Diduga Tak Betah, Belasan Santri Ponpes Hidayatullah Bogor Asal Gayo Kabur

Belasan Santri dan wali santri yang Kabur dari Pesantren Hidayatullah Bogor saat beraudiensi dengan Tagore Abubakar dikediamanya

Analisaaceh.com, Takengon | Santriwan/santriwati yang berasal dari dataran tinggi Tanoh Gayo Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah diduga tidak betah menetap di Pondok Pesantren Hidayatullah Yayasan Umar Bin Khattab  Bogor Jawa Barat.

Sebanyak 18 Santri dari Ponpes Hidayatullah Bogor tersebut berhasil melarikan diri, dari belasan santri tersebut tercatat sebagai warga Aceh Tengah dan Bener Meriah Salah satu penyebab yaitu Santri diduga dijadikan sebagai pekerja di Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Ustadz Hanafi itu.

Mereka (Santri) dan orang tuanya melaporkan kejadian itu kepada Ir.Tagore Abubakar terkait hal ikhwal yang dialami oleh santri saat menimba ilmu di Pondok Pesantren yang dipimpin oleh putra asli Tanoh Gayo tersebut.

“Awalnya anak kami diiming-imingi gratis untuk masuk ke Ponpes Hidayatullah, namun hasilnya seperti ini, anak kami melarikan dari pesantren, bukanya nya belajar malah disuruh kerja bangunan disana,” kata Radiansyah salah satu orang tua santri dari Asir-asir mengutip pernyataan anaknya, Kamis (07/11/2019) kemarin di Takengon.

Lanjutnya lagi, pesantren yang terletak bersebelahan dengan Kompleks Group 1 Kopasus Bojong Hilir itu diduga secara tidak langsung hanya sebatas membisniskan ijazah. “Secara tidak langsung hanya untuk membeli ijazah dengan tarif belasan juta rupiah karena anak kami ditempatkan disana bukan untuk belajar,” timpalnya lagi.

Sementara itu, salah satu Santri yang berhasil melarikan diri yaitu Syahrul Hidayah didepan mantan Anggota DPR-RI itu mengaku, pesantren tersebut dinilai hanya sebatas untuk pencitraan. Sebagai contoh kata dia, pada saat Wisuda yang dihadiri oleh Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar dan beberapa Pejabat lainya dari Negeri berhawa sejuk itu.

“Jika ada yang tanya, saya harus menjawab sudah menghafal 30 Juz Al-Qur’an, sedangkan saya masih mampu menghafal 4 Juz,” kata Santri asal Paya Reje Aceh Tengah itu menyampaikan keluh kesahnya dihadapan santri lainya.

Katanya lagi, ia sudah berada di Kabupaten Aceh Tengah sejak 3 bulan terakhir, ia berhasil melarikan diri lantaran tak betah di ponpes itu. Kini belasan santri itu mengaku tidak akan kembali lagi ke Pondok Pesantren Hidayatullah Bogor. Saat ini mereka (Santri) akan melanjutkan pendidikan di Kabupaten Aceh Tengah.

“Mereka tidak akan kembali lagi kesana dengan bujukan rayuan apapun, sudah cukup anak kami menderita disana, kami pikir dengan berangkat sekolah di Pesantren yang dipimpin orang Gayo itu anak kami akan betah dan dibimbing, ternyata tidak, mereka juga melaporkan bahwa pernah mengalami kekerasan disana,” keluh seorang ibu yang berasal dari Kecamatan Bintang dengan nada lirih.

Sementara itu, Ir.Tagore Abubakar meminta Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Pemerintah Kabupaten Bener Meriah harus hadir memberikan solusi ditengah-tengah mereka terkait permasalahan ini.

Selain memberikan motivasi Pemerintah turut hadir memberikan solusi terkait permasalahan yang sedang dihadapi.

“Ini Tanggung jawab Pemerintah Aceh Tengah dan Bener Meriah, selain memberikan motivasi, mereka harus memberikan peluang bagi santri yang mengalami musibah ini untuk menyambung pendidikan, pemerintah juga harus memberikan bimbingan belajar akibat ketertinggalan pendidikan mereka selama di Pesantren,” jelas Tagore.

Ia turut geram mendengar laporan dari santri dan orang tua santri yang hadir langsung dikediamanya di Rumah Reje Ilang Takengon, menurutnya, tindakan pihak Pondok Pesantren telah melewati batas dengan menjadikan Santri sebagai kuli di ponpes tersebut.

