dan Kluet Selatan dikepalai oleh seorang Ulee Balang dan dibantu oleh 11 orang Ulee Balang Cut sedangkan Kecamatan Bakongan dikepalai oleh seorang Ulee Balang.
Bakongan merupakan salah satu pusat militer Belanda pada saat itu dengan tujuan untuk memudahkan menumpas dan melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh di Bakongan pada tahun 1925-1927 di bawah pimpinan TR Angkasah, Teuku Cut Ali, Teuku Raja Lelo serta beberapa pemimpin lainnya.
Di mata Belanda, mereka-mereka ini adalah pejuang pejuang Aceh yang terkenal hebat baik dari segi ilmu kebathinan hingga ilmu beladiri sehingga membuat Belanda tertantang ingin membunuh mereka semua.
Biografi dan Syahidnya Teuku Cut Ali
Teuku Cut Ali lahir pada tahun 1895 dari pasangan Teuku Cut Hajat dan Nyak Puetro di Desa Kuta Baro, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan.
Trumon sendiri merupakan salah satu daerah kerajaan sembilan dari kerajaan Aceh yang memiliki Cap Sikureng (Cap Sembilan).
Bahkan pada masanya, Trumon mempunyai mata uang sendiri dan tidak saja diakui di Aceh, tapi juga dunia.
Secara garis keturunan, Teuku Cut Ali merupakan salah satu keturunan raja di Trumon, yakni kakek nya Teuku Nyak Dhien merupakan raja keenam yang pernah memimpin Kerajaan Trumon.
Sejak usia 18 tahun, Teuku Cut Ali sudah mulai berperang melawan Belanda. Dengan kegigihannya melawan penjajah serta memiliki ilmu bela diri, Ia diangkat menjadi Panglima Sagoe pada usia 20 tahun untuk memimpin perang sejak tahun 1925 hingga 1927.
Salah satu ciri khas dan taktik Teuku Cut Ali memimpin perang melawan Belanda, yakni menyerang saat malam hari, setelah pihak lawan berjatuhan korban, para pejuang menyingkir sehingga menyulitkan Belanda mencari jejak Teuku Cut Ali.
Ketika perang di Seunebok Keuranji pecah, salah satu desa di Kecamatan Bakongan Kabupaten Aceh Selatan, banyak pasukan Belanda yang menjadi korban. Teuku Cut Ali, mengalami luka parah, akibat terkena peluru pasukan Belanda. Namun, Cut Ali dan pasukannya berhasil menyingkir ke dalam hutan untuk menghindari kejaran Belanda.
Pada tahun 1926, perang di Gunong Kapoe (Gunung Kapur), kemudian berlanjut ke Desa Buket Gadeng, Kecamatan Bakongan, terjadi peperangan yang sangat hebat, antara pihak pejuang dengan Belanda. Dalam perang itu, Teuku Raja Angkasah, sahabat Teuku Cut Ali, syahid di tangan Letnan Molenaar, komandan pasukan Belanda dalam perang tersebut.
Meskipun sahabatnya syahid, tak membuat semangat Teuku Cut Ali ciut melawan penjajah. Buktinya dalam perang di Terbangan Kecamatan Pasie Raja, komandan perang pasukan Belanda Letnan Molenaar tewas di tangan Teuku Cut Ali.
Saat pecahnya perang pada Juni 1926 di Gampong Ie Mirah, Kecamatan Pasie Raja, Teuku Cut Ali kembali mendapatkan kemenangan setelah tewasnya seluruh pasukan Belanda.
Setahun kemudian, tepat pada 26 Mei 1927, rencana penyerangan oleh Teuku Cut Ali di wilayah Terbangan, Kecamatan Pasie Raja diketahui oleh Belanda yang dipimpin Kapten Paris atau dikenal dengan julukan Singa Afrika.
Bahkan Kapten Paris sengaja dikirim khusus oleh Belanda untuk menumpas dan melumpuhkan para pejuang Aceh yang di pimpin Teuku Cut Ali.
Dalam peperangan itu, Teuku Cut Ali, didampingi Raja Lelo yang merupakan panglima perang di wilayah Kluet. Namun, Teuku Cut Ali syahid di tangan Kapten Paris.
Melihat Cut Ali syahid, Raja Lelo menyerang balik Kapten Paris. Dengan kehebatan ilmu dalam yang dimilikinya, Raja Lelo berhasil melumpuhkan Kapten Paris dengan cara menyeruduk kemaluannya hingga tewas.
Jasad Teuku Cut Ali, akhirnya di bawa ke Desa Suaq Bakong, Kecamatan Kluet Selatan dan dikuburkan di sana.
Sementara catatan Belanda yang tertuang dalam buku Beknopt Overzicht van de krijgsgeschhiedenis van Tapa’ Toean en de Zuidelijke Atjehsche landschappen (Korps Marechaussee Atjeh, 2 April 1890-1940) yang diterjemahkan oleh Aboe Bakar bahwa, Teuku Cut Ali syahid setelah menjadi buronan. Belanda mencarinya di hutan Kluet dan akhirnya ditemui di sebuah tempat persembunyian nya di wilayah Alur (Lawe Sawah) dipimpin Kapten G.F.V Gosenson.
Pencarian Teuku Cut Ali itu juga ditemukan beberapa pejuang lainnya bersama Teuku Cut Ali yang turut syahid ditangan Kapten G.F.V Gosenson di Alur, di antaranya;
- Teuku Nago yang merupakan perencana penyerangan Bivak Terbangan pada 11 Agustus 1926 yang menewaskan Letnan Molenaar.
- Imeum Sabi yang merupakan perencana utama penyerangan Bivak pada malam 2/3 Mei 1927 terhadap Patroli Harting Dom.
- Serta dua anggota pejuang lainnya.
Perjuangan Teuku Cut Ali tercatat dalam berbagai catatan sejarah pejajahan di Wilayah Aceh Selatan sebagai pejuang yang tangguh, serta namanya diabadikan pada sebuah Bandar Udara (Bandara) di Aceh Selatan.