Analisaaceh.com, Banda Aceh | Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Iskandar Usman Al-Farlaky mengatakan bahwa rancangan Qanun Penyiaran Aceh bukan untuk mempersulit lembaga penyiaran.
Hal itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Rancangan Qanun Aceh Tentang Penyiaran Aceh Menjawab Keberatan Lembaga Penyiaran di Aceh, dalam rapat tersebut dirinya sangat menyayangkan sikap lembaga penyiaran di Aceh yang mogok siaran.
Menurutnya, pihak lembaga penyiaran di Aceh tidak mendapatkan informasi yang utuh atau sekedar mendapat informasi sepenggal tentang Rancangan Qanun (Raqan) Penyiaran Aceh sehingga dianggap memberatkan dan merugikan pihak perusahaan penyiaran di Aceh.
“Padahal inikan sifatnya masih draf rancangan, disinilah kita menampung semua aspirasi pihak lembaga penyiaran tentang Raqan ini, prinsipnya kita membuat qanun ini bukan untuk menyulitkan atau untuk mematikan lembaga penyiaran seperti radio dan televisi,” tegasnya dalam forum RDPU yang berlangsung di Gedung Utama Kantor DPRA, pada Kamis (9/11/2023)..
Akan tetapi lanjut Iskandar, ini aturan bagaimana agar industri penyiaran ini bisa hidup dengan memperhatikan kebudayaan dan kekhususan dan kearifan lokal di Aceh karena ini sangat penting sekali bagi generasi muda yang akan datang.
Iskandar Usman Al-Farlaky menambahkan, mengenai ada kritikan terkait dengan jumlah persentase, itu juga akan menjadi bahan pertimbangan bagi kita.
“Ini masih belum final, kalau sebelum qanun ini bersifat final, kemudian diambil kesimpulan memberatkan lembaga penyiaran, itu saya kira kurang tepat, nah karena semua masih bisa di diskusikan. Maka di RDPU inilah forum diskusi resmi.” pungkasnya.
Menyangkut dengan presentase konten lokal Aceh kemudian siaran lokal Aceh yang wajib 30% ia akan menampung semua masukan dan menyelaraskan kembali sebagai penyempurnaan.
Dalam rapat ini, yang memberatkan Lembaga Penyiaran di Aceh yakni wajib menyiarkan program program siaran berbahasan Aceh paling sedikit 30 % dari durasi program siaran Aceh.
Menurut anggota forum, jika di kaitkan dengan pasal 153 UUPA maka tidak ada korelasinya, karena wewenang yang diberikan dalam UUPA kepada Pemerintah Aceh adalah untuk menjaga isi atau sirkulasi produk pers dan penyiaran untuk tidak bertentangan dengan nilai Islam, namun untuk mengayaan budaya dalam melaksanakan ke Istimewaan Aceh yaitu masuk dalam unsur penguatan Adat sebagaimana di atur dalam Pasal 2 UU 44/19999.
Kemudian juga diwajibkan kepada Radio untuk menyiarkan 60% program siaran Aceh dari seluruh waktu siaran perhari.