Analisaaceh.com, Blangpidie | Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) akan memberikan pendampingan hukum kepada Keuchik Gampong Lhok Gayo, Kecamatan Babahrot Kabupaten setempat.
Pendampingan hukum yang dilakukan APDESI Abdya tersebut atas laporan secara sepihak oleh Tuha Peut Gampong Lhok Gayo, Kecamatan Babahrot yang menggandeng Lembaga Investigasi Negara (LIN) ke Polda Aceh terkait dugaan ketimpangan pengelolaan anggaran Desa di gampong setempat.
Ketua APDESI Abdya, Venny Kurnia menegaskan, pihaknya sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi di desa, namun harus dilakukan dengan langkah yang tepat dan sesuai ketentuan.
“Jika ada Keuchik yang diduga terlibat, sebaiknya masalah tersebut diselesaikan dengan baik-baik di internal desa atau di tingkat kecamatan (Forkopimcam),” ungkap Venny di Blangpidie, Sabtu (28/5/2024).
Lebih lanjut, kata Venny, informasi yang diterima bahwa masalah di Gampong Lhok Gayo sudah pernah dimediasi mulai dari tingkat desa hingga Muspika (Camat, Kapolsek, Danramil) dan Forum Keuchik Babahrot. Namun, saat mediasi dilakukan, pihak pelapor, dalam hal ini Tuha Peut tidak hadir untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Ia menyayangkan sikap Ketua dan sebagian besar anggota Tuha Peut Lhok Gayo yang tidak hadir saat diundang dalam musyawarah penyelesaian masalah tersebut, sementara saat itu Keuchik dan seluruh aparatur gampong turut hadir.
“Ini menunjukkan bahwa Tuha Peut tidak menghargai proses mediasi yang sudah diupayakan oleh Muspika Babahrot,” sebutnya.
Mantan Ketua Tuha Peut Gampong Guhang itu menerangkan, fungsi Tuha Peut dalam pemerintahan Desa ada tiga yaitu sebagai lembaga yang mengakomodir aspirasi masyarakat, membuat aturan Qanun Gampong (legislasi), dan pengawasan terhadap kinerja Keuchik.
Hal tersebut sesuai Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau di Aceh disebut Tuha Peut, dan Qanun Abdya Nomor 5 Tahun 2023 tentang Pemerintahan Gampong, didalamnya termaktub dengan jelas tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Tuha Peut.
Dalam aturan tersebut, makna mengawasi kinerja Keuchik salah satunya adalah Tuha Peut memastikan tidak ada pekerjaan fiktif, dan semua progam desa berjalan sesuai dengan perencanaan, bukan meng-audit Keuchik dan Aparaturnya secara berlebihan.
“Secara pemerintahan, audit terhadap ketimpangan pengelolaan anggaran desa itu ranahnya Inspektorat. Inspektorat yang terlebih dahulu berwenang untuk mengeluarkan keputusan jika ada terjadi penyimpangan, bukan Tuha Peut yang mengambil fungsi Inspektorat melakukan hal itu,” terang Venny.
Venny menjelaskan bahwa niat baik Muspika untuk mempertemukan kedua belah pihak dalam menyelesaikan masalah di Lhok Gayo adalah langkah kedua jika mediasi di tingkat desa tidak menemukan titik temu. Ia yakin jika masalah ini dimusyawarahkan di tingkat Muspika, persoalan tersebut bisa diselesaikan dengan baik.
“Tapi masalahnya, Tuha Peut tidak hadir. Tidak mungkin masalah ini diselesaikan secara sepihak. Kedua belah pihak harus legowo dan berlapang dada untuk hadir menyelesaikan persoalan,” katanya.
Menurutnya, melaporkan langsung pemerintah desa ke Polda Aceh adalah langkah yang terlalu jauh. Secara etika, hal itu tidak sesuai dilakukan. Seharusnya, ada tahapan-tahapan dalam melaporkan dugaan penyimpangan pengelolaan Dana Desa, seperti membuat laporan ke dinas terkait, dalam hal ini DPMP4 Abdya dan Inspektorat, sesuai aturan yang ada. Apalagi, belum tentu Keuchik yang dilaporkan itu terbukti bersalah.
“Tidak semua persoalan di desa harus berujung ke pihak kepolisian (Polda Aceh), semua ada jenjangnya. Kan aneh, jika setiap permasalahan di desa, semua orang dengan mudah melaporkan ke Polda Aceh. Tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan asalkan ada niat baik untuk menyelesaikannya dan keinginan bersama untuk membangun gampong,” jelasnya.
Venny mengungkapkan, setelah mendengar laporan Tuha Peut Lhok Gayo ke Polda Aceh, APDESI Abdya berniat memediasi kedua belah pihak. Namun, karena Tuha Peut telah mengambil langkah menggandeng LIN dan membawa perkara ini ke Polda Aceh, APDESI Abdya akhirnya tidak bisa memediasi perkara tersebut.
