Analisaaceh.com, Banda Aceh | Minat masyarakat Aceh untuk bekerja di luar negeri terus meningkat. Data Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Aceh mencatat, sepanjang Januari hingga September 2025 sudah ada 1.600 orang yang mendaftarkan diri sebagai calon pekerja migran.
Kepala BP3MI Aceh, Siti Rolijah, mengatakan tingginya angka tersebut menunjukkan antusiasme warga Aceh dalam mencari peluang kerja di luar negeri. Tiga negara yang paling diminati adalah Jepang, Arab Saudi, dan Malaysia. Adapun latar belakang pendidikan para pendaftar mayoritas berasal dari lulusan SMA/SMK, D3, hingga sarjana.
“Tiga negara tujuan terbanyak yaitu Jepang, Arab Saudi, dan Malaysia. Dari sisi pendidikan, mayoritas pelamar berasal dari lulusan SMA/SMK, D3, dan S1,” ujarnya kepada analisaaceh.com, Senin (29/9/2025).
Adapun sektor yang paling diminati meliputi manufaktur/industri, perawat, hospitality (perhotelan dan restoran), serta perkebunan.
Meski demikian, di tengah tingginya minat tersebut, masih banyak warga Aceh yang memilih jalur non-prosedural.
Menurut Siti Rolijah, hal ini tidak hanya disebabkan oleh prosedur yang dianggap rumit, tetapi juga biaya penempatan yang tinggi serta minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap aturan maupun perlindungan pekerja migran.
“Sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya memahami regulasi dan risiko bekerja secara ilegal. Faktor inilah yang menyebabkan masih banyak pekerja migran asal Aceh berangkat non-prosedural. Padahal risikonya sangat besar, mulai dari tidak adanya perlindungan hukum, posisi kerja yang rentan, hingga ancaman keselamatan,” jelasnya.
Selain itu, BP3MI Aceh juga mencatat adanya sejumlah kesenjangan antara kualifikasi yang dibutuhkan pemberi kerja dengan ketersediaan calon pekerja, di antaranya Calon pekerja memiliki keterampilan teknis, tetapi belum menguasai bahasa negara tujuan (Jepang, Jerman, Korea Selatan, maupun Inggris).
“Calon pekerja sudah memiliki keterampilan dan bahasa, tetapi belum memiliki sertifikasi resmi. Calon pekerja yang telah lulus seleksi sering terkendala biaya penempatan,” paparnya.
Kesenjangan ini berdampak pada masih kecilnya jumlah penempatan pekerja migran asal Aceh melalui jalur prosedural. Di sisi lain, banyak calon pekerja tetap memaksakan diri berangkat meskipun tidak memenuhi syarat keterampilan dan dokumen, yang akhirnya berujung pada status ilegal.
Untuk menekan persoalan ini, BP3MI menilai diperlukan sinergi lintas sektor antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga pemerintah gampong. Sosialisasi yang luas dan berkesinambungan dinilai menjadi kunci agar masyarakat lebih memahami aturan serta risiko bekerja non-prosedural.
“Selain sosialisasi, perlu dukungan pelatihan keterampilan dan bahasa asing yang dialokasikan secara merata. Dengan begitu, calon pekerja Aceh dapat lebih siap bersaing dan memenuhi kebutuhan pasar kerja luar negeri,” pungkas Kepala BP3MI Aceh.