FGD Revisi Qanun Jinayah Dua Pasal Perlu Dicabut

Focus Group Discussion (FGD) terkait urgensi revisi Qanun Jinayah

Analisaaceh.com, Banda Aceh | Dewan Perwakilan Rakyat Aceh bersama sejumlah elemen mengelar kegiatan Fokus Group Discussion (FGD) terkait urgensi revisi qanun jinayah untuk perlindungan anak di Aceh.

Kegiatan FDG tersebut dilaksanakan, Senin (18/10/2021) menghadirkan narasumber Wakil Ketua DPRA Hendra Budian, Anggota Komisi I DPRA, Darwati A.Gani serta dari pihak LBH Banda Aceh.

Wakil Ketua DPRA Hendra Budian mengatakan angka kekerasan terhadap anak sedang meningkat signifikan di Aceh dan menjadi keresahan publik. Maka dari itu harus menjadi perhatian berbagai pihak di Aceh.

“Peraturan seperti qanun maupun UU dibuat agar untuk memastikan perlindungan terhadap masyarakat. Jadi kita ingin melakukan penguatan terhadap qanun jinayah agar bisa memastikan keadilan dan perlindungan hukum bagi masyarakat,” kata Hendra.

Saat ini, sebut Hendra Budian, proses untuk revisi qanun jinayah sedang berjalan, dan sudah terbentuk tim atau inisiator dari anggota DPRA berjumlah 13 orang yang nantinya akan disetujui di badan legislasi.

“Saya kira nantinya DPRA dapat memperjuangan ini demi adanya kepastian hukum bagi masyarakat Aceh,” ujarnya.

Menurut politisi Golkar ini, alasan qanun jinayah perlu direvisi, karena dalam pasal tersebut terdapat dua pasal yaitu pasal 47 dan 50 kontra diksi dengan undang-undang perlindungan anak, yaitu undang-undang perlindungan anak lebih memberikan jaminan hukum bagi korban.

“Sehingga baiknya dua pasal ini kita drop agar bisa digunakan undang-undang perlindungan anak,”ujarnya.

Selama ini, Qanun Jinayah hanya dipakai untuk meringankan hukuman. Mereka yang bersalah karena melanggar lebih memilih qanun ketimbang hukuman kurungan yang ditetapkan dalam hukum positif.

“Harusnya hukum jinayah membuat para predator seksual tidak berani macam-macam,” ucapnya.

Hendra menyebutkan pihak DPRA mengusulkan agar anggaran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh dalam rencana anggaran Pemerintah Aceh ditambah.

“Ketersediaan anggaran memang menjadi hal penting. Penangan kasus terhadap perempuan dan anak di Aceh itu perlu anggaran besar. Apalagi selama ini pihak-pihak terkait mengklaim dana yang ada tidak mencukupi untuk menangani korban-korban kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ungkapnya.

Qanun Jinayah Masih Lemah

Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh Syahrul menyebutkan ada beberapa hal yang ditemukan saat melakukan pendampingan penyelesaian kasus kekerasan dan seksual pada anak di Aceh.

Permasalahan yang paling utama yakni tumpang tindih antara aturan Undang Undang dengan Qanun Jinayah dimana di Aceh terdapat dua aturan hukum terkait dengan penyelesaian kasus kekerasan dan seksual pada anak.

“masih banyak kekurangan dalam penerapan Qanun Jinayah akibat tumpang tindih aturan ini, qanun Jinayah lebih lemah dari UU Perlindungan Anak sedangkan penyelesaian kasus terhadap anak di Aceh harus diselesaikan menggunakan qanun Jinayah.” terangnya.

Lebih lanjut Syahrul menjelaskan persoalan tidak akan selesai setelah ketuk palu hakim, namun aspek lain seperti pemulihan terhadap korban dan pencegahan terhadap pelaku tidak bisa ditemukan dalam qanun Jinayah.

LBH menyarankan pihak DPRA untuk merevisi qanun Jinayah dan mencabut dua pasal saja pasal 47 dan pasal 50. Dalam hal ini bukan melemahkan tapi memperkuat qanun Jinayah dan tidak dianggap kebijakan yang tidak memiliki perspektif perlindungan anak.

Editor : Nafrizal
Rubrik : PARLEMENTRIA
Komentar
Artikulli paraprakKumpulan Link Twibbon Maulid Nabi Muhammad 1443 H Gratis di Twibbonize
Artikulli tjetërHarga Ayam dan Bebek di Abdya Melonjak Naik