“Ini sudah ranah pidana dengan memperbudak anak didik yang seharusnya fokus untuk menuntut ilmu diusia emasnya,” tegasnya, berharap Pemerintah harus bertanggung jawab.

Untuk diketahui, sebagian santri itu kini dititip di SMA Negeri 2 Ujung Temetas Aceh Tengah.

Terpisah, Pimpinan Ponpes Hidayatullah Umar Bin Khattab Bogor Ustadz Hanafi membantah semua tudingan tersebut. Ia mengaku semua pernyataan santri dan wali santri itu fitnah bagi Pondok Pesantren Hidayatullah Bogor.

“Ini fitnah bagi Pesantren Hidayatullah Bogor, perlu kami sampaikan, dari 250 orang santri, separuhnya adalah putra-putri Gayo yang masih menetap disini. Sebelumnya santri ada yang pulang ke Takengon, hampir satu bulan, begitu pulang ke Bogor satu minggu kabur dari Ponpes sehingga yang lain ikut-ikutan, sebahagian lagi saat menghafal Al-Qur’an tidak sanggup menghafal namun dipaksakan sedangkan kemauan orang tua harus mampu menghafal kan tidak mungkin dipaksakan, inilah penyebabnya,” kata Ustadz Hanafi, Jum’at (08/11/2019) melalui sambungan selularnya.

Pesantren yang dipimpinya itu adalah pesantren bebas biaya pendidikan. Sedangkan untuk kebutuhan santri berasal dari donator yang ikut menyumbang.

“Kebetulan ada donator yang menyumbang, saat mereka menyumbang, donator meminta materialnya digotong royongkan, disini sistemnya gotong royong, mungkinkah ketika donator minta bantu tenaga, kami tidak bantu kan tidak mungkin. Biasanya hari Jum’at kami kerja bakti, tidak setiap hari bekerja,” timpalnya

Dalam dunia pendidikan kata dia, pasti ada yang membuat kesalahan dan mendapatkan sangsi dari pihak pesantren. Hal tersebut menurutnya lumrah terjadi dimana-mana untuk memberikan efek jera bagi anak didik.

“Hukuman itu kan biasa, minsalnya ada yang sekolah dia dikamar, saatnya sholat dia dikamar, apa dibiarkan begitu saja, setiap pesantren di Indonesia memiliki peraturan-peraturan tersendiri yang harus dipatuhi,” jelas Ustadz Hanafi

Terkait tudingan pihak Pesantren memungut biaya dengan tarif belasan juta rupiah, Hanafi menyebut hal itu adalah fitnah yang sangat kejam. Hal itu katanya bisa dipertanyakan kepada Jebolan Pesantren Hidayatullah Bogor lainya yang telah menempuh perguruan tinggi.

“Jika disebut kami melakukan pencitraan semata, secara bacaan Santri sudah selesai 30 juz dan itu sudah saya tanyakan ke bahagian tahfidz dan untuk muroja’ah hafalan nya belum sampai kesana karena programnya kan 6 bulan selanjutnya difokuskan di muroja’ah. Ini hanya miss komunikasi saja,” jelasnya.

“Selama 6 tahun kenapa bisa tahan disini, lalu kenapa setelah pulang kampung dan kembali ke Ponpes sudah tak betah, berarti disini ada yang salah, pesantren itu peraturanya ketat, mungkin tidak sesuai setelah pulang kampung,” timpalnya lagi sembari menyebut Ijazah Santri yang telah ikut ujian belum keluar.

Pondok Pesantren Hidayatullah Yayasan Umar Bin Khattab itu pada saat Ujian Nasional dilaksanakan diluar, kerjasama dengan sekolah lainya, lantaran Ponpes tersebut belum mampu menyelenggarakan secara pribadi.

“Mondoknya didalam, Ujian Nasionalnya diluar, kerjasama dengan sekolah luar, karena pondok belum sanggup melaksanakan Ujian Nasional,  kami pihak pondok membayar ujianya anak-anak waktu UN berkisar antara Rp.2 juta, Rp.1,5 juta dan ada yang Rp.800 ribu, itu yang kami bayarkan ke sekolah tersebut. Ketika santri yang sudah selesai ujian dan meninggalkan Ponpes siapa yang bertanggung jawab,” sesal Ustadz Hanafi.

Komentar
Artikulli paraprakHKGB ke-67, Polres Lhokseumawe dan Bhayangkari Gelar Olahraga Bersama
Artikulli tjetërKadisdik Aceh: Pramuka Merupakan Kegiatan Menarik bagi Siswa