Kematian, sedang menyambut di tepian jurang, menjilat-jilat rasa asa yang ingin tergelincir, yang akan melepas beban pada ubun-ubun, membuat kaki menggeletar menahan beratnya hidup yang meleleh kan tulang, seolah darah berjungkir balik, bersalto mengakibatkan otak kian tidak beres.
Manusia paham maksud mati, atau tidak? Sudah tahu kematian tidak mengenal warna kulit dan harta; sudah tahu dari zaman mengaji alif ba ta kematian tidak mengenal tempat dan waktu; sudah tahu kematian tidak mengenal obat atau jimat panjang umur, tapi masih saja menyombongkan dan bersandiwara bahwa dunia bisa bertahan pada rusaknya hati nurani yang menggelap. Kotor, penuh kedengkian.
Segelintir saja yang masih mau mengingatkan bagaimana posisi manusia di atas dunia. Mungkin, langit pun memaki agar manusia cepat-cepat terkubur massal. Sadarkah, segala musibah yang diturunkan oleh pemilik jiwa adalah cobaan agar manusia melihat ke bawah?, ke bawah di mana telapak kaki berpijak di tempat-tempat penuh getaran nestapa orang tak berdosa.
Dengan segala doa orang-orang yang patah hatinya itu, agar Tuhan memburu-burukan mengambil kesedihan yang betah tinggal. Namun segelintir lagi umat sok pintar malah memercikkan api ke dalam neraka dunia. Memperbanyak dosa. Apa itu?
Memaksa kematian pada seseorang, rasisme di tengah-tengah pergumulan masker dan cuci tangan, terpikirkah bahwa yang dilakukan adalah undangan menuju neraka?; Belum lagi pandemi berakhir new normal dianggap sebagai berlakunya aktifitas biasa tanpa perlindungan diri.
Zona merah hanya menjadi palang rintangan yang bengkok tiangnya, sombong nya manusia sudah yakin Covid-19 sudah habis masa; Tenggat waktu singkat kematian massal para manusia, terpaksa harus kembali dikremasi dalam tabung panas Ebola.
Tidak ada sambutan selamat datang, namun setelah lama tidak berkunjung ia kembali bertamu membawa mimpi buruk yang dulu memudar karena vaksin dan obat. Lalu yang mujur berkata selamat tinggal kematian, aku selamat.
Oh ya? Bukankah kemudian kematian berkata “selanjutnya kau” tanpa menunjuk siapa yang disebut “kau”.
Kemudian setelah judul besar korban tewas dicetak tebal di media-media, turunlah lagi aktifis-aktifis yang sempat vakum karena teror juga sempat istirahat sejenak; Berbunyi lagi sirine-sirine peringatan dari lampu merah biru agar warung kopi ditutup, mall tetap boleh dibuka; Sembunyi lagi bapak dan ibu yang menyempatkan diri belanja di mall untuk menghibur penat; Datanglah lagi politikus-politikus menegur rakyat-rakyat pinggiran sedangkan dirinya sendiri menyambut pesta si buah hati tanpa memedulikan PSBB lalu menyelesaikannya dengan video klarifikasi beberapa tamu; Libur lagi sekolah-sekolah setelah ditakuti Covid-19 dan Ebola gotong royong menggilas manusia; bangkit lagi propaganda-propaganda membuat ngeri sekujur badan; pembodohan dan pemusnahan manusia melalui tabung kecil berisi partikel-partikel kejam.
Manusia tidak mempunyai hati bak malaikat. Manusia terlalu rapuh untuk mempunyai hati sebersih itu; tidak ada emosi, hawa dan gelora.
Manusia terlalu rapuh untuk mencoba tegar dalam menghadapi cobaan dari Tuhan, atau jadi percobaan manusia lain.
Lalu yang punya sedikit rasa humor yang sama sekali tidak lucu, tidak menambah hal baik berceletuk “Rusak Dunia ini, lelah dengan negeriku. Pindah ke Mars saja, yuk!”
Silahkan. Kalau-kalau berjalan di atas planet merah pun tak kau rusak. Kemudian di atas bumi, setelah para elit kabur, jutawan minggat ke Mars. Tinggallah manusia yang menunggu maut menjemput, selagi penyakit-penyakit menggerogoti sampai ke sum-sum.
Tidak ada maksud mendoakan, namun mungkin saja ada propaganda yang sedang lahir setelah manusia-manusia yang menganggap dirinya selamat dari maut hidup dengan tabung oksigen di planet merah: Percobaan peledakkan planet Mars misalnya? Oh Entahlah.
Dunia terlalu heboh memberi sanksi, terlalu abai pada doa yatim piatu, terlalu takut orang pinggiran yang menyebar virus. Intinya, terlalu bodoh menilai yang mana si pembawa malapetaka dan mana yang ingin kamu mati cepat-cepat.
Bagaimana ya, bukankah doa orang-orang pinggiran yang nestapa nya sudah berakar lebih cepat di lampu hijau-kan oleh-Nya? Mengapa manusia-manusia itu tidak berlomba-lomba berbuat kebaikan dari pada sibuk menyalahkan?