Analisaaceh.com, Banda Aceh | Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak Presiden Prabowo Subianto menetapkan bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra sebagai bencana nasional.
Desakan ini disampaikan menyusul dampak banjir yang dinilai telah melumpuhkan kehidupan petani, merusak pertanian rakyat, serta menghancurkan permukiman dan infrastruktur desa.
Ketua Umum SPI, Henry Saragih, yang saat ini berada di wilayah terdampak banjir di Aceh, mengatakan kondisi di lapangan menunjukkan kerusakan hampir menyeluruh, khususnya pada lahan pertanian. Sawah-sawah petani dipenuhi lumpur tebal dan tidak memungkinkan untuk ditanami, padahal seharusnya sudah memasuki masa tanam.
“Semua area persawahan rusak. Termasuk di Kawasan Daulat Pangan SPI dan Pusdiklat Bingkai Alam Raya, pusat pendidikan petani yang dibangun sejak 2006 pascatsunami. Lahan tidak bisa diolah karena lumpur dan kerusakan yang sangat parah,” ujar Henry, Rabu (17/12/2025).
Menurut SPI, petani menjadi kelompok paling terdampak karena banyak bermukim di kawasan bantaran sungai. Di Aceh Tamiang, terutama wilayah yang bermuara ke Kuala Simpang, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dinilai sudah sangat serius.
Kondisi ini, kata Henry, tidak cukup ditangani hanya dengan pembersihan lumpur dan kayu di permukiman warga.
“Hujan masih terus turun. Pemerintah harus memberikan peringatan dini, arahan jelas, dan langkah mitigasi untuk mengantisipasi banjir susulan yang masih mengancam keselamatan rakyat,” tegasnya.
SPI juga menyoroti kondisi pascabencana yang semakin memperberat kehidupan petani dan masyarakat desa. Banyak rumah warga rusak, tanaman pangan gagal panen, serta perkebunan rakyat tidak bisa dipanen.
Tanpa intervensi negara yang kuat, petani dinilai tidak akan mampu memulihkan kehidupan dan produksi pertaniannya secara mandiri.
Lebih lanjut, SPI menilai banjir besar ini tidak terlepas dari kegagalan pelaksanaan reforma agraria. Tidak adanya penataan kawasan pertanian pangan, lemahnya pengelolaan hutan dan perkebunan, serta buruknya tata ruang desa dan kota disebut memperparah kerentanan bencana.
“Ini momentum untuk melaksanakan reforma agraria. Pemerintah harus mencabut izin eksploitasi hutan di hulu sungai, menindak perkebunan sawit tanpa izin, serta mencabut HGU di wilayah hulu. Tanah harus dibagikan kepada petani untuk pertanian pangan rakyat,” kata Henry.
SPI menegaskan, penetapan status bencana nasional sangat penting agar seluruh instrumen pemerintah dapat bergerak cepat dan terpadu.
“Rakyat sudah tidak sanggup jika hanya mengandalkan kekuatannya sendiri untuk membersihkan rumah, membangun kembali pertanian, dan memperbaiki infrastruktur,” ujarnya.
Sementara itu, di Kota Kuala Simpang, aktivitas pertokoan belum berjalan normal. Lumpur masih menggenangi jalanan dan rumah warga, sementara air bersih dan listrik belum tersedia.
Kondisi serupa juga terjadi di wilayah perbatasan Langkat–Aceh Tamiang, di mana hujan kembali turun deras sejak dini hari dan memperparah situasi darurat.
SPI menyatakan akan terus mendampingi masyarakat terdampak, mengkonsolidasikan solidaritas petani, serta mendorong negara hadir penuh dalam melindungi kehidupan rakyat desa dari krisis ekologis yang terus berulang.