Meskipun demikian, Venny menegaskan bahwa sebagai lembaga yang menaungi pemerintahan desa seluruh Indonesia, pihaknya sudah berkoordinasi dengan DPD APDESI Aceh dan DPP APDESI Pusat agar memberikan pendampingan hukum kepada 152 Keuchik di Abdya.
“Insyaallah, kami sudah menandatangani kontrak dengan pengacara untuk memberikan pendampingan hukum atas dugaan kasus yang menimpa rekan kami, saudara Alimuddin. Dalam waktu dekat, kuasa hukum dari APDESI ini akan mulai bekerja dengan mengumpulkan bukti-bukti pendukung atas kasus ini,” ucapnya.
Venny menyebutkan, jika dalam penyelesaian masalah, Keuchik dan Aparatur Gampong Lhok Gayo terbukti melanggar hukum karena menyelewengkan anggaran Desa, maka pihaknya mendukung proses hukum berlanjut.
“Harapannya, seluruh Keuchik di Abdya agar bekerjasama dengan baik dengan Tuha Peut sebagai mitra. Apabila ada indikasi masalah segera diselesaikan dengan musyawarah, tanpa di seret ke ranah hukum dulu,” imbuhnya.
Sebelumnya, Tuha Peut Gampong Lhok Gayo Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) bersama Lembaga Investasi Negara (LIN) melaporkan Keuchik dan Aparaturnya ke Kepolisian Daerah (Polda) Aceh.
Laporan tersebut terkait dengan dugaan pemalsuan tanda tangan, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) hingga penggelapan anggaran Dana Desa (DD).
“Laporan ini terkait dengan pemalsuan tanda tangan, dalam melaksanakan program tidak melibatkan Lembaga Tuha Peut, tidak memberikan LPPG kepada Lembaga Tuha Peut serta penggelapan dana insentif,” kata Ketua Humas DPP LIN Aceh, Wiwien Salehudin, Sabtu (25/5/2024).
Wiwien menjelaskan bahwa sejumlah dugaan penyimpangan ini ditemukan berdasarkan investigasi Lembaga Tuha Peut dan tokoh masyarakat pada tanggal 27 April 2024.
Salah satu temuan adalah pembangunan jembatan sumber dana desa tahun 2023 yang belum bisa digunakan hingga pertengahan tahun 2024. Meskipun selesai dikerjakan, namun kondisinya seperti abutmen retak dan patah sebelum digunakan. Apalagi jembatan itu terletak di daerah perkebunan, maka akan sangat rawan jika nantinya dilintasi oleh truk bermuatan.
“Ada beberapa kendala lain tentang jembatan ini. Sepertinya tidak ada perencanaan awal yang matang bahkan pembuatannya terkesan asal jadi,” kata Wiwien.
Untuk perkara pemalsuan, sebut Wiwien, pihaknya menduga bahwa keuchik Lhok Gayo telah melakukan pemalsuan tanda tangan ketua Lembaga Tuha Peut dan anggotanya. Alasannya, karena penyusunan RKPG tahun 2024 pihak Lembaga Tuha Peut tidak pernah dilibatkan.
Namun, tanda tangan mereka tertera dalam daftar hadir pengesahan Rencana Kerja Pemerintah Gampong atau RKPG tahun 2024. Pemalsuan ini diduga dilakukan untuk pencairan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong (APBG) Lhok Gayo.
“Hal ini sangat bertentangan dengan Pasal 263 Ayat 1 KUHO JO Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Pelaku dapat dikenakan sanksi 6 tahun penjara,” jelas Wiwien.
Kemudian, penggelapan insentif perangkat gampong (desa), keuchik gampong setempat atau pemerintah desa diduga tidak pernah memberikan insentif untuk ketua Seuneubok Gampong Lhok Gayo. Bahkan, pengelolaan dana Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) juga diduga tidak ada kejelasan.
Disamping itu, beberapa program kegiatan desa juga diduga fiktif. Pasalnya, didalam LPPG anggaran tersebut ada dikeluarkan, namun pekerjaannya tidak pernah dilakukan pihak desa.
Beberapa program desa yang diduga fiktif itu antara lain pencegahan dan penanggulangan kerawanan sosial, perpustakaan desa, pengelolaan lingkungan hidup desa, peningkatan UMKM, peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan tahun baru Hijriah dan penyelenggaraan MTQ.
Ketua Humas DPP LIN Aceh menduga, estimasi kerugian negara dalam kasus ini yang perlu dilakukan investigasi oleh pihak dan dinas terkait menyangkut penggunaan dana APBG Lhok Gayo tahun 2023 mencapai Rp1,2 miliar.
“Permasalahan tersebut telah kami laporkan ke Polda Aceh untuk diproses secara hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan pemerintahan yang bersih, maka kami sepakat berantas korupsi sampai ke akar-akarnya,” tegas Wiwien.