Apa yang terjadi bila dunia ini tidak lagi memiliki rasa sayang pada kemanusiaan?, empati dan simpati menguap di udara bagai embun, yang terpanggil hanya kemauan mencari cara untuk bertahan hidup di tengah polemik yang melanda negeri.
Walau bisa membedakan mana halal dan haram, bila rasa di hati yang mengatas-namakan nurani hilang, kedua brand tersebut jadi tak ada bedanya.
Nanti, setelah kalimat “penyesalan selalu datang terlambat”, dunia akan mengais mencari akar agar pohon yang berbentuk hati manusia bisa kembali tumbuh. Kritik-kritik pedas pun serasa manis bila kejatuhan menimbulkan sesal.
Bila nanti dunia memang tidak sanggup lagi mempertontonkan kepedulian, apa yang terjadi dengan siaran-siaran langsung yang memedihkan mata?, yang tersisa hanya kaum yang tahu cakap, ingin mengkritik tetapi takut di anggap merusak nama baik.
Nanti, setelah kalimat “pahlawan selalu datang kesiangan”, dunia akan mencari pikiran-pikiran muda yang lebih masuk akal dari pada bertengkar mengenai atap negeri, bukan melihat di bawah atap itu bahwa walau tampak teduh, sebenarnya tanahnya gersang oleh kesetidakpahaman pemikiran.
Rambut boleh sama hitam, jalan pikiran setiap manusia jelas berbeda. Begitu katanya, entah dicetuskan oleh siapa.
Si Pengalah dan Gunungan Rupiah
Sayang negeriku. Banyak yang ikut andil, namun segelintir saja yang mampu masuk kategori rekening tabungan, yang lainnya terperangkap dalam sangkar berbentuk tanda tanya “bagaimana hukum dibentuk bila rakyat bicara dijadikan judul besar hate speech?
Kalau bukan rakyat itu sendiri, siapa lagi yang mau mengingatkan miringnya pondasi pemikiran yang sewaktu-waktu bisa merubuhkan pertiwi
Dari kerajaan menjadi Kepresidenan, jatuh bangun asa berbuah manis berkat keringat dan darah punggung-punggung legam, yang berganti dari tombak menjadi toa. Tujuannya sama, kita tinggal di satu atap, ingin tenteram, adil dan kaya.
Ya, kaya. Mungkin karena rasa kasih sayang umat dalam negeri terlalu besar, banyak yang mengalah walau sama-sama punya otak cerdas, membiarkan yang menonjol lebih tampak di atas singgasana. Membiarkan mereka-mereka itu menumpuk gaji di atas gunungan rupiah. menjadi lebih kaya.
Biarlah, kata orang-orang yang mengalah itu, suatu hari nanti cucuku yang akan menggantikan posisi di atas gunungan uang itu, yang lebih memikirkan celoteh rakyat dari pada penghuni bangku yang kerjanya mengantuk.
Ya, bila suatu hari itu datang. Tapi mereka lupa, orang-orang dalam singgasana juga beranak cucu yang juga mempunyai cita-cita sama seperti si pengalah. Bedanya, anak cucu itu sudah diukir dan diasah agar dikenal banyak orang. Yang mengalah? Begitu-begitu saja.
Mungkin iya, Mengangkat toa adalah jalan menuju sorotan, agar cucu-cucu si pengalah ini di lirik dari singgasana tinggi. Paling lama seminggu kalau media tidak bosan dan mencari tulang baru yang bisa digigit nya.
Selanjutnya kembali lagi kepada lingkaran yang tak ada ujungnya, pada manusia-manusia yang duek rapat.
Bila cucu-cucu si pengalah berjuang mendeklarasikan ide-ide demi rakyat yang belum terjamah melalui toa dan media sosial, lain hal bagi orang-orang yang hanya bisa menyaksikan dari layar kotak, memasrahkan segalanya kepada orang yang lebih paham kemanusiaan—atau yang baru-baru saja terjadi—kehewanian.
Orang-orang itu bertanya mengenai hak agar para lembu tidak mati kurus kerontang karena kurang asupan merumput, bukan membuat pembelaan lembu pun harus dikarantina agar penyakitnya tidak menular ke lembu lainnya dengan tidak memberi hak makan (?).
Kisaran Manusia yang Berada Dalam Lingkaran Anggukan
Rasa sayang dalam kemanusiaan bisa dimanipulasi rapi tak kusut seperti tali pancing. Hasilnya, sembilan puluh sembilan persen akan mengangguk-anggukan kepala dan berdecak kagum, sisanya? Ya sudah menjadi sisa saja. Tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Namun, dari persen kecil yang tersisa itu, ada umat walau harus bersuara keras agar podium melihatnya dari balik mic, tidak takut menunjukkan ketidakadilan yang bergaung dari arah terowongan orang berpunggung legam.
Meski hasil menang bicaranya sedikit, ada lah kemajuan bahwa negeri Iskandar Muda tidak melulu tertinggal di belakang. Ada lah sedikit pertanyaan rakyat digayungkan soal dana yang rencananya direalisasikan merata.
Semoga saja baris kalimat “pahlawan selalu datang terlambat” dipatahkan dengan bukti kalau umat yang memanusiakan manusia memang ada keberadaannya. Rasa sayangnya pada manusia mengalahkan keinginannya menabung rupiah atau membuat list pencitraan. Rasa sayangnya bisa membuat tanah di bawah atap gembur dan menghijau karena rakyat percaya.
Aminkan saja ketiadaan kalimat “penyesalan selalu datang terlambat”. Semoga hati rakyat memang tidak pernah terluka karena ulah yang semakin memiringkan tiang sangga dan nurani masih bersih dari egoisasi. Tidak ada dosa yang lebih besar dari pada menzalimi hati yang percaya pada pemimpinnya.
Tidak perlu menunggu cucu-cucu si pengalah dan yang sudah dilahirkan untuk menjadi anggota penghuni bangku bernama, asalkan kaum tersebut mendengar baik-baik bahwa dari jutaan celoteh, ada satu gaungan yang memanggil agar manusia kembali di manusiakan